Esensial Syarat Objektif dan Subjektif Atas Kewenangan Penahanan

Tujuan upaya paksa, adalah untuk memastikan proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan berjalan efektif
Ilustrasi penahanan. Foto : Freepik
Ilustrasi penahanan. Foto : Freepik

Upaya paksa (coercive measures), merupakan instrumen penting dalam sistem peradilan pidana, yang memberikan kewenangan kepada aparat penegak hukum untuk melakukan tindakan yang membatasi hak asasi manusia secara sah.
 
Tujuan upaya paksa, adalah untuk memastikan proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan berjalan efektif dengan mencegah tersangka melarikan diri, merusak, atau menghilangkan barang bukti, serta mengulangi perbuatannya. 

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur berbagai bentuk upaya paksa, meliputi penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam Pasal 16 sampai dengan Pasal 49 KUHAP.

Penahanan merupakan bentuk upaya paksa paling krusial karena menyangkut perampasan kebebasan, yaitu hak yang menjadi inti hak asasi manusia. 

Menurut Pasal 1 angka 21 KUHAP, penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh aparat penegak hukum berdasarkan penetapan yang sah.

Secara filosofis, penahanan bukanlah bentuk penghukuman di muka (pre-trial punishment), melainkan instrumen prosedural untuk menjamin efektivitas peradilan. 

Oleh karena itu, kewenangan penahanan tidak bersifat otomatis, melainkan harus memenuhi syarat hukum yang ketat.

Syarat dapat dilakukan penahanan pada dasarnya terbagi dua syarat utama, yakni syarat objektif dan syarat subjektif. Syarat objektif tercantum dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP. 

Syarat ini menekankan aspek legal-formal mengenai jenis dan ancaman pidana suatu tindak pidana. Penahanan hanya dapat dilakukan terhadap:

  • Tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih, atau
  • Tindak pidana tertentu yang disebut secara limitatif dalam Pasal 21 ayat (4) huruf b KUHAP, meskipun ancamannya kurang dari lima tahun (misalnya: penganiayaan berat, pencurian dengan pemberatan, tindak pidana korupsi, dan tindak pidana narkotika tertentu).

Syarat objektif ini menetapkan batas minimal kapan negara melalui aparat penegak hukum diperbolehkan merampas kemerdekaan seseorang.

Syarat subjektif diatur dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP. Syarat ini didasarkan pada penilaian terhadap indikasi faktual yang menimbulkan kekhawatiran bahwa Tersangka atau Terdakwa: (1) akan melarikan diri, (2) akan merusak, atau menghilangkan barang bukti, atau (3) akan mengulangi tindak pidana. 

Syarat subjektif bukanlah penilaian terhadap “kepribadian” tersangka, melainkan pertimbangan rasional dan berbasis fakta mengenai risiko terhadap proses peradilan. 

Kedua syarat tersebut bersifat kumulatif, terpenuhinya syarat objektif tidak serta merta membenarkan penahanan tanpa adanya alasan subjektif yang faktual.

KUHAP tidak menjadikan penahanan sebagai kewajiban aparat penegak hukum. Sekalipun syarat objektif terpenuhi (misalnya ancaman pidana lebih dari lima tahun), aparat tetap harus mempertimbangkan terpenuhinya syarat subjektif secara faktual.

Tersangka atau terdakwa yang bertindak kooperatif, misalnya selalu memenuhi panggilan, tidak menghalangi penyidikan, atau menunjukkan itikad baik, dapat menjadi alasan kuat untuk tidak dilakukan penahanan.

Hal ini, karena kondisi tersebut menghilangkan dasar kekhawatiran dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP. Namun, penggunaan diskresi untuk tidak melakukan penahanan tetap harus dapat dipertanggungjawabkan dan tidak dilakukan pada tindak pidana dengan risiko tinggi.

Dalam tindak pidana yang ancaman pidananya sangat berat atau memiliki karakter risiko tinggi, misalnya pembunuhan berencana, korupsi, narkotika, atau tindak pidana terorganisir, pertimbangan syarat subjektif memperoleh bobot yang lebih kuat. Hal ini disebabkan oleh:

  • Ancaman pidana yang berat (misalnya penjara seumur hidup atau hukuman mati) secara logis meningkatkan risiko tersangka melarikan diri.
  • Karakter tindak pidana yang terorganisir atau sistemik seringkali melibatkan banyak pihak dan bukti, sehingga risiko penghilangan barang bukti atau memengaruhi saksi menjadi sangat tinggi.
  • Kepentingan publik dan potensi gangguan ketertiban dapat menjadi faktor kontekstual dalam menilai risiko jika tersangka tidak ditahan (walaupun tidak menjadi alasan tersendiri dalam Pasal 21 KUHAP).

Oleh karena itu, meskipun tersangka bersikap kooperatif, risiko faktual dalam jenis tindak pidana tertentu dapat tetap membenarkan penahanan. 

Selain itu, terdapat faktor kepentingan publik dan rasa keadilan masyarakat karena melepaskan tersangka yang melakukan perbuatan seperti pembunuhan, korupsi, narkotika, dan sebagainya, meskipun ia kooperatif, akan menimbulkan gejolak sosial.

Sebagai penutup, penahanan dalam kerangka KUHAP, adalah upaya paksa yang bersifat diskresioner dan tidak secara otomatis, serta hanya sah apabila terpenuhi dua syarat kumulatif, yakni syarat objektif berdasarkan jenis dan ancaman pidana (Pasal 21 ayat (4) KUHAP) dan syarat subjektif berdasarkan kekhawatiran yang faktual (Pasal 21 ayat (1) KUHAP). 

Oleh karena itu, aparat penegak hukum dalam menerapkan kewenangan penahanan diharapkan secara proporsional, selektif, dan berdasarkan kebutuhan hukum, demi menjaga keseimbangan antara kepentingan penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia.

Penulis: Rafi Muhammad Ave
Editor: Tim MariNews