Pendahuluan
Peranan kepolisian dalam sistem peradilan pidana di Indonesia sangat vital, karena selain sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat (order maintenance officer), juga sebagai agen penegak hukum (law enforcement agency).
Polisi adalah ujung tombak dalam integrated criminal justice system atau garda terdepan dalam penegakan hukum pidana.
Fungsi kepolisian mencakup aspek preventif dan represif, aspek preventif menampakan diri dalam bentuk tugas memelihara tertib dan ketertiban serta mencegah terjadinya pelanggaran hukum.
Sedangkan aspek represif berupa tindakan kepolisian dan penegakan hukum.
Kedua aspek fungsi kepolisian tersebut menjadi acuan dalam pengorganisaian tugas-tugas Operasional kepolisian di berbagai negara.
Kewenangan utama kepolisian meliputi beberapa aspek krusial diantaranya penyelidikan dan penyidikan, yang terhadap procedural dan produknya dapat diuji keabsahannya oleh pihak tersangka melalui lembaga praperadilan, atau dengan kata lain merupakan menjadi objectum litis dari praperadilan, yakni meliputi:
- sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, penetapan tersangka, penyitaan dan penggeledahan;
- ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada Tingkat penyidikan atau penuntutan.
Dalam rangka pelaksanaan peran dan fungsi kepolisian, wilayah negara Republik Indonesia dibagi dalam daerah hukum menurut kepentingan pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Adapun daerah hukum kepolisian meliputi:
- daerah hukum kepolisian markas besar untuk wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
- daerah hukum kepolisian daerah untuk wilayah provinsi;
- daerah hukum kepolisian resort untuk wilayah kabupaten/kota;
- daerah hukum kepolisian sektor untuk wilayah kecamatan;
Berdasarkan pertimbangan kepentingan, kemampuan, fungsi dan peran kepolisian, luas wilayah serta keadaan penduduk, Kapolri dapat menentukan daerah hukum kepolisian di luar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c dan huruf d.
Selain dari daerah hukum, kepolisian meliputi pula kawasan diplomatik, yaitu Kedutaan Besar Indonesia serta kapal laut dan pesawat udara berbendera Indonesia di luar negeri.
Adapun yang dikecualikan adalah kawasan diplomatik, kedutaan besar asing, kantor perwakilan badan internasional, kapal laut dan pesawat udara berbendera asing, serta tempat lain sesuai peraturan perundang-undangan.
Eksistensi Daerah Hukum tersebut, membawa implikasi Organisasi Polri disusun secara berjenjang dari tingkat pusat sampai tingkat daerah berdasarkan daerah hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan terdiri dari:
- Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia, disingkat Mabes Polri;
- Kepolisian Daerah, disingkat Polda;
- Kepolisian Resort, disingkat Polres; dan
- Kepolisian Sektor, disingkat Polsek.
Berdasarkan hal tersebut, pertanyaan yang dapat mengemuka adalah bagaimanakah pemaknaan “berjenjang” dalam susunan organisasi Polri berkaitan dengan pihak yang tepat didudukkan sebagai Termohon dalam formulasi surat permohonan dalam praperadilan, atau dengan kata lain, wajibkah mendudukkan organisasi polri tingkat pusat sebagai termohon dengan Teknik pencantuman “Cq”/Casu Quo sampai dengan tingkat daerah yang diinginkan, untuk menunjukkan suatu hubungan yang bersifat hierarkis?
Pembahasan
Di Negara Demokratis, sistem kepolisian dibagi dalam 3 Model, yaitu:
- Pertama, Fragmented System of Policing (Sistem kepolisian terpisah atau berdiri sendiri), disebut juga sistem desentralisasi yang ekstrim atau tanpa sistem, dimana adanya kekhawatiran terhadap penyalahgunaan dari suatu organisasi Polisi yang otonom dan dilakukan pembatasan kewenangan Polisi. Sistem ini dianut oleh Negara-negara yaitu Belgia, Kanada, Belanda, Switzerland, Amerika Serikat.
