Kekosongan Hukum yang Membahayakan: Hilangnya Pasal 114 UU Narkotika dalam Bayang-Bayang KUHP Nasional

UU Narkotika berfungsi sebagai lex specialis (hukum khusus) yang mengatur secara spesifik dan berat segala hal terkait narkotika.
Ilustrasi KUHPerdata. Foto www.istockphoto.com
Ilustrasi KUHPerdata. Foto www.istockphoto.com

Pendahuluan: Sebuah Transisi Besar yang Menyisakan Titik Buta

Lebih dari delapan dekade, bangsa Indonesia hidup di bawah naungan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (WvS) warisan kolonial Belanda. Keberlakuan KUHP lama yang disahkan melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 itu akhirnya akan menemui finalitas sejarahnya. 

Tinggal hitungan bulan, tepatnya mulai 2 Januari 2026, kita akan memasuki babak baru sistem hukum pidana dengan diimplementasikannya KUHP Nasional.

Momen peralihan ini patut disambut sebagai sebuah kemajuan simbolis dalam menegakkan kedaulatan hukum. 

Namun, di balik euforia kebanggaan nasional ini, tersembunyi sebuah persoalan krusial yang berpotensi mengguncang fondasi penegakan hukum terhadap kejahatan yang paling merusak sendi-sendi sosial: narkotika. 

Banyak perubahan fundamental terdapat dalam KUHP Nasional, salah satunya adalah kebijakan incorporasi, yaitu dimasukkannya beberapa ketentuan pidana khusus yang sebelumnya diatur dalam undang-undang lex specialis ke dalam tubuh KUHP Nasional. 

Kebijakan inilah yang, tanpa disadari atau mungkin diabaikan, menciptakan sebuah "lubang hitam" hukum yang sangat berbahaya.

Artikel ini akan mengupas tuntas kekosongan hukum yang lahir akibat pencabutan Pasal 114 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika) oleh KUHP Nasional, tanpa kehadiran ketentuan pengganti yang memadai. Kekosongan ini bukan sekadar persoalan teknis yuridis, melainkan sebuah ancaman nyata yang dapat menggagalkan upaya pemberantasan peredaran gelap narkotika Golongan I di Indonesia.

Membedah Pencabutan: Dari Lex Specialis Menuju Kekosongan dalam Lex Generalis

Sebelum melangkah lebih jauh, penting untuk memahami konteks hukum yang berlaku saat ini. 

UU Narkotika berfungsi sebagai lex specialis (hukum khusus) yang mengatur secara spesifik dan berat segala hal terkait narkotika. Di dalamnya, Pasal 114, khususnya ayat (1), memegang peran sentral. 

Pasal ini mengancam pidana bagi setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I.

Narkotika Golongan I, seperti heroin, kokain, dan sabu-sabu, adalah zat yang dinyatakan tidak memiliki manfaat medis dan memiliki potensi tinggi menimbulkan ketergantungan. 

Aktivitas jual-beli dalam pasal ini adalah nadi dari bisnis narkotika gelap. Pasal inilah yang menjadi senjata andalan jaksa untuk menjerat bandar, pengedar, dan perantara.

Kini, dengan berlakunya KUHP Nasional, terjadi pergeseran paradigma. Pengaturan tindak pidana narkotika dalam KUHP Nasional ditempatkan dalam BAB XXXV Bagian Kelima, yang hanya terdiri dari tiga pasal saja (Pasal 609, 610, dan 611). Ketiga pasal ini secara umum mengatur tentang:

  • Pasal 609: Memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan narkotika illegal;
  • Pasal 610: Memiliki, menguasai, atau menyimpan narkotika ilegal;
  • Pasal 611: Menyediakan narkotika ilegal untuk digunakan bersama.

Pasal kunci yang menjadi masalah adalah Pasal 622 ayat (1) huruf w KUHP Nasional. Pasal ini secara tegas mencabut dan menyatakan tidak berlaku Pasal 111 sampai dengan Pasal 126 UU Narkotika. Ini artinya, seluruh rangkaian pasal yang mengatur tentang tindak pidana spesifik, termasuk Pasal 114 yang menjadi tulang punggung pemberantasan perdagangan narkotika, ikut dicabut.

