Netizen dan Media Tidak Adil Menilai Putusan 2 Guru di Luwu Utara

Narasi yang beredar di publik tersebut, kedua guru harus menjalani hukuman pidana penjara, hanya karena melakukan pungutan iuran kepada para orang tua siswa di SMA Negeri 1 Luwu Utara
Ilustrasi keadilan. Foto  : pixabay.com
Ilustrasi keadilan. Foto : pixabay.com

Belum lama ini, ramai di pemberitaan nasional dan perbicangan netizen mengenai dua orang guru atas nama Abdul Muis dan Rasnal, di Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan.

Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 4999 K/Pidsus/2023 dan Nomor 4265 K/Pidsus/2023, kedua orang guru tersebut, dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi dan dihukum penjara selama 1 tahun.

Namun, narasi tidak objektif yang berkembang di masyarakat umum dan berbagai media nasional, yang menyalahkan putusan lembaga peradilan tertinggi di Indonesia dimaksud.

Narasi yang beredar di publik tersebut, kedua guru harus menjalani hukuman pidana penjara, hanya karena melakukan pungutan iuran kepada para orang tua siswa di SMA Negeri 1 Luwu Utara. Pungutan tersebut, menurut berita yang berkembang di masyarakat, digunakan untuk membayar gaji 10 guru honorer.

Akan tetapi, muncul pertanyaan hukum yakni apakah narasi yang beredar di kalangan publik telah sesuai dengan fakta hukum yang diungkap dalam persidangan?

Sebagai informasi fakta hukum berasal dari alat bukti dan barang bukti yang saling berkesesuaian seperti terungkap di persidangan dan kemudian diuraikan dalam putusan, selanjutnya digunakan Majelis Hakim untuk mempertimbangkan unsur dari suatu tindak pidana yang didakwakan. 

Berdasarkan fakta hukum, yang jadi pertimbangan hukum Majelis Hakim tingkat Kasasi yakni menjelaskan iuran yang dipungut Para Terdakwa, dari orang tua siswa sejak tahun 2018 s.d. 2021, berjumlah sekitar 770 juta rupiah.

Fakta hukum menerangkan, peruntukannya tidak hanya dipergunakan untuk kepentingan menggaji 10 guru honorer, sebagaimana fakta tidak benar yang diungkapkan dalam berbagai pembertiaan.

Para Terdakwa menggunakan uang pungutan dari orang tua siswa, untuk tunjangan wali kelas, THR, tunjangan cleaning service, tunjangan tugas tambahan dan lain-lain. Demikian juga, secara faktual Para Terdakwa mendapatkan bagian dari pungutan liar tersebut, sebesar sebelas juta seratus ribu rupiah.

Demikian juga, berdasarkan fakta hukum yang terungkap uang pungutan orang tua siswa ditampung dalam rekening pribadi Abdul Muis.

Maka Majelis Hakim tingkat Kasasi berdasarkan fakta hukum diatas berpendapat, tindakan Para Terdakwa telah memenuhi kualifikasi penyertaan gratifikasi (menerima hadiah karena jabatannya) secara berlanjut, yang tergolong dalam tindak pidana korupsi.

Perbuatan Para Terdakwa dimaksud, memenuhi seluruh unsur Pasal 11 Undang-Undang Nomor  31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP, sebagaimana dakwaan alternatif kedua Penuntut Umum. 

Maka, sudah sepatutnya masyarakat menilai secara utuh dan adil perkara kedua guru tersebut, dengan melihat terlebih dahulu alasan hukum Majelis Hakim Tingkat Kasasi dalam menjatuhkan putusan yang menghukum Para Terdakwa dimaksud, melalui cara membaca keseluruhan pertimbangan hukum yang didasarkan pada fakta hukum terungkap.

Semoga artikel ini dapat meluruskan pandangan masyarakat, dengan menguraikan yang sebenarnya terungkap dalam fakta hukum di perkara kedua guru di Luwu Utara tersebut.
 

Penulis: Adji Prakoso
Editor: Tim MariNews