- Kedua, Centralized System of Policing (Sistem Kepolisian Terpusat). Berada langsung dibawah kendali pemerintah secara tersentral. Negara-negara yang menganut sistem ini adalah Perancis, Italia, Finlandia, Israel, Thailand, Taiwan, Irlandia, Denmark, Swedia.
- Ketiga, Integrated System of Policing (Sistem Kepolisian Terpadu), disebut juga sistem desentralisasi moderat atau kombinasi atau kompromi, merupakan sistem kontrol yang dilakukan pemerintah pusat dan daerah agar terhindar dari penyalahgunaan organisasi Polisi Nasional serta efektif, efisien, dan seragam dalam pelayanan. Negara-negara yang menganut hal ini adalah Jepang, Australia, Brasil, dan Inggris.
Polri, yang menurut Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 merupakan Kepolisian Nasional yang merupakan satu kesatuan, apabila dilihat dalam sistem Kepolisian maka termasuk dalam sistem Kepolisian Terpusat (Centralized System of Policing).
Tetapi, sesuai dengan situasi dan kondisi kewilayahan yang ada di Indonesia, struktur organisasi Polri bersifat Nasional namun prediksi dan antisipasi Polri dalam pelaksanaan setiap peran, tugas, maupun misinya harus dilakukan dan terarah pada pendekatan keamanan (Security Approach) di setiap daerah hukum masing-masing.
Format desentralistik dapat menyangkut aspek sharing of power kewenangan kepolisian Pusat dengan Daerah.
Secara teoritis, pembagian daerah hukum terkonsep akan pentingnya pembagian kewenangan berdasarkan daerah dan batas tanggungjawab.
Model pembagian kewenangan antara pusat dan daerah ini mengingatkan pada suatu konsep pemerintahan dengan sistem sentralisasi dan desentralisasi.
Di dalam negara kesatuan, kedua sistem ini menurut Hoessein harus dalam posisi seimbang dan tidak mungkin memilih salah satu, karena akan terjadi anarki, oleh karena itu diambil jalan tengah, yakni desentralisasi dan sentralisasi.
Dengan melihat lembaga kepolisian adalah kepolisian nasional yang terpusat di markas besar, sedangkan pelaksanaan tugas dan wewenangnya terkonsep pembagian daerah hukum, maka hubungan kepolisian tingkat Mabes Polri dengan kepolisian di tingkat provinsi (polda) menganut sistem desentralisasi administrasi dan sentralisasi secara seimbang.
Konsep sentralisasi tercermin pada sistem pengangkatan Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) dan Kepala Kepolisian Wilayah (Kapolwil) serta kenaikan pangkat tertentu yang menjadi otoritas Mabes Polri, pelaporan atas tanggung jawab penyelenggaraan kepolisian di tingkat daerah, distribusi sarana dan prasarana serta anggaran, sedangkan desentralisasi tercermin dari adanya pembagian daerah hukum, pengoperasionalan anggaran dan pendelegasian wewenang terbatas.
Di dalam UU di bidang kepolisian, fungsi kepolisian diartikan sebagai tugas dan wewenang, yang oleh Logemann disebutkan hubungan antara “tugas dan wewenang” (taak en bevoegdheid, function and power), wewenang adalah hulpmiddel dalam pelaksanaan tugas.
Tugas biasanya dirumuskan secara umum. Sedangkan wewenang dirumuskan secara lebih konkrit.
Pada konteks melaksanakan penegakan hukum pidana, dilihat dari teori sumber kewenangan, maka polisi memperoleh kewenangannya dalam melaksanakan tugas yaitu berdasarkan atribusi.
Menurut J.G. Brouwer, atribusi merupakan kewenangan yang diberikan kepada suatu organ (institusi) pemerintahan atau lembaga negara oleh suatu badan legislatif yang independen.