Di sinilah letak kekosongan hukum itu muncul. Setelah pencabutan tersebut, kita bertanya: di mana pengaturan tentang "perbuatan menjual, membeli, atau menjadi perantara dalam jual beli narkotika Golongan I" dalam KUHP Nasional? Jawabannya adalah: tidak ada.

Analisis Kekosongan: Antara "Menyalurkan" dan Kepastian Hukum yang Hilang

Sebagian mungkin berargumen bahwa unsur "menjual" dapat disubsumsi (dimasukkan) ke dalam istilah "menyalurkan" yang terdapat dalam Pasal 609 KUHP Nasional.

Pasal 609 menyatakan: "Setiap Orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika..."

Argumen ini mengandung kelemahan fatal dan berbahaya. Pertama, asas legalitas (nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali) menuntut kepastian. Hukum pidana harus jelas dan tidak multitafsir. 

Istilah "menyalurkan" sendiri bersifat sangat luas dan kabur. Apakah menyalurkan berarti distribusi dari produsen ke pengedar besar? Ataukah termasuk aktivitas jual-beli eceran di tingkat konsumen? 

Ketidakjelasan ini akan menjadi lahan subur bagi perdebatan di persidangan, yang berujung pada perbedaan penafsiran antara hakim, jaksa, dan penasihat hukum.

Kedua, penghapusan secara eksplisit Pasal 114 menunjukkan kesadaran dan kehendak legislator untuk tidak memasukkan rumusan delik jual-beli yang spesifik ke dalam KUHP Nasional. 

Jika maksud pembuat undang-undang adalah mengakomodirnya dalam kata "menyalurkan", maka tidak perlu ada pencabutan khusus terhadap Pasal 114. Pencabutan ini justru mengindikasikan bahwa perbuatan "menjual" dan "membeli" sengaja tidak diadopsi, atau mungkin terlewatkan, dalam perumusan KUHP Nasional.

Ketiga, dari perspektif dogmatik hukum pidana, "menyalurkan" (to supply) dan "menjual" (to sell) adalah dua aktivitas yang dapat dipisahkan. 

Seorang kurir bisa saja "menyalurkan" barang tanpa terlibat dalam transaksi jual-beli, misalnya hanya mengantarkan. 

Sebaliknya, aktivitas jual-beli inti dari perdagangan justru hilang dari radar hukum. Seorang bandar yang hanya mengatur transaksi jual-beli dari balik penjara, tanpa pernah "menyalurkan" atau "memiliki" barang bukti, berpotensi lolos dari jerat hukum.

Implikasi Fatal: Bonanza bagi Bandar dan Ancaman Bagi Masyarakat

Kekosongan hukum ini bukanlah masalah teoritis belaka. Ia akan membawa implikasi yang sangat konkret dan mengerikan:

  • Kemandulan Penegakan Hukum: Kepolisian dan Kejaksaan akan kesulitan menjerat pelaku perdagangan narkotika. Mereka masih bisa menggunakan Pasal 609 untuk produsen dan pengimpor, dan Pasal 610 untuk pemakai yang ketahuan memiliki. Namun, untuk menjaring para pengedar, bandar tingkat menengah, dan perantara yang hanya melakukan transaksi jual-beli tanpa fisik barang, alat bukti menjadi sangat lemah. Jerat hukum terhadap jaringan perdagangan menjadi putus di tengah jalan;
  • Bonanza bagi Sindikat Narkotika: Para bandar dan pengedar akan dengan cepat beradaptasi. Mereka akan memanfaatkan celah hukum ini dengan memisahkan peran. Aktivitas jual-beli akan dilakukan secara terpisah dari aktivitas penyimpanan dan pengiriman. Modus operandi akan berevolusi sehingga yang dapat dibuktikan di pengadilan hanyalah delik kepemilikan (Pasal 610) dengan jumlah kecil, sementara otak perdagangannya bebas berkeliaran;
  • Meningkatnya Peredaran Gelap: Dengan risiko hukum yang menurun drastis untuk aktivitas inti perdagangan, dapat diprediksi bahwa peredaran narkotika Golongan I akan semakin merajalela. Harga bisa menjadi lebih murah dan akses lebih mudah, yang pada akhirnya akan meningkatkan jumlah penyalahguna;
  • Bertentangan dengan Semangat Pemberantasan Narkotika: Kekosongan ini bertolak belakang dengan semangat UU Narkotika yang selama ini bersifat ultra-offensive dan preventif. Kebijakan hukum pidana kita terhadap narkotika selama ini ingin memutus seluruh mata rantai, dari produsen hingga konsumen. Hilangnya Pasal 114 berarti memutus mata rantai terpenting: transaksi ekonomi itu sendiri.

