Ada aura yang berbeda, sebuah getaran yang sakral, ketika kaki melangkah keluar dari lift di lantai 13 Gedung Mahkamah Agung RI.
Bagi insan peradilan, lantai ini bukan sekadar penunjuk ketinggian arsitektural atau angka dalam tombol elevator. Ia adalah simbol dari puncak hierarki yudikatif, “ruang kendali” dari benteng keadilan terakhir di negeri ini.
Saya teringat betul masa-masa itu. Duduk di dalam ruang rapat pimpinan Mahkamah Agung, dengan panorama Monas yang megah dan hiruk-pikuk Jakarta yang tampak kecil dari ketinggian.
Di sana, suasana selalu terasa hening, namun sarat dengan bobot intelektual yang "berat". Di ruangan yang khidmat dan berwibawa itu, pimpinan Mahkamah Agung mendiskusikan blue print pembaruan peradilan, merancang regulasi, dan memikirkan perputaran roda raksasa keadilan di seluruh nusantara.
Kini, saat menoleh ke belakang, rasa syukur yang begitu mendalam menyelimuti hati saya. Sungguh, saya merasa menjadi salah satu orang yang sangat beruntung. Betapa tidak? Saya memiliki kesempatan yang luar biasa untuk bisa duduk di ruangan tersebut, berada di lingkaran terdekat pengambil kebijakan.
Bagi saya, pengalaman itu adalah sebuah anugerah tak ternilai. Bisa menyerap ilmu langsung dari para pimpinan tertinggi Mahkamah Agung, mengamati bagaimana sebuah keputusan krusial diambil dengan pertimbangan yang matang, dan melihat bagaimana kebijaksanaan (wisdom) diterapkan dalam memecahkan masalah bangsa, adalah "kawah candradimuka" yang menempa cara berpikir saya.
Saya bersyukur Tuhan pernah menempatkan saya di sana, mengizinkan saya belajar dari para Yang Mulia Hakim Agung, sebelum akhirnya menugaskan saya untuk mengabdi langsung di lapangan.
Namun hari ini, pemandangan di depan mata saya berbeda seratus delapan puluh derajat. Hari ini, Senin 22 Desember 2025, untuk kali pertama saya mengikuti rapat bulanan pada Pengadilan Negeri Pandeglang.
Saya tidak lagi menatap cakrawala Jakarta dari menara gading. Hari ini, saya menatap wajah-wajah nyata, wajah penuh semangat, kadang lelah namun tetap gigih dari rekan-rekan seperjuangan di ruang rapat Pengadilan Negeri Pandeglang yang hangat.
Transisi dari Mahkamah Agung di Medan Merdeka Utara 9-13 ke satuan kerja di daerah seperti Pandeglang mengajarkan saya sebuah pelajaran berharga, sebuah masterclass tentang esensi kepemimpinan yang sesungguhnya.
Jika di lantai 13 pimpinan berbicara tentang bagaimana seharusnya hukum bekerja dalam tatanan ideal, maka di ruang rapat Pengadilan Negeri Pandeglang ini, kami berbicara tentang bagaimana hukum benar-benar bekerja menyentuh masyarakat.
Di Pandeglang, dinamika rapat terasa jauh lebih hidup, organik, dan membumi. Di sini, kami tidak memiliki kemewahan untuk sekadar berdebat tentang teori hukum yang abstrak.
Dalam kesederhanaan, meja rapat kami dipenuhi dengan isu-isu yang riil dan mendesak, solusi konkrit atas kendala teknis di lapangan, tantangan petugas PTSP menghadapi masyarakat, hingga strategi taktis percepatan penyelesaian perkara.
Duduk memimpin atau menjadi bagian dari rapat di Pengadilan Negeri Pandeglang memberikan perspektif yang menyegarkan jiwa.
Saya menyadari satu hal fundamental, bahwa kebijakan strategis yang digodok dengan canggih di langit Mahkamah Agung tidak akan pernah membumi dan berdampak, tanpa tangan-tangan terampil, keringat, dan dedikasi para aparatur Pengadilan Tingkat Pertama.
Ruang rapat kami di Pengadilan Negeri Pandeglang mungkin tidak setinggi lantai 13, dan pemandangannya bukanlah Monas. Namun, saya berani berkata bahwa di ruangan inilah denyut nadi keadilan yang sesungguhnya berdetak kencang.
Di sini, saya merasakan kehangatan kekeluargaan yang erat, semangat gotong royong yang tulus, dan tekad bersama untuk memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat Banten.
Pengalaman berharga di lantai 13 memberikan saya Visi dan rasa syukur akan luasnya wawasan. Tetapi, pengalaman di PN Pandeglang memberikan saya Rasa. Rasa memiliki, rasa peduli, dan rasa tanggungjawab langsung terhadap setiap berkas perkara yang masuk.

Pada akhirnya, saya merenung, di manapun kita rapat, entah itu di menara gading kebijakan yang sunyi atau di garda terdepan pelayanan yang riuh, tujuannya tetap satu, menegakkan hukum dan keadilan.
Keagungan Mahkamah Agung sejatinya terpancar dari integritas yang kita jaga di setiap ruang sidang dan ruang rapat di seluruh pelosok negeri, termasuk di sini, di Pengadilan Negeri Pandeglang.
Lantai 13 memberi saya peta, namun Pandeglang mengajarkan saya cara berjalan. Saya bersyukur pernah berada di ketinggian untuk melihat luasnya cakrawala, tetapi saya lebih bersyukur kini berada di sini, menapak bumi, merasakan debu dan keringat perjuangan rekan-rekan semua. Karena pada akhirnya, keadilan tidak hidup di dalam tumpukan berkas regulasi, melainkan hadir dalam senyum lega para pencari keadilan yang kita layani sepenuh hati.
Dari Jakarta ke Pandeglang, dari visi ke aksi, inilah pengabdian saya yang sesungguhnya. Mari kita jadikan Pengadilan Negeri Pandeglang bukan sekadar kantor, melainkan rumah di mana harapan masyarakat dijaga dan keadilan dimanusiakan.