Buka Diklat SPPA 2025, MA Perkuat Kompetensi Aparat Hukum dalam Peradilan Ramah Anak

Program pelatihan ini diikuti oleh 80 peserta dari berbagai instansi penegak hukum di Indonesia, termasuk Kepolisian, Kejaksaan, Hakim
Diklat SPPA 2025. Foto : Dokumentasi Pribadi
Diklat SPPA 2025. Foto : Dokumentasi Pribadi

MARINews, Bogor – Mahkamah Agung Republik Indonesia melalui Badan Strategi Kebijakan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan (BSDK) resmi membuka Diklat Sertifikasi Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) Terpadu 2025. 

Kegiatan ini berlangsung di Auditorium BSDK MA, Megamendung, Bogor, dan dibuka langsung oleh Dr. H. Syamsul Arief, S.H., M.H.

Program pelatihan ini diikuti oleh 80 peserta dari berbagai instansi penegak hukum di Indonesia, termasuk Kepolisian, Kejaksaan, Hakim, dan Petugas Lembaga Pemasyarakatan. 

Tujuannya adalah memperkuat pemahaman, keterampilan, serta kompetensi aparat hukum dalam menangani perkara anak sesuai prinsip keadilan restoratif dan perlindungan hak anak.

Dalam sambutannya, Syamsul Arief menegaskan SPPA bukan sekadar soal menghafal aturan.

“Belajar tentang Sistem Peradilan Pidana Anak bukan hanya menghafal pasal pidana atau membedakan pidana pokok dan tambahan, tetapi memahami asas-asas yang mengutamakan kepentingan terbaik anak. Penjatuhan pidana anak tidak boleh lebih dari setengah ancaman pidana pokok. Puncak dari peradilan pidana anak adalah keterampilan,” ujarnya.

Diklat SPPA 2025 digelar dengan metode blended learning yang terbagi dua tahap. 

Tahap pertama berupa pembelajaran mandiri (e-learning) pada 2–12 September 2025, sementara tahap kedua adalah pembelajaran klasikal tatap muka yang berlangsung selama dua minggu ke depan dengan total 165 jam pelajaran.

Pelatihan ini melibatkan pakar hukum pidana anak, psikolog, akademisi, serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sebagai narasumber.

Peserta diklat akan mempelajari berbagai materi penting, di antaranya:

  • Prinsip-prinsip dasar SPPA.
  • Teknik interogasi dan wawancara yang ramah anak.
  • Alternatif penyelesaian perkara di luar pengadilan, seperti diversi dan mediasi.
  • Peran dan fungsi lembaga perlindungan anak.
  • Aspek psikologis dan sosial anak yang berhadapan dengan hukum.
  • Penuntutan dan pelaksanaan putusan dalam tindak pidana anak.
  • Teknik pembuatan putusan dengan pendekatan restorative justice.

Melalui program ini, Mahkamah Agung berharap terbentuk aparat penegak hukum yang bersertifikasi, profesional, serta mampu menerapkan SPPA dengan standar tinggi. 

Diharapkan pula pendekatan yang digunakan lebih humanis dan berorientasi pada pemulihan, sehingga penanganan perkara anak di Indonesia benar-benar menempatkan kepentingan terbaik anak sebagai prioritas utama.