Belajar dari Kaca Negara Lain dan Menatap Ke Depan

Dalam sistem hukum common law, doktrin void for vagueness (batal karena kekaburan) sering digunakan untuk membatalkan undang-undang yang tidak jelas. 

Sebuah norma pidana harus dirumuskan dengan cukup spesifik sehingga orang biasa dapat memahami perilaku apa yang dilarang. Rumusan "menyalurkan" untuk menjangkau "menjual" berpotensi menggiring kita pada masalah ini.

Lantas, apa solusinya?

  • Legislative Review dan Perppu: Pemerintah dan DPR harus segera melakukan legislative review terhadap KUHP Nasional sebelum 2026. Celah hukum ini terlalu berbahaya untuk diabaikan. Jika proses legislatif normal dianggap terlalu lama, Presiden dapat menggunakan hak konstitusionalnya untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang secara khusus merevisi Pasal 609 KUHP Nasional dengan memasukkan unsur "menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli" secara eksplisit;
  • Penafsiran Restriktif dan Pembuatan RUU Narkotika Baru: Sementara menunggu amendemen, Mahkamah Agung dapat menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) yang memberikan pedoman penafsiran terhadap Pasal 609, dengan menyatakan bahwa "menyalurkan" termasuk di dalamnya "menjual". Namun, solusi ini bersifat sementara dan tidak ideal karena melanggar semangat asas legalitas. Solusi jangka panjangnya adalah percepatan pembuatan RUU Narkotika baru yang akan menjadi lex specialis kembali, yang secara komprehensif mengisi kekosongan-kekosongan yang ditinggalkan oleh KUHP Nasional.

Penutup: Jangan Biarkan Transisi Sejarah Melahirkan Tragedi Nasional

Perjalanan menuju KUHP Nasional adalah sebuah lompatan sejarah. Namun, sebuah lompatan buta yang mengabaikan detail-detail kritis justru akan berakhir pada jurang. 

Kekosongan hukum atas hilangnya Pasal 114 UU Narkotika adalah contoh nyata dari detil kritis yang mengancam akan menggagalkan perang kita melawan narkotika.

Kepastian hukum, yang menjadi roh dari KUHP Nasional itu sendiri, justru terancam oleh ketidakpastian dalam mengatur kejahatan yang paling jelas dan paling present danger bagi bangsa ini. 

Jangan sampai kebanggaan memiliki kitab hukum pidana sendiri berubah menjadi tragedi nasional, di mana para pedagang maut justru menemukan surga baru dalam kekosongan hukum yang kita ciptakan sendiri. 

Momentum sebelum Januari 2026 adalah waktu yang berharga untuk melakukan koreksi. Demi kepastian hukum, demi keselamatan bangsa, dan demi masa depan generasi yang bebas dari jerat narkotika, kekosongan ini harus segera ditutup.

Catatan : Hakim Pengadilan Negeri Bangkinang Muhammad Rafi ikut berkontribusi dalam tulisan ini

Penulis: Safrijaldi
Editor: Tim MariNews