Bahaya Candu Perbuatan Nir-integritas: Sebuah Renungan Hakim

Secara konseptual, integritas bagi seorang Hakim seharusnya bukanlah sesuatu yang harus dipuja puji dan mendapat penghargaan
Ilustrasi kecanduan. Foto : Ilustrasi oleh penulis
Ilustrasi kecanduan. Foto : Ilustrasi oleh penulis

Menelisik mirisnya perbuatan-perbuatan nir integritas yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir mengisyaratkan ada perilaku kronis dalam diri individu seorang Hakim. 

Fenomena ini bukan sekedar pelanggaran etik, melainkan sebuah krisis moral yang mengerogoti sendi-sendi kepercayaan publik terhadap dunia peradilan. 

Hakim yang seharusnya menjadi representasi wakil tuhan untuk menegakkan dan memberikan rasa keadilan, justru dalam beberapa perkara tampak tergelincir ke dalam perilaku menyimpang yang menodai martabat peradilan.

Data yang dirilis oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan selama periode 2011 hingga 2024 terdapat 29 Hakim yang terjerat kasus suap dengan total penerimaan suap sejumlah Rp107.999.281.345 (seratus tujuh miliar sembilan ratus sembilan puluh sembilan juta dua ratus delapan puluh satu ribu tiga ratus empat puluh lima rupiah). 

Begitu pula dalam Laporan Tahunan Mahkamah Agung 2024, menegaskan jika jumlah total hakim yang menerima penjatuhan hukuman disiplin sebanyak 109, yang terdiri dari hukuman berat sebanyak 31, sedang sebanyak 13 dan ringan sebanyak 65.

Secara konseptual, integritas bagi seorang Hakim seharusnya bukanlah sesuatu yang harus dipuja puji dan mendapat penghargaan, karena hal tersebut adalah kewajiban. Karena bagaimanapun integritas merupakan fondasi yang menopang kepercayaan publik terhadap hukum. 

Hal ini secara tegas tercantum dalam Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI Dan Ketua Komisi Yudisial RI 047/KMA/SKB/IV/2009 02/SKB/P.KY/IV/2009 Tentang Kode Etik Dan Pedoman Perilaku Hakim yang menyatakan hakim sebagai aktor utama atau figure sentral dalam proses peradilan senantiasa dituntut untuk mengasah kepekaan nurani, memelihara integritas, kecerdasan moral dan meningkatkan profesionalisme dalam menegakkan hukum dan keadilan bagi rakyat banyak.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Integritas diartikan sebagai mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan; kejujuran.

Namun seperti halnya gelap yang berarti ketiadaan cahaya, maka integritas pun demikian, ia mempunyai sifat ketiadaan yakni nir integritas. Walaupun, secara padanan kata, nir Integritas tak memiliki makna langsung, namun dapat dilihat dari kata yang memiliki arti masing-masing. 

Dalam KBBI, nir- memiliki arti tidak atau bukan, sehingga jika dipadankan dengan arti dari integritas, maka nir integritas dapat diartikan tidak adanya kejujuran atau tidak menunjukan sikap integritas atau tidak berintegritas

Pengertian tersebut sejalan dengan apa yang pernah disampaikan oleh Ketua Mahkamah Agung, Yang Mulia Bapak Prof. Sunarto, S.H, M.H yakni Perbuatan yang tidak menunjukkan integritas (nir-integritas) yang dilakukan oleh seseorang tidak hanya berdampak pada dirinya, tetapi juga pada lembaganya, menurunkan kepercayaan masyarakat pencari keadilan kepada lembaga peradilan. (mahkamahagung.go.id, 2024)

Sebagai salah satu bentuk perilaku nir-integritas, sifat koruptif tak lepas dari corruption by need, yang menjadi relevan untuk menggambarkan fase awal dari degradasi integritas seorang Hakim. 

Perilaku ini muncul ketika individu dengan dalih pemenuhan kebutuhan hidup mulai menormalisasi penyimpangan dalam skala kecil, contohnya menerima pemberian hadiah dari pihak berperkara dalam jumlah yang relative kecil. 

Pada tahap ini, seringkali tindakan tersebut dibalut dengan pembenaran “hanya sekadar menerima tanda terima kasih” atau “sepanjang tidak mempengaruhi putusan”. Namun pembenaran semu seperti ini justru menjadi pintu masuk bagi perilaku nir integritas yang lebih besar.

Karena candu akan nir integritas bekerja layaknya zat adiktif yang mengerogoti kesadaran secara perlahan. Seorang Hakim yang telah terbiasa dengan penyimpangan kecil akan lebih mudah melakukan penyimpangan besar. Tergiur akan kenikmatan sesaat yang memberikan efek euforia materi, rasa berkuasa hingga rasa dapat mempermainkan nasib orang (para pihak). 

