Di zaman serba digital, batas antara ruang pribadi dan publik semakin kabur. Termasuk bagi para aparat peradilan.
Media sosial, yang dulunya menjadi ruang berbagi, kini bisa menjadi panggung yang memperlihatkan celah-celah integritas. Tak heran, sorotan terhadap perilaku hakim, panitera, hingga pegawai pengadilan di dunia maya kian tajam.
Kasus-kasus viral terkait unggahan tak pantas, komentar politis, hingga gaya hidup mewah oleh aparat peradilan menjadi catatan penting. Masyarakat pun bertanya-tanya: apakah mereka masih layak dipercaya sebagai pengadil yang adil dan netral?
Inilah saatnya reformasi kode etik dan perilaku menjadi agenda utama.
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim sejatinya telah diatur dalam KEPPH dan peraturan Mahkamah Agung lainnya. Namun, tantangan zaman menuntut pembaruan, terutama terkait penggunaan teknologi dan media sosial.
Sebab, meski tidak melanggar hukum pidana, banyak tindakan di dunia maya bisa mencederai wibawa lembaga peradilan.
Mahkamah Agung (MA) sebagai institusi tertinggi perlu mengambil peran lebih aktif. Tidak hanya memperbaharui pedoman etik, tapi juga memperkuat sistem pengawasan dan pembinaan.
Komisi Yudisial juga punya tanggung jawab besar dalam menjaga marwah hakim dan merespons keluhan masyarakat secara transparan dan cepat.
Hakim dan aparat pengadilan sejatinya adalah cermin keadilan. Etika bukan sekadar soal aturan tertulis, tetapi soal sikap dan tanggung jawab moral.
Perlu ada kesadaran kolektif bahwa integritas tidak boleh berhenti saat sidang usai, tapi harus hidup bahkan di balik layar ponsel.
Harapan ke depan, reformasi kode etik bukan hanya simbolik. Ia harus mengakar dalam budaya lembaga. Pelatihan berkelanjutan, evaluasi etik berkala, serta mekanisme sanksi yang adil dan tegas adalah bagian dari solusi.
Karena ketika integritas terjaga, maka kepercayaan publik akan kembali tumbuh, dan hukum benar-benar bisa menjadi panglima.