Dimensi Ontologis Hak Asasi Manusia dalam Teori Hukum

Ketika hukum mampu menjaga dan merawat hak itu, maka hukum telah menunaikan tugas sucinya, yaitu menjadi penjaga martabat kemanusiaan dalam cahaya ilahi.
Ilustrasi HAM dan hukum. Foto gawieleroux.co.za/
Ilustrasi HAM dan hukum. Foto gawieleroux.co.za/

Tidak ada yang lebih fundamental dalam hukum selain pengakuan terhadap martabat manusia. Hak asasi manusia bukan sekadar seperangkat norma legal yang diatur dalam perundang-undangan. Ia adalah refleksi terdalam dari eksistensi manusia sebagai makhluk yang diciptakan dengan kehormatan dan tanggung jawab. Inilah inti dari dimensi ontologis hak asasi manusia, bahwa hak bukan diberikan oleh negara, melainkan melekat sejak manusia ada.

Setiap manusia hadir dengan nilai intrinsik yang tak bisa dicabut oleh siapa pun. Nilai itu bersumber dari keberadaan manusia itu sendiri. Ia tidak dibentuk oleh kontrak sosial atau perjanjian politik, melainkan berakar dari kodrat kemanusiaan yang transenden. Dalam pendekatan ontologis, hak asasi manusia adalah cermin dari esensi manusia yang luhur.

Teori hukum yang mengabaikan dimensi ontologis akan kehilangan pijakan spiritual dan moral. Hukum menjadi kering, mekanis, dan berjarak dari nurani. Hak hanya dipandang sebagai pemberian negara, bukan sebagai penegasan nilai kemanusiaan. Di titik inilah, banyak sistem hukum gagal melindungi yang paling lemah karena memisahkan hak dari hakikat.

Contoh nyata dapat ditemukan dalam perlakuan terhadap masyarakat adat. Ketika hak atas tanah dianggap hanya sah jika memiliki sertifikat, maka ontologi komunitas sebagai pemilik spiritual wilayah itu diabaikan. Dalam pendekatan ontologis, keberadaan dan hubungan manusia dengan tanah leluhur adalah bentuk hak yang lebih dalam daripada sekadar legalitas administratif.

Hak asasi manusia harus dibaca tidak hanya sebagai wacana legalistik, tetapi sebagai pengakuan akan kemuliaan manusia. Dalam ajaran agama, manusia disebut sebagai makhluk mulia. Gelar itu menunjukkan bahwa setiap manusia layak mendapatkan perlakuan yang adil, hormat, dan bebas dari perendahan martabat.

Ontologi hak manusia menjelaskan bahwa hukum tidak menciptakan hak, tetapi hanya mengakui, melindungi dan mengatur cara mewujudkannya. Ketika negara mengatur hak kebebasan beragama, misalnya, itu bukan karena negara berhak memberi izin beragama, tetapi karena negara wajib menjamin ekspresi hak yang telah melekat sejak manusia dilahirkan.

Pemisahan antara hukum dan ontologi akan mengakibatkan pengkerdilan terhadap makna keadilan. Hukum menjadi alat prosedural yang mungkin sah menurut formalitas, tetapi tidak adil menurut hati nurani. Maka dibutuhkan pendekatan filosofis yang mampu mengembalikan hukum pada tugas sucinya, yaitu melindungi keberadaan manusia seutuhnya.

Hukum yang berpihak pada ontologi manusia adalah hukum yang merangkul, bukan menindas. Ia tidak sekadar menghukum pelaku, tetapi juga memulihkan korban. Ia tidak hanya membicarakan sanksi, tetapi juga menumbuhkan kesadaran. Inilah hukum yang tidak hanya mengatur, tetapi juga menyembuhkan.

Dalam dimensi ontologis, hak asasi manusia tidak mengenal klasifikasi kelas, suku, atau status sosial. Semua manusia berada dalam satu kedudukan ontologis yang sama, yaitu sebagai makhluk Tuhan. Maka diskriminasi atas dasar apapun bukan hanya melanggar norma ini, tetapi juga mencederai martabat penciptaan.

Pengakuan terhadap hak manusia tidak cukup hanya dalam bentuk deklarasi. Ia harus mewujud dalam struktur hukum, kebijakan publik, dan budaya sosial. Dimensi ontologis menuntut keterpaduan antara norma, etika, dan spiritualitas dalam pembentukan hukum.Tidak ada keadilan sejati jika hukum hanya bersandar pada logika, tanpa cinta pada sesama.

Pemahaman ini juga menuntut lahirnya penegak hukum yang memiliki kesadaran filosofis dan spiritual. Hakim, jaksa, dan pembuat undang-undang harus memahami bahwa setiap keputusan mereka menyentuh eksistensi manusia, bukan sekadar berkas perkara. Di sanalah pentingnya menanamkan nilai ontologis dalam pendidikan hukum.

Kesadaran akan hak sebagai bagian dari keberadaan manusia akan membentuk masyarakat yang lebih toleran dan inklusif. Tidak mudah menyakiti yang lain jika menyadari bahwa setiap orang hadir dengan hakikat yang mulia. Inilah pondasi dari peradaban yang adil dan bermartabat.

Dimensi ontologis juga mengajarkan bahwa pelanggaran hak asasi manusia bukan hanya pelanggaran terhadap aturan, tetapi juga pelanggaran terhadap tatanan ciptaan. Maka, memuliakan manusia adalah bentuk penghormatan tertinggi kepada sang pencipta. Hukum yang menyentuh ranah ini bukan hanya legal, tetapi juga sakral.

Refleksi ini adalah ajakan untuk membumikan kembali nilai-nilai ontologis dalam sistem hukum. Hak bukan sekadar kata-kata dalam deklarasi, tetapi adalah nafas dari setiap insan. Ketika hukum mampu menjaga dan merawat hak itu, maka hukum telah menunaikan tugas sucinya, yaitu menjadi penjaga martabat kemanusiaan dalam cahaya ilahi.

Penulis: M. Khusnul Khuluq
Editor: Tim MariNews