Aspirasi yang Patut Didengar
Beberapa waktu terakhir, perhatian publik tertuju pada aspirasi tenaga honorer non-DIPA Mahkamah Agung RI.
Melalui media sosial dan surat resmi kepada Ketua Mahkamah Agung, mereka menyampaikan harapan agar pengabdian panjang mereka memperoleh kepastian dan penghargaan yang layak.
Aspirasi tersebut mendapat perhatian serius dari pimpinan lembaga.
Sebagai tindak lanjut, Ketua Mahkamah Agung telah menerbitkan memorandum kepada Wakil Ketua MA Bidang Non-Yudisial, Sekretaris MA, dan Kepala BUA untuk melakukan langkah penataan secara komprehensif, sesuai ketentuan hukum dan prinsip keadilan kelembagaan.
Fakta Terkini: 1.400 Tenaga Non-DIPA Terverifikasi
Berdasarkan hasil verifikasi internal, terdapat sekitar 1.400 tenaga honorer non-DIPA yang masih aktif di lingkungan Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya.
Mereka telah lama membantu pelaksanaan tugas-tugas administratif dan operasional di satuan kerja, menjadi bagian penting dari wajah pelayanan publik di peradilan.
Namun demikian, secara hukum kepegawaian, mereka tidak tercantum dalam DIPA Mahkamah Agung dan tidak termasuk dalam basis data nasional tenaga non-ASN (BKN–MenPAN-RB) yang menjadi dasar seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Kewenangan: Pengangkatan PPPK Bukan Wewenangan Mahkamah Agung
Mahkamah Agung memahami adanya harapan sebagian tenaga honorer non-DIPA untuk memperoleh status kepegawaian yang lebih pasti.
Namun perlu ditegaskan bahwa proses pengangkatan PPPK bukan merupakan kewenangan Mahkamah Agung.
Sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN dan PP Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen PPPK,
kewenangan tersebut sepenuhnya berada pada:
- Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB), dalam hal kebijakan dan penetapan formasi; serta
- Badan Kepegawaian Negara (BKN), dalam hal validasi data dan penetapan status kepegawaian.
Mahkamah Agung, sebagai lembaga pengguna ASN, hanya dapat menyampaikan data dan kebutuhan pegawai sesuai mekanisme yang ditetapkan pemerintah, sementara pelaksanaan dan keputusan pengangkatan berada sepenuhnya di bawah kebijakan nasional aparatur sipil negara.
Kebijakan Nasional: Batas Desember 2025
Kementerian PAN-RB telah menetapkan bahwa seluruh instansi pemerintah wajib menyelesaikan penataan tenaga non-ASN paling lambat 31 Desember 2025.
Setelah batas waktu tersebut, seluruh pegawai di instansi pemerintah harus berstatus ASN (PNS/PPPK) atau tenaga alih daya (outsourcing) yang dikelola secara sah melalui penyedia jasa resmi.
Kebijakan ini berlaku secara nasional dan mengikat semua lembaga, termasuk Mahkamah Agung.
Oleh karena itu, Mahkamah Agung wajib menyesuaikan sistem pengelolaan SDM dan pembiayaannya agar sejalan dengan ketentuan hukum dan akuntabilitas keuangan negara.
Langkah Konkret Mahkamah Agung
Sebagai lembaga negara yang menjunjung tinggi hukum dan tertib administrasi, Mahkamah Agung telah menyiapkan langkah penyelesaian yang legal, realistis, dan manusiawi.
Penataan Melalui Skema Outsourcing Resmi
Mahkamah Agung telah mengalokasikan anggaran khusus dalam DIPA Tahun 2025 untuk menata tenaga honorer non-DIPA melalui mekanisme alih daya (outsourcing) yang sah dan terukur.
Kebijakan ini memastikan bahwa:
- Tidak ada tenaga non-DIPA yang kehilangan mata pencaharian;
- Penggajian dilakukan dari sumber APBN yang sah;
- Tenaga kerja memperoleh jaminan sosial ketenagakerjaan dan kesehatan (BPJS);
- Hubungan kerja menjadi jelas dan terlindungi oleh peraturan perundang-undangan.
Anggaran untuk program outsourcing ini sudah tersedia sejak bulan Oktober 2025 dan saat ini sedang dalam tahap penunjukan vendor serta proses penyaluran pembayaran kepada tenaga honorer yang dialihkan.
Langkah ini menunjukkan bahwa kebijakan penataan bukan sekadar rencana, melainkan tindakan nyata Mahkamah Agung untuk memastikan keberlangsungan kerja para tenaga non-DIPA dengan dasar hukum yang kuat dan perlindungan sosial yang layak.
Pendekatan Pembinaan yang Tertib dan Manusiawi
Mahkamah Agung menyadari bahwa di balik kebijakan administratif terdapat nilai pengabdian dan loyalitas tinggi dari para tenaga honorer non-DIPA.
Karena itu, proses penataan dilakukan dengan prinsip:
- Transisi yang tertib dan komunikatif;
- Pendekatan manusiawi yang mengedepankan kejelasan dan keberlanjutan;
- Pembinaan agar tenaga yang dialihkan tetap berperan mendukung kelancaran layanan peradilan.
Kebijakan ini menyeimbangkan kepatuhan terhadap hukum negara dengan penghormatan terhadap kontribusi kemanusiaan para tenaga honorer yang telah lama mengabdi.
Meluruskan Persepsi Publik
Beredarnya berbagai unggahan di media sosial yang menggambarkan seolah-olah Mahkamah Agung “menghapus” tenaga honorer non-DIPA perlu diluruskan.
Langkah yang ditempuh Mahkamah Agung bukan penghapusan, melainkan penataan kelembagaan agar seluruh tenaga kerja di lingkungan peradilan memiliki status hukum yang jelas dan sumber penggajian yang sah.
Kebijakan ini justru bertujuan untuk melindungi tenaga non-DIPA dari potensi risiko hukum dan administratif, serta memastikan kelangsungan penghidupan mereka melalui sistem yang sah dan berkeadilan.
Penutup: Keadilan dalam Kebijakan
Kebijakan penataan tenaga honorer non-DIPA merupakan bagian integral dari reformasi birokrasi dan penguatan tata kelola SDM di Mahkamah Agung.
Langkah ini menunjukkan bahwa Mahkamah Agung:
- Menegakkan hukum dengan konsisten;
- Menjalankan tanggung jawab sosial kelembagaan dengan empati;
- Menyelesaikan persoalan tenaga non-DIPA secara sah, manusiawi, dan bermartabat.
“Menata bukan berarti menyingkirkan, melainkan menempatkan dengan adil sesuai aturan dan rasa hormat atas pengabdian.”





