Hak Asuh Anak Ketika Orang Tua Berbeda Agama

Mayoritas ulama dari mazhab Syafi‘i, Hanbali, dan sebagian Malikiyah menegaskan bahwa keislaman merupakan syarat substantif bagi pemegang hak asuh.
Ilustrasi hak asuh anak. Foto : Freepik
Ilustrasi hak asuh anak. Foto : Freepik

Keislaman sebagai Syarat Hak Asuh (Ḥaḍānah) 

Dalam hukum Islam, hak asuh anak (ḥaḍānah) memiliki kedudukan strategis karena terkait langsung dengan perlindungan jiwa (ḥifẓ al-nafs), keturunan (ḥifẓ al-nasl), dan agama (ḥifẓ al-dīn). 

Salah satu aspek yang banyak diperdebatkan para fuqaha adalah syarat keislaman bagi pengasuh (ḥāḍhin), terutama ketika anak yang diasuh (maḥḍūn) beragama Islam.

Mayoritas ulama dari mazhab Syafi‘i, Hanbali, dan sebagian Malikiyah menegaskan bahwa keislaman merupakan syarat substantif bagi pemegang hak asuh. 

Prinsip dasarnya adalah “tidak ada otoritas perwalian bagi non-Muslim atas Muslim”, karena terdapat kekhawatiran logis terhadap potensi penyimpangan akidah anak akibat pengaruh pengasuh yang berbeda agama.

Pandangan ini juga sejalan dengan posisi Hanafiyah terhadap pengasuh laki-laki. Mereka menilai bahwa syarat keislaman bersifat niscaya karena hadhanah mencakup unsur perwalian terhadap diri anak (wilāyah ‘alā al-nafs). 

Dengan demikian, seorang non-Muslim tidak memiliki otoritas penuh untuk mengasuh anak Muslim karena bertentangan dengan prinsip perlindungan agama anak.

Dasar pandangan ini juga diperkuat oleh pertimbangan maqāṣid al-syarī‘ah. Keberislaman pengasuh dianggap sebagai jaminan moral dan spiritual bahwa anak tumbuh dalam atmosfer keimanan. 

Syarat ini tidak hanya dilihