Menjabat sebagai Wakil Tuhan, Bolehkah Hakim Main Medsos?

Hakim adalah wakil Tuhan di dunia dalam menentukan benar salahnya suatu tindakan, menentukan hidup atau matinya seseorang. Lalu, dengan tugas mulia seperti itu, apakah hakim boleh main medsos?
Pembinaan 1.451 hakim baru dari empat lingkungan peradilan di Hotel Mercure, Jakarta, Jumat (13/6/2025). Foto dokumentasi Humas MA.
Pembinaan 1.451 hakim baru dari empat lingkungan peradilan di Hotel Mercure, Jakarta, Jumat (13/6/2025). Foto dokumentasi Humas MA.

MARINews, Jakarta-Hakim sering disebut sebagai “wakil Tuhan” di dunia. Julukan ini bukan tanpa alasan. Dalam tugasnya, hakim memiliki wewenang besar untuk menentukan benar dan salahnya suatu tindakan, menentukan hidup dan matinya seseorang, menjatuhkan hukuman. Karena itu, profesi hakim selalu diidentikkan dengan kehormatan, integritas, dan netralitas mutlak.

Merujuk pada hal tersebut, Ketua Mahkamah Agung Sunarto mengatakan, memilih menjadi hakim adalah memilih untuk tidak memiliki kebebasan seperti yang lain. Tutur kata, cara berpakaian, berteman, memilih tempat rekreasi, dan lainnya semua akan menjadi tidak bebas, terbatas. 

Senada dengan Sunarto, Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Non Yudisial Suharto menyatakan, memilih menjadi hakim adalah memilih untuk siap dijauhkan oleh keluarga dan teman. 

“Bagi kalian yang terbiasa pergi ke tempat hiburan malam, bagi kalian yang terbiasa memakai baju asal-asalan, bicara merendahkan orang, hentikan sekarang. Karena hal itu akan berimbas para karir kalian,” begitu pesan Sunarto kepada para hakim baru pada Acara Pembinaan di Jakarta (13/6).

“Berkawan pun harus pilih-pilih!” tambahnya. Karena baginya teman atau kolega bisa mengintervensi dan menjadi orang yang menganggu independensi hakim dalam memutus perkara. 

Lalu, apakah di era digital saat ini seorang wakil Tuhan boleh main media sosial (medsos), berselancar di dunia maya, mengunggah foto, membagikan opini, atau bahkan mengekspresikan kehidupan pribadinya di platform publik seperti Instagram, Facebook, atau X (dulu Twitter)? Ataukah ini menjadi terbatas juga?

Pertanyaan ini langsung dijawab oleh Ketua Mahkamah Agung. Ia memberikan pernyataan tegas sekaligus reflektif mengenai posisi hakim di tengah dunia digital yang semakin terbuka.

Menurut Guru Besar Universitas Airlangga tersebut, pada dasarnya hakim boleh aktif di media sosial, sebagaimana manusia pada umumnya. Namun, ia menegaskan, penggunaan media sosial oleh hakim tidak bisa disamakan dengan manusia lainnya. Ada tanggung jawab etis yang melekat erat dalam setiap tindakan dan pernyataan seorang hakim, baik di ruang sidang maupun di ruang digital.

“Boleh saja hakim menggunakan media sosial, asal tetap menjaga sikap dan ekspresi,” ujar Sunarto. 

“Jangan juga menampilkan hidup dengan kemewahan di media sosial, jangan hedon, tidak pantas,” tegas Sunarto. 

Ia menambahkan, hakim yang aktif di media sosial harus mampu menjaga netralitas, tidak menunjukkan keberpihakan, tidak memamerkan kemewahan, dan tidak ikut mengomentari perkara hukum.

Peringatan tersebut muncul dari kekhawatiran bahwa media sosial dapat menjadi alat yang, jika tidak digunakan dengan bijak, berpotensi menurunkan wibawa dan kepercayaan publik terhadap pribadi hakim itu sendiri dan lembaga peradilan. Dalam dunia yang serba transparan, unggahan pribadi pun bisa dengan mudah ditafsirkan sebagai sikap resmi atau bahkan sebagai sinyal keberpihakan.

Misalnya, seorang hakim yang menyukai atau membagikan unggahan yang berkaitan dengan isu politik tertentu bisa dianggap tidak netral. Atau, unggahan foto liburan mewah bisa menimbulkan persepsi negatif tentang gaya hidup yang tidak sesuai dengan prinsip kesederhanaan yang dijunjung dalam etika hakim. 

Dengan demikian, selama seorang hakim mampu menunjukkan kebijaksanaan, menjaga jarak dari kontroversi, serta tidak mencemari marwah profesinya, maka media sosial bisa menjadi ruang untuk memperlihatkan sisi humanis mereka tanpa mengorbankan integritas.

Sebaliknya, jika media sosial justru menjadi sarana untuk mempertontonkan kemewahan, menyatakan pendapat atas perkara tertentu, atau memberi sinyal politik, maka sudah sepatutnya hakim menahan diri.

Sebagai wakil Tuhan di dunia, seorang hakim tak hanya harus adil di ruang sidang, tetapi juga bijaksana dalam bersikap di ruang publik juga  ruang digital.

Copy