Lama kelamaan, rasa itu menjadi ketergantungan yang mengakar. Inilah fase yang paling berbahaya, fase ketika penyimpangan tidak lagi dianggap salah, melainkan menjadi sebuah kebenaran atau sesuatu yang dapat dimaafkan (excusable). 

Selain itu, perilaku nir integritas juga menimbulkan efek domino yang berbahaya, layaknya virus yang menyebar secara cepat dan masif. Ia menular dari satu individu ke individu lain, dari praktik menyimpang menjadi kebiasaan yang dibenarkan. 

Dalam kondisi ini tubuh peradilan tidak lagi menghadapi ancaman dari luar, melainkan dari dalam dirinya sendiri, seperti kanker yang perlahan menghancurkan organ dalamnya.

Efek pun akan berlanjut ke orang terdekat. Orang tua, pasangan, anak dan keluarga akan mengalami tekanan sosial yang luar biasa. 

Rasa malu akan menjadi beban psikologis yang terus menghantui. Kepercayaan yang dibangun selama bertahun-tahun akan runtuh seketika. 

Lebih dari itu, dampak psikologis terhadap Anak-anak sangat berat. Anak-anak akan tumbuh dengan perasaan rendah diri dan kehilangan kebanggaan terhadap sosok orang tua yang seharusnya menjadi teladan.

Selain itu, candu nir integritas tidak hanya merusak diri pribadi si pelaku, orang lain, dan keluarga, tetapi juga menghancurkan kepercayaan publik terhadap independensi lembaga peradilan. 

Apalagi di era serba digital, public trust adalah elemen yang sulit untuk dibangun. Sekali kepercayaan itu dirusak, maka akan sulit untuk dikembalikan seperti semula. Publik akan meragukan setiap putusan yang lahir dari Hakim. Pada titik ini lah candu nir integritas menjadi bahaya yang sangat serius.

Oleh karenanya candu nir integritas harus dipandang sebagai penyakit kronis yang penangannya melalui pendekatan yang khusus. 

Karena tidak seperti candu terhadap zat adiktif, perilaku nir integritas telah mengakar pada diri seseorang yang mengakibatkan terjadi degradasi moral akut. 

Pertanyaannya, apakah bisa berubah menjadi lebih baik, jawabannya bisa, namun sulit. Khawatirnya menjadi pelaku kambuhan. 

Menurut penulis ada dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk memulihkan degradasi integritas yang menyentuh akar permasalahan. 

Pertama, upaya represif, yakni dengan secara tegas memberhentikan tidak hormat setiap Hakim yang terbukti melakukan perilaku nir integritas. Hal ini dilakukan untuk memotong parasit yang hidup di dalam organ tubuh. 

Kedua upaya preventif, dengan cara membangun kesadaran jika integritas adalah nilai hidup dan bukan hanya sebatas pemenuhan karena aturan. Pelatihan KEPPH harus semakin dimasifkan, sehingga Hakim tidak hanya tahu mana yang salah dan benar, tetapi juga memahami mengapa sesuatu itu salah atau dilarang. 

Mahkamah Agung melalui Badan Pengawasan dan juga Komisi Yudisial memperkuat sistem deteksi dini terhadap potensi perilaku nir-integritas dengan melihat pada pola gaya hidup yang tak wajar, penanganan perkara yang tak wajar, pola mutasi dan relasi sosial serta kolega yang rawan penyalahgunaan jabatan. 

Lalu yang tidak kalah penting adalah mengenai peningkatan kesejahteraan Hakim. Meskipun kesejahteraan tidak otomatis dapat menjamin perilaku integritas, namun ketidakadilan terhadap pemenuhan kebutuhan ekonomi sering menjadi pintu masuk bagi corruption by need.

Pada akhirnya, candu nir integritas di tubuh peradilan adalah ancaman laten yang tidak boleh dibiarkan tumbuh, ia merusak tatanan secara perlahan, melemahkan dari dalam, dan akhirnya dapat merusak. Dampaknya mengerikan, tak hanya berimbas pada pelaku candu nir integritas sendiri, namun menjalar pada keluarga dan rekan kerja serta kepercayaan publik. 

Oleh karena itu, setiap Hakim hendaknya meneguhkan kembali sumpah jabatannya bukan sekedar sebagai formalitas belaka, tetapi sebagai pegangan dalam berperilaku setiap hari dan tanggung jawab diri atas amanah yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa.

Artikel ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Marinews.