One Piece merupakan sebuah komik remaja yang di produksi di Jepang, dengan penulisnya Eiichiro Oda, sejak 1997. Komik ini, memiliki jalan cerita tentang Monkey D. Luffy yang bercita-cita menjadi raja bajak laut. Meskipun cucu seorang admiral, Ia memilih menjadi bajak laut, dengan simbol kebebasan dan perlawanan terhadap penderitaan.
Alih-alih membuat bendera bajak laut yang intimidatif dan menyeramkan, Luffy membuat bendera dengan tengkorak yang tertawa dan memakai topi jerami, melambangkan untuk hidup dengan kebebasan, berjuang melawan kejahatan dan menertawakan segala batasan yang coba dipaksakan penguasa zalim.
Dalam kisahnya sebagai Bajak Laut, dirinya menunjukkan perbedaan, di mana Luffy dan awak kapalnya berjuang membela yang lemah, melindungi masyarakat dari perdagangan manusia, penguasa zalim, perdagangan obat-obatan terlarang dan lain sebagainya, sehingga berhadapan dengan sesama bajak laut jahat, maupun otoritas zalim.
Di banyak platform media sosial berkembang fenomena mengibarkan bendera yang dibuat oleh Luffy dalam kartun One Piece yang disebut Jolly Roger, dapat dimaknai sebagai keinginan memperbaiki diri dan lingkungan sekitar. Namun, perubahan sejati bersifat kolektif dan dimulai dari diri sendiri, sebagaimana dijelaskan dalam Al Qur'an surah Ar Rad Ayat (11),
Innallāha lā yughoyyiru mā bi qaumin ḥattā yugayyirū mā bi`anfusihim,
yang bermakna sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.
Ayat ini, merupakan prinsip dasar Islam, yang menekankan pentingnya ikhtiar (usaha) dan tanggung jawab individu atau kolektif. Perubahan lebih baik atau buruk dalam masyarakat tidak datang begitu saja, melainkan hasil dari tindakan, keyakinan, dan moralitas yang ada di dalam diri mereka sendiri.
Betapa ironisnya, kita sering kali menyaksikan sebuah paradoks di tengah masyarakat. Sebuah jeritan hati lantang menuntut perubahan, keinginan untuk melihat pemerintahan bersih, wakil rakyat sejati, dan pemimpin yang tulus. Namun, di sisi lain, kita dapat terperangkap dalam lingkaran setan kebiasaan, yang justru menghambat terwujudnya impian tersebut.
Paradoks Perubahan: Menuntut namun Enggan Memulai
Keresahan akan korupsi merajalela, di beragam platform media, berbagai negara juga dalam negeri, keluhan demi keluhan membanjiri lini masa, menyuarakan kegundahan akan bobroknya sistem. Namun, sayangnya, hanya sedikit yang benar-benar mau memulai perubahan dari diri sendiri.
Kita menuntut transparansi dan integritas dari para pemegang kekuasaan, sementara saat yang sama, beberapa dari kita kerap mengabaikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Banyak orang menuntut perubahan, namun sedikit individu mau berubah ke arah lebih baik.
Paradoks dan Perumpamaan
1. Pemilu: Antara Harapan dan Amplop
Pemilihan umum, sebuah momen krusial menentukan arah bangsa, namun seringkali ternoda praktik-praktik tidak terpuji dan berakibat fatal. Di tengah harapan akan lahirnya sistem, aturan, wakil dan pemimpin kapabel, serta berintegritas, namun mayoritas warga negara justru menunggu serangan fajar, amplop berisi uang, sumbangan dan hadiah tidak jelas sumbernya.
Maka, tidak sejalan dengan impian dapatkan wakil rakyat, yang benar-benar mewakili suara hati dan lebih memilih godaan sesaat yang merusak akal. Hal tersebut, dianalogikan sebuah lingkaran setan, dimana kita sendiri menjadi bagian perusak, tetapi sisi lain mengeluh tentang politisi korup.
Sehingga kontribusi kita sesungguhnya terhadap korupsi, harus dimulai dari kotak suara dan dari diri sendiri dengan penuh tanggung jawab, menolak segala pemberian atau hal lainnya yang mempengaruhi objektifitas pilihan.
2. Birokrasi: Mengharap Bersih, Memicu Nego
Keinginan akan birokrasi yang mudah, cepat, dan bersih adalah impian bersama. Namun, berapa banyak dari kita yang, saat berhadapan dengan prosedur resmi, justru menawarkan pelicin, agar proses bisa segera tuntas tanpa mengikuti antrean atau prosedur yang semestinya.
Demikian juga, saat ada kesempatan seleksi bergabung ke dalam birokrasi, kita masih mendengar kisah tentang penjualan aset atau pinjaman besar, guna membayar jalan masuk dan agar dinyatakan lulus.
Akibatnya, individu masuk dengan cara ini merasa memiliki modal yang harus dikejar dan dikembalikan, serta membuat mereka sulit puas dengan gaji yang ada dan justru memperparah sistem birokrasi yang seharusnya melayani.
Selain itu, dapat menyingkirkan individu yang berkomitmen terhadap perubahan dan perbaikan sejak awal. Proses birokrasi yang seharusnya jelas alurnya, syaratnya dan sederhana untuk diikuti, akan menjadi tidak efektif dan efisien.
Birokrasi idealnya melayani rakyat, akhirnya dapat menjadi ajang mencari keuntungan pribadi dan merugikan masyarakat luas. Perubahan tersebut, hanya terjadi bilamana mengikuti aturan dan alur dengan baik, serta tidak menawarkan pelicin. Individu yang lulus ke dalam sistem birokrasi, wajib berdasarkan kemampuan dan kapabilitas, sehingga memberikan perbaikan alur dan sistem birokrasi, yang memudahkan, serta melayani tanpa orientasi lain.
Hukum: Keadilan yang Tergadai
Asa terhadap hukum yang adil dan tegak adalah pondasi sebuah negara beradab. Namun, ironisnya, proses penentuan para pembentuk hukum seringkali diwarnai oleh amplop, pesanan dan serangan fajar, sehingga hukum menjadi tidak berguna.
Kita merindukan penegakan hukum yang bersih, tetapi tidak sedikit individu, mencoba menawarkan suap, berupaya menanamkan gratifikasi dengan imbalan yang dapat ditagih kemudian hari dan lain sebagainya. Sisi lain tekanan hingga ancaman nyata, ditujukan kepada penegak hukum yang teguh dan bersih. Maka keinginan sistem peradilan yang bersih dengan perbuatan seperti itu sangat bertolak belakang .
Terdapat juga, segelintir individu terbiasa mengambil keuntungan di tengah arus manipulasi dan korupsi. Dimana mengandalkan bayar untuk menang (pay to win), daripada mencari kebenaran sejati dengan argumentasi berintegritas. Belum lagi, usaha menyingkirkan penegak hukum berintegritas, dengan, mencari-cari kelemahan dan melakukan agresi berupa penggiringan opini melalui media massa dan berbagai bentuk lainnya.
Jarak yang Menganga: Antara Harapan dan Realita
Jika semua paradoks dan perumpamaan di atas terjadi terus menerus, maka terciptalah sebuah jurang yang jauh dan kontras, antara apa yang diidamkan masyarakat dengan kenyataannya.
Semua individu resah, media sosial sebagai wadah luapan kekecewaan, namun keberanian memulai perubahan dari diri sendiri dan melakukan tindakan nyata, masih menjadi barang langka.
Kita tidak bisa terus-menerus menuntut perubahan dari orang lain, tanpa berani menatap ke dalam diri sendiri. Perubahan sejati tidak akan datang dari atas, bilamana pondasinya tidak dibangun dari bawah, dari setiap individu yang berani berkomitmen menjaga berintegritas dalam setiap aspek kehidupannya.
Apakah kita terjebak dalam lingkaran paradoks ini, ataukah berani melangkah, memulai perubahan kecil dari diri kita sendiri, dan menjadi agen perubahan yang kita dambakan? Sebagaimana dikisahkan dalam serial One Piece