Kewenangan ini adalah asli, yang tidak diambil dari kewenangan yang ada sebelumnya. Badan legislatif menciptakan kewenangan mandiri dan bukan perluasan kewenangan sebelumnya dan memberikan kepada organ yang berkompeten.
Kewenangan diperoleh dari peraturan perundang-undangan yang merupakan legalitas formal, artinya yang memberi legitimasi terhadap tindakan tersebut.
Hal ini sesuai dengan prinsip negara hukum yang meletakkan undang-undang sebagai sumber kewenangan. Dalam hal ini diperoleh dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang di bidang kepolisian (UU Nomor 2 tahun 2022 jis UU Nomor 11 tahun 2020 jis UU Nomor 6 tahun 2023), serta KUHAP.
Hierarki susunan organisasi polri lahir sebagai akibat adanya pembagian daerah hukum sebagai suatu upaya untuk melaksanakan peran dan fungsinya secara efektif dan efisien, mengoptimalkan pencapaian sasaran fungsi, dan peran Polri, serta kepentingan pelaksanaan tugas dan kepastian hukum.
Dengan demikian, wilayah Negara Republik Indonesia dibagi dalam daerah hukum menurut kepentingan pelaksanaan tugas dan wewenang Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan memperhatikan luas wilayah, keadaan penduduk, dan kemampuan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diusahakan harmonis, sesuai dan serasi dengan pembagian wilayah administrasi Pemerintahan Daerah dan perangkat sistem peradilan pidana terpadu.
Dengan tetap mengingat pembagian daerah hukum tersebut berlaku sebagai kekhususan yang tidak menegasikan norma umum yakni pembagian daerah hukum kepolisian tidak membatasi setiap pejabat Polri dalam melaksanakan tugas, fungsi, peran dan kewenangannya sesuai peraturan perundang-undangan di seluruh wilayah negara Republik Indonesia (vide: Pasal 17 UU Kepolisian jo PP Nomor 23 tahun 2007).
Oleh karena hierarki susunan organisasi Polri tidaklah menunjukkan pola sumber kewenangan dalam penegakan hukum pidana tersebut diperoleh atau didistribusikan, karena semua tingkatan kepolisian memperolehnya secara mandiri berdasarkan atribusi, maka penarikan kepolisian sebagai termohon dalam praperadilan dapat dilakukan secara langsung atau dengan kata lain tidaklah relevan diformulasikan secara berjenjang.
Daftar Rujukan
Ida Bagus Kade Danendra, Kedudukan Dan Fungsi Kepolisian Dalam Struktur Organisasi Negara Republik Indonesia, Lex Crimen Vol.I/No.4/Okt-Des/2012.
Jenifer Tio Novalna Br Manalu, Kewenangan Kepolisian Dalam Pemberlakuan Kebijakan Penghentian Penyidikan Berdasarkan Keadilan Restoratif Ditinjau dari Teori Kewenangan, Jurnal Kewarganegaraan Vol. 8 No. 1 Juni 2024, P-ISSN: 1978-0184 E-ISSN: 2723-2328.
J.H.A. Logemann. Tentang Teori Suatu hukum Tata Negara Positif, Terjemahan Makkatutu dan JC Pangkarego. Ichtiar Baru Van hoeve. 1975.
Sugiri, Pemahaman Kedudukan Dan Fungsi Polri Dalam Struktur Organisasi Sistem Kenegaraan, Jurnal Ilmu Kepolisian ISSN: 2620-5025, Volume 17 / Nomor 3 / Desember 2023.
Yuni Kurniariawan, et.al, “Peranan Kepolisian Dalam Penerapan Restorative Justice Terhadap Pelaku Tindak Pidana Dalam Wilayah Hukum Polres Kerinci,” JAN Maha 5, no. 2 (2023).
Sukamto Satoto, Membangun Kemandirian Dan Profesionalisme Polisi Republik Indonesia Sebagai Pelindung Pengayom Dan Penegak Hukum, Jurnal Inovatif, Volume VII Nomor III September 2014.

