Irisan Perdata dan Pidana Melalui Restorative Justice Dalam Perkara Pencemaran Nama Baik

Kerugian yang diderita korban pencemaran nama baik tidak hanya bersifat immateriel berupa rusaknya reputasi, tetapi juga dapat menimbulkan dampak materiel yang nyata.
Ilustrasi pencemaran nama baik. Foto : Freepik
Ilustrasi pencemaran nama baik. Foto : Freepik

Pencemaran nama baik merupakan perbuatan pidana yang berdampak secara privat dan publik dalam sistem hukum Indonesia. 

Di satu sisi, perbuatan ini diatur sebagai perbuatan pidana dalam Pasal 310 dan Pasal 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana untuk pencemaran umum, serta Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik untuk ranah digital. 

Di sisi lain, korban juga dapat menempuh jalur perdata melalui gugatan perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 Burgerlijk Wetboek (BW).

Kerugian yang diderita korban pencemaran nama baik tidak hanya bersifat immateriel berupa rusaknya reputasi, tetapi juga dapat menimbulkan dampak materiel yang nyata. 

Citra buruk yang melekat dapat menyebabkan korban kesulitan mendapatkan pekerjaan, kehilangan peluang bisnis, atau mengalami hambatan dalam kehidupan sosial. Kondisi ini menempatkan korban pada posisi yang sangat dirugikan, baik secara psikologis maupun ekonomis.

Selama ini, korban dihadapkan pada pilihan dilematis: menempuh jalur pidana yang fokus pada pemidanaan pelaku, atau jalur perdata yang memungkinkan ganti rugi tetapi memerlukan proses panjang dan biaya besar. 

Litigasi pidana tidak menjamin pemulihan kerugian korban, sementara litigasi perdata membutuhkan energi dan waktu yang tidak sedikit. Dualisme penyelesaian hukum ini kerap membuat korban kebingungan dalam memilih mekanisme yang paling efektif untuk memulihkan hak-haknya.

Hadirnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif memberikan terobosan penting dalam mengatasi dilema tersebut. 

Regulasi ini membuka ruang bagi pengadilan untuk memfasilitasi perdamaian antara korban dan terdakwa melalui mekanisme keadilan restoratif. Korban dapat mengajukan persyaratan perdamaian yang wajar, seperti permintaan maaf secara publik dan ganti rugi dalam jumlah yang proporsional, yang kemudian dituangkan dalam perdamaian tertulis.

Apabila perdamaian restoratif tercapai, kondisi ini menunjukkan bahwa korban telah terpulihkan dan keadilan restoratif telah terwujud (Kamila:2025). 

Kesepakatan tersebut menjadi pertimbangan majelis hakim untuk meringankan pidana terdakwa. Lebih jauh, perdamaian tertulis ini memiliki implikasi hukum yang signifikan: dokumen tersebut dapat menjadi dasar hukum bahwa kerugian korban telah dipulihkan, sehingga menghilangkan dasar hukum bagi korban untuk mengajukan gugatan perdata berdasarkan Pasal 1365 BW.

Mekanisme restorative justice dalam perkara pencemaran nama baik ini sesungguhnya menciptakan win-win solution. Korban mendapat pemulihan komprehensif tanpa harus menjalani dua proses hukum yang melelahkan, sementara terdakwa memperoleh kesempatan untuk memperbaiki kesalahan dan mendapat keringanan hukuman. 

Pendekatan ini tidak hanya efisien secara prosedural, tetapi juga lebih manusiawi karena mengutamakan pemulihan hubungan dan keadilan bagi semua pihak, sekaligus mengurangi beban sistem peradilan yang kian menumpuk.