Salah satu agenda penting bangsa ini adalah mewujudkan reformasi melalui prinsip negara hukum (rechtstaat). Perwujudan cita negara hukum kemudian di awali dengan mengadakan amandemen UUD 1945 empat kali.
Amandemen dilakukan karena dipandang isi konstitusi tersebut tidak lagi relevan dengan perkembangan bangsa Indonesia dewasa ini, khususnya dalam upaya mewujudkan negara hukum yang demokratis.
Bahkan jika mencermati dengan baik pada hasil perubahan terhadap UUD 1945, sesungguhnya telah menghasilkan paradigma pemikiran yang baru pada sistem ketatanegaraan kita.
Hal ini mesti dipahami bahwa adanya perubahan yang sangat mendasar pada UUD 1945, yang kemudian berimplikasi pada sistem hukum dan hierarki peraturan perundang-undangan.
Oleh karena itu, setelah berhasil mengadakan perubahan konstitusi (constitutional reform), maka dilanjutkan dengan perubahan pada aturan hukum (legal reform).
Pelaksanaan perubahan terhadap aturan hukum yang ada adalah upaya untuk mewujudkan sistem hukum dan hierarki peraturan perundang-undangan yang berdasarkan norma konstitusi.
Keberhasilan mewujudkan perubahan terhadap UUD 1945 serta dilanjutkan dengan perubahan dan pembentukan aturan-aturan hukum yang baru merupakan salah satu upaya pembangunan hukum dalam bentuk law making. Tentunya setelah itu dilanjutkan dengan upaya menegakkan hukum (law enforcement).
Sampai saat ini, terdapat banyak produk hukum berupa peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan dan masih akan terus bertambah serta diperbaharui. Tentu, banyak masyarakat belum mengetahui substansi produk hukum tersebut.
Hal ini menjadi persoalan karena Indonesia menganut sistem hukum civil law yang fokus pada adanya norma tertulis.
Berdasarkan paradigma serta doktrin civil law, setiap orang dianggap tahu hukum yang telah diberlakukan. Inilah yang kemudian dikenal dengan asas fiksi hukum.
Asas Fiksi Hukum
Fiksi hukum adalah asas yang menganggap semua orang tahu (presumptio iures de iure). Dalam bahasa Latin dikenal pula adagium ignorantia jurist non excusat, ketidaktahuan hukum tidak bisa dimaafkan.
Seseorang tidak bisa mengelak dari tuntutan/tindakan hukum dengan dalih belum atau tidak mengetahui adanya hukum.
Asas fiksi hukum telah dinormakan di dalam Penjelasan Pasal 81 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yakni “Dengan diundangakannya peraturan perundang-undangan dalam lembaran resmi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini, setiap orang dianggap telah mengetahuinya.”
Adapun lembaran resmi yang dimaksud di dalam ketentuan Pasal 81 ini terdiri dari 7 jenis, yaitu a) Lembaran Negara Republik Indonesia, b) Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, c) Berita Negara Republik Indonesia, d) Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, e) Lembaran Daerah, f) Tambahan Lembaran Daerah, atau g) Berita Daerah.
Penjelasan lebih lanjut mengenai fiksi hukum diatur dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 645K/Sip/1970 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 001/PUU-V/2007, keduanya memuat prinsip yang sama, yaitu “ketidaktahuan seseorang akan undang-undang tidak dapat dijadikan alasan pemaaf.”
Selain itu, Putusan Mahkamah Agung Nomor 77K/Kr/1961 menegaskan “tiap-tiap orang dianggap mengetahui undang-undang setelah undang-undang itu diundangkan dalam lembaran negara”.
Sosialisasi Peraturan Perundang-Undangan
Salah satu aspek terpenting dari penegakan hukum adalah dengan mengadakan sosialisasi dan pendidikan hukum (law socialization and law education) kepada masyarakat. Pendidikan hukum adalah salah satu mata rantai yang sering terlepas dari hubungan antara sosialisasi hukum dengan fiksi hukum.
Fiksi hukum sejatinya membawa konsekuensi bagi Pemerintah. Setiap aparat pemerintah berkewajiban menyampaikan adanya hukum atau peraturan tertentu kepada masyarakat sebagai bagian dari proses edukasi dan pembudayaan hukum.
Dengan kata lain, fiksi hukum harus didukung dengan sosialisasi hukum secara memadai.
Keberlakuan KUHAP 2025
Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2025 pada November 2025.
Dalam Pasal 369 ditegaskan bahwa undang-undang ini mulai berlaku pada 2 Januari 2026. Artinya, terdapat rentang waktu yang sangat singkat antara pengesahan dan pemberlakuan, padahal KUHAP merupakan hukum acara yang menjadi tulang punggung seluruh proses peradilan pidana.
Rentang waktu yang sempit tersebut menimbulkan kekhawatiran serius. Pemberlakuan yang tergesa-gesa berpotensi mengganggu keseimbangan fundamental antara efektivitas penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia.
Hukum acara pidana tidak hanya berfungsi sebagai instrumen negara untuk menindak kejahatan, tetapi juga sebagai mekanisme perlindungan warga negara dari tindakan sewenang-wenang aparat.
Lebih jauh, penerapan KUHAP baru tanpa persiapan yang memadai berisiko mencederai prinsip due process of law, yang seharusnya menjadi roh utama hukum acara pidana.
Tanpa pemahaman yang utuh dan seragam dari aparat penegak hukum, perbedaan tafsir dan praktik di lapangan hampir tidak terhindarkan, yang pada akhirnya justru dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.
Oleh karena itu, demi mencegah kekacauan dalam praktik peradilan pidana, perlu dipertimbangkan secara serius penundaan keberlakuan KUHAP 2025 setidaknya selama satu tahun sebagai masa transisi.
Masa jeda tersebut penting untuk memastikan bahwa perubahan mendasar dalam hukum acara pidana tidak menimbulkan guncangan sistemik dalam penegakan hukum.
Masa transisi tersebut dapat dimanfaatkan untuk menyelesaikan seluruh peraturan pelaksana, melakukan sosialisasi secara menyeluruh kepada aparat penegak hukum dan masyarakat, serta melaksanakan simulasi penerapan norma-norma baru.
Dengan demikian, pemberlakuan KUHAP 2025 tidak hanya sah secara formal, tetapi juga siap secara substansial untuk menjamin keadilan, kepastian hukum, dan perlindungan hak asasi manusia.
Referensi
https://www.hukumonline.com/berita/a/fiksi-hukum-harus-didukung-sosialisasi-hukum--hol19115/
https://www.hukumonline.com/berita/a/menjadikan-fiksi-hukum-tak-sekadar-fiksi-lt4ffe7ed9ac70f/
https://www.hukumonline.com/berita/a/kuhap-baru-disahkan-presiden--dirjen-pp--dua-peraturan-pelaksana-telah-selesai-harmonisasi-lt6944e40843f8e/
https://jdih.mahkamahagung.go.id/berita-detail/penerapan-asas-fiksi-hukum-dalam-perma#:~:text=Asas%20Fiksi%20Hukum%20beranggapan%20bahwa,membebaskan%2Fmemaafkannya%20dari%20tuntutan%20hukum%20
https://icjr.or.id/hentikan-tuduhan-hoaks-kepada-masyarakat-tunda-pemberlakuan-kuhap-baru/
https://asperhupiki.id/analisis-akademis-terhadap-kuhap-2025/





