Mengapa Hakim Itu Manusia yang Kesepian

Kesepian itu, lahir dari tanggung jawab moral dan integritas yang menuntutnya berdiri sendiri di antara hukum, nurani, dan tekanan kepentingan.
Ilustrasi hakim. Foto ; Freepik.com
Ilustrasi hakim. Foto ; Freepik.com

Hakim sering dipandang sebagai simbol keadilan yang tegas dan netral, namun di balik toga hitamnya, ia adalah manusia yang kesepian. 

Kesepian itu, lahir dari tanggung jawab moral dan integritas yang menuntutnya berdiri sendiri di antara hukum, nurani, dan tekanan kepentingan.

Muqaddimah

Dalam sistem peradilan, hakim merupakan aktor sentral yang memiliki wewenang untuk menentukan arah keadilan melalui setiap putusan yang dijatuhkannya. 

Oleh karena kewenangan tersebut, menjadikan hakim sebagai sosok yang memiliki kekuasaan luar biasa, yaitu kekuasaan untuk menentukan benar atau salah, adil atau tidak adil, bebas atau bersalah. 

Wajar jika profesi hakim seringkali dipandang sebagai lambang keadilan tertinggi dalam sistem hukum. 

Ia duduk di kursi yang tinggi, mengenakan toga hitam, dan memegang palu keadilan yang menjadi simbol kekuasaan hukum negara. 

Di mata publik hakim tampak sebagai sosok yang tegas, berwibawa, dan tak tergoyahkan oleh pengaruh mana pun. Di balik citra itu, tersembunyi sisi manusiawi yang jarang dibicarakan yaitu hakim adalah manusia yang kesepian.

Kesepian seorang hakim bukanlah kesepian secara fisik, melainkan kesepian moral dan spiritual. 

Dalam menjalankan tugasnya, hakim dituntut untuk bersikap netral, menjaga jarak dari kepentingan pribadi maupun tekanan sosial, serta ketika memutus perkara berdasarkan hukum dan hati nuraninya. 

Tanggung jawab itu, menempatkannya dalam posisi unik berdiri di antara hukum positif yang kaku dan keadilan substantif yang hidup di tengah masyarakat.

Dengan demikian, kesepian yang dialami hakim bukanlah tanda kelemahan dirinya, melainkan konsekuensi dari tanggung jawab besar yang diembannya. 

Kesepian itu sebagai ruang sunyi di mana hakim berhadapan dengan dirinya sendiri, menimbang hukum, menelaah nurani, dan memutus dengan hati yang paling jernih. 

Melalui pemahaman ini, kita diingatkan, hakim meskipun dijunjung tinggi sebagai simbol keadilan, tetaplah manusia yang memiliki perasaan, keraguan, dan tanggung jawab moral yang mendalam.

Hakim di Persimpangan Nurani dan Hukum

Hakim berada di titik paling rumit dalam sistem hukum antara teks undang-undang dan rasa keadilan yang hidup di masyarakat. 

Hakim tidak hanya membaca pasal demi pasal, tetapi menafsirkan maknanya dengan hati nurani. Dalam tugas itu, ia kerap dihadapkan pada dilema antara keadilan formal dan keadilan substansial.

Selain itu, dalam praktiknya, hakim seringkali dihadapkan pada dilema batin antara “keadilan hukum” (legal justice) dengan “keadilan moral” (moral justice).

Dalam kondisi demikian, seorang hakim harus memilih di antara dua hal yang sama-sama memiliki nilai antara kepastian hukum dan keadilan substansial. 

Proses pengambilan keputusan inilah yang menjadikan profesi hakim begitu kompleks dan sarat dengan beban psikologis.

Hakim senantiasa dituntut menjaga jarak dari pengaruh luar, termasuk hubungan sosial, politik, dan ekonomi yang dapat memengaruhi independensinya. 

Sebagaimana yang telah diatur dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH), seorang hakim wajib menjaga integritas, kemandirian, dan imparsialitas, bahkan harus berjalan sendirian di jalan yang sunyi.

Dalam konteks inilah kesepian seorang hakim muncul yaitu kesepian yang lahir dari tanggung jawab moral untuk menegakkan keadilan di tengah tarik-menarik kepentingan, tekanan publik, dan kompleksitas nilai kemanusiaan.

Namun, ketika nurani berbicara berbeda dari teks hukum, kesepian menjadi tak terelakkan. Sebab pada akhirnya, hakim harus memilih dan mempertanggungjawabkan keputusannya, bukan hanya di hadapan hukum, tetapi juga di hadapan Tuhan dan hati nuraninya sendiri. 

“Palu keadilan hanya dipegang satu tangan, tetapi setiap ketukannya mengguncang banyak kehidupan.”

Kesepian Moral di Balik Kewibawaan

Dalam setiap perkara, keputusan hakim tidak pernah netral secara emosional. 

Ia sadar satu putusan dapat mengubah jalan hidup banyak orang, memisahkan keluarga, menceraikan suami-istri, menahan seorang ayah, atau menetapkan salah satu pihak sebagai kalah. 

Di ruang sidang, semua itu harus disampaikan dengan ketenangan. Tidak ada ruang bagi air mata atau keraguan bagi seorang hakim dalam memutus sengketa atau kasus yang ditangani.

Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan, “hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.” 

Ketentuan ini, menunjukkan hakim tidak cukup hanya tunduk pada teks hukum, ia juga harus menangkap denyut keadilan yang hidup di tengah manusia.

Ketika menjalankan amanat itu, ia justru kerap berjalan sendiri, tidak ada pihak yang bisa menanggung beban moral keputusannya.

Jaksa, pengacara, dan pihak berperkara memiliki kepentingan masing-masing, sementara hakim hanya punya tanggung jawab kepada hukum, keadilan, dan Tuhannya, dari situlah kesepian moral itu tumbuh.

Kesepian Sebagai Konsekuensi Integritas

Integritas seorang hakim menuntut jarak dari banyak hal, dari tekanan kekuasaan, dari rayuan kepentingan, bahkan dari keakraban sosial yang bisa mengaburkan objektivitas. Semakin tinggi integritasnya, maka semakin jauh ia dari kenyamanan sosial.

Hakim tidak boleh makan siang bersama pihak berperkara, tidak boleh membahas perkara di luar sidang, dan tidak boleh membiarkan perasaannya memengaruhi keputusan. 

Ia harus netral dan netralitas itu sering kali berarti kesendirian.

Filsuf Immanuel Kant pernah mengatakan, “Tegakkanlah keadilan, walau langit akan runtuh.” 

Prinsip itu menjadi roh bagi seorang hakim, sekaligus sumber kesepian sebab dalam menegakkan keadilan, ia harus berani berdiri tegak bahkan ketika semua orang menentangnya.

Hakim Juga Manusia

Di balik semua itu, hakim tetaplah manusia. Ia juga bisa ragu, lelah dan takut salah. 

Hakim juga punya keluarga yang menantinya pulang, punya anak yang bertanya mengapa ayahnya harus memutus orang lain bersalah. Semua sisi kemanusiaan itu, tidak pernah tampak di ruang sidang, akan tetapi tetap hidup di dalam dirinya.

Kesadaran kemanusiaan inilah yang membuat hakim sesungguhnya tidak hanya menjadi penegak hukum, tetapi juga penjaga moral masyarakat.

Ia bukan mesin keputusan, melainkan manusia yang setiap hari bergulat antara keadilan, belas kasih, dan tanggung jawab.

Di Balik Kesepian, Ada Kemanusiaan

Kesepian hakim bukan tanda kelemahan, melainkan cermin kedalaman jiwanya. 

Dalam kesunyian itulah, ia berbicara dengan nuraninya, menimbang bukan hanya benar atau salah, tetapi juga pantas atau tidak, manusiawi atau tidak.

Kesepian menjadi ruang refleksi, tempat di mana hakim menyadari di mana setiap keputusan bukan sekadar soal hukum, tetapi juga soal kemanusiaan. 

Di ujung setiap vonis, yang berbicara bukan hanya palu keadilan, tetapi hati seorang manusia yang mencoba berlaku adil sebaik mungkin. 

Hakim yang kesepian adalah hakim yang sadar, keadilan bukanlah perkara menang dan kalah, melainkan keseimbangan antara hukum dan nurani.

Kesepian Hakim sebagai Ujian Amanah

Kesepian seorang hakim dalam tradisi hukum Islam muncul dari tanggung jawab yang sangat personal terhadap Allah. 

Dalam sistem sekuler, tanggung jawab hakim berhenti di pengadilan tertinggi, sementara dalam Islam, tanggung jawab itu berlanjut sampai ke pengadilan Ilahi di akhirat.

Imam al-Ghazali menggambarkan tugas hakim sebagai “beban berat yang hanya bisa dipikul oleh hati yang bersih.” 

Ia menegaskan orang yang mencari kehormatan melalui jabatan kehakiman justru akan binasa, sedangkan yang menerima jabatan itu karena menegakkan keadilan akan diselamatkan.

Di sinilah letak kesepian moral hakim Islam, ia harus terus-menerus mengawasi dirinya agar tidak tergelincir oleh hawa nafsu, tekanan, dan kepentingan. 

Meskipun, hidup dalam dunia yang penuh interaksi sosial, hatinya hanya terpaut pada keadilan Ilahi. Ia tidak bisa memihak siapapun selain kepada kebenaran, bahkan ketika kebenaran itu menyakitkan.

Penutup

Menjadi hakim berarti siap menanggung kesunyian, sebab tanggung jawabnya terlalu besar untuk dibagi. 

Ia tidak hanya menegakkan hukum, namun juga menjaga martabat kemanusiaan. Di balik toga hitamnya, ada hati yang bergetar, setiap kali palu diketukkan bukan karena ragu pada hukum, melainkan karena sadar di balik ketukkan palu dan setiap keputusan yang dijatuhkan, ada kehidupan yang berubah.

Hakim itu memang manusia yang kesepian, justru dari kesepian itulah, lahir keadilan yang paling tulus, yakni keadilan yang tidak mencari pujian, tidak tunduk pada tekanan, dan hanya berpihak pada kebenaran.

Daftar Bacaan

Al-Ghazali, Abu Hamid. Ihya’ Ulum al-Din. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993.
Mahkamah Agung Republik Indonesia. Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH). Komisi Yudisial & MA RI, 2009.
Radbruch, Gustav. Gesetzliches Unrecht und Übergesetzliches Recht (1946).
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. 

Penulis: Al Fitri
Editor: Tim MariNews