Analisis Yuridis Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015 di Pengadilan Negeri

Berdasarkan Pasal 67 PP No. 65 Tahun 2015, penanganan anak di bawah 12 tahun yang diduga melakukan tindak pidana ditentukan bersama oleh Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional.
Ilustrasi hukum. Foto : Freepik
Ilustrasi hukum. Foto : Freepik

Perlindungan hukum bagi anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) merupakan tanggung jawab negara sesuai UU No. 11 Tahun 2012, yang menempatkan diversi sebagai mekanisme utama penyelesaian perkara anak melalui keadilan restoratif. 

Sebagai tindak lanjut, PP No. 65 Tahun 2015 diterbitkan sebagai pedoman teknis bagi aparat penegak hukum, menekankan perlindungan anak yang humanis, edukatif, dan proporsional, serta menegaskan anak di bawah 12 tahun tidak dapat dipidana namun tetap diperlakukan sesuai prinsip the best interest of the child.

Meski didukung landasan hukum yang kuat, masalah utama muncul pada Pasal 78 dan 79 PP No. 65 Tahun 2015, yang mewajibkan Ketua Pengadilan Negeri menerbitkan penetapan berdasarkan keputusan penyidik, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial. Sifat imperatif ketentuan ini membatasi diskresi pengadilan, menimbulkan persoalan yuridis, dan dilema etis terkait independensi peradilan.

Pelaksanaan Penanganan Anak di Bawah Usia 12 Tahun

Berdasarkan Pasal 67 PP No. 65 Tahun 2015, penanganan anak di bawah 12 tahun yang diduga melakukan tindak pidana ditentukan bersama oleh Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional. 

Keputusan hanya dapat berupa menyerahkan anak kepada orang tua/wali atau menempatkannya dalam program pendidikan, pembinaan, atau pembimbingan di LPKS maksimal enam bulan. 

Keputusan ini didasarkan pada hasil penelitian kemasyarakatan, dan sesuai Pasal 69, harus mempertimbangkan kepentingan terbaik anak, kelangsungan hidup, serta aspek sosiologis, psikologis, dan pedagogis secara proporsional.

Pasal 71 dan 72 mengatur persyaratan substantif dan prosedural pengambilan keputusan terhadap anak. 

Jika dikembalikan kepada orang tua, keputusan berfokus pada pemulihan dan pembinaan keluarga; jika ditempatkan dalam program pembinaan, harus disertai dukungan psikososial dan pendampingan profesional. 

Secara administratif, Pasal 78 mewajibkan penyidik menyampaikan keputusan kepada Ketua Pengadilan Negeri dalam tiga hari, dan Pasal 79 mengharuskan Ketua Pengadilan Negeri menerbitkan penetapan dalam tiga hari, menekankan kepastian hukum dan efisiensi prosedural.

Perbandingan penanganan bagi Anak Usia Belum 12 Tahun dengan 12–18 Tahun

Penanganan anak di bawah 12 tahun berbeda dengan anak 12–18 tahun. Anak 12–18 tahun dapat menjalani diversi melalui forum mediasi yang melibatkan pelaku, korban, keluarga, dan pihak terkait; jika tercapai kesepakatan, perkara dihentikan. 

Proses ini dicatat dalam Berita Acara Diversi dan diajukan ke Ketua Pengadilan Negeri. Sebaliknya, PP No. 65 Tahun 2015 menegaskan bahwa anak di bawah 12 tahun ditangani hanya oleh penyidik, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial, tanpa melibatkan korban, sehingga menimbulkan dilema normatif dan ketidakseimbangan antara kepentingan anak pelaku dan hak korban.

Hambatan dan Tantangan Implementasi

Ketentuan dalam Pasal 78 dan Pasal 79 Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015 secara imperatif mewajibkan Ketua Pengadilan Negeri untuk menerbitkan penetapan berdasarkan permohonan hasil keputusan bersama antara Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional terhadap perkara anak yang belum berusia 12 tahun. 

Rumusan norma tersebut, tidak memberikan ruang diskresi bagi Ketua Pengadilan Negeri untuk menetapkan keputusan lain apabila terdapat perbedaan pandangan terhadap substansi hasil keputusan tersebut. 

Kondisi demikian menimbulkan problematika yuridis, mengingat penetapan Ketua Pengadilan Negeri merupakan tahapan akhir yang bersifat menentukan bagi pelaksanaan keputusan dimaksud, sementara di sisi lain Ketua PN tidak memiliki kewenangan substantif untuk melakukan penilaian ulang terhadap isi keputusan tersebut. 

Dalam praktiknya, Ketua Pengadilan Negeri sering kali memiliki pertimbangan tersendiri yang mempertimbangkan tidak hanya kepentingan terbaik bagi anak, tetapi juga perlindungan terhadap korban, ketertiban masyarakat, dan kepentingan negara.

Pengaturan ini, akhirnya menempatkan lembaga peradilan dalam posisi dilematis, karena harus mengeluarkan penetapan atas keputusan yang secara substantif bukan merupakan hasil penilaian mandiri pengadilan. 

Hal tersebut sekaligus menimbulkan beban tanggung jawab yuridis dan moral bagi pengadilan terhadap keputusan yang tidak sepenuhnya lahir dari proses pertimbangan internalnya. 

Di sisi lain, masyarakat awam kerap menafsirkan bahwa setiap penetapan yang dikeluarkan oleh pengadilan, adalah hasil keputusan pengadilan itu sendiri, sehingga apabila timbul ketidakpuasan, maka lembaga peradilanlah yang menjadi sasaran keberatan.

Dalam kondisi normal, pelaksanaan ketentuan ini jarang menimbulkan masalah. Namun, pada kasus yang menyita perhatian publik misalnya anak di bawah 12 tahun menyebabkan kematian keluarga korban mungkin menolak pengembalian anak kepada orang tua, sehingga beban tanggung jawab hukum dan sosial tampak sepenuhnya pada pengadilan, meski keputusan bukan berasal dari pertimbangan pengadilan sendiri.

Kurangnya pemahaman masyarakat terhadap sistem peradilan pidana anak dapat menimbulkan persepsi keliru dan tekanan publik terhadap pengadilan. 

Jika kewenangan pengambilan keputusan diberikan sepenuhnya kepada pengadilan, lembaga ini memiliki legitimasi lebih kuat untuk menjelaskan dan mempertanggungjawabkan keputusan dari aspek hukum, moral, dan sosial.

Solusi dan Rekomendasi Reformasi

Guna mengatasi masalah tersebut, diperlukan pembaruan hukum normatif dan struktural, misalnya revisi Pasal 78 dan 79 PP No. 65 Tahun 2015 agar memberi ruang diskresi terbatas bagi Ketua Pengadilan Negeri dalam menilai kesesuaian keputusan dengan keadilan dan kepentingan terbaik anak. 

Alternatif lain, Mahkamah Agung dapat menerbitkan PERMA atau SEMA sebagai pedoman teknis bagi hakim, menyamakan persepsi antarpenegak hukum, dan melindungi pengadilan dari tekanan publik. 

Reformasi ini, diharapkan memperkuat keadilan restoratif, serta menjamin integritas, akuntabilitas, dan kepastian hukum dalam penanganan anak di bawah 12 tahun.

Penutup

Secara umum, pelaksanaan penanganan perkara anak di bawah usia 12 tahun berdasarkan PP No. 65 Tahun 2015 masih menghadapi hambatan konseptual dan implementatif. Ketentuan imperatif dalam Pasal 78 dan 79 menyebabkan terbatasnya independensi pengadilan dan menciptakan ambiguitas tanggung jawab hukum. 

Akibatnya, pengadilan sering berada pada posisi dilematis antara kewajiban administratif dan prinsip independensi yudisial.

Maka, diperlukan pembaruan regulatif melalui revisi peraturan maupun penyusunan PERMA/SEMA sebagai pedoman interpretatif dan prosedural bagi aparat peradilan. 

Reformasi ini diharapkan akan dapat memperkuat pelaksanaan prinsip keadilan restoratif, tetap menjamin kepentingan terbaik bagi anak, serta menjaga integritas dan akuntabilitas lembaga peradilan dalam mewujudkan perlindungan hukum yang berkeadilan dan berorientasi pada kemanusiaan.

Referensi

Peraturan Perundang-undangan
Republik Indonesia. (2009). Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157.
Republik Indonesia. (2012). Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 153.
Republik Indonesia. (2015). Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang Belum Berusia 12 Tahun. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 209.
Republik Indonesia. (2014). Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak.
Buku dan Literatur Akademik
Marlina. (2012). Peradilan pidana anak di Indonesia: Pengembangan konsep diversi dan restorative justice. Bandung: Refika Aditama.
Gosita, A. (2004). Masalah perlindungan anak. Jakarta: Akademika Pressindo.
Artikel dan Jurnal Ilmiah
Siregar, R. (2022). Kendala implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015 dalam penanganan anak yang belum berusia 12 tahun. Jurnal Yudisial, 15(1), 101–120.
Pramono, A. (2020). Problematika pelaksanaan diversi dalam sistem peradilan pidana anak. Jurnal Ilmu Hukum Legal Standing, 4(1), 77–90.

Penulis: Murdian
Editor: Tim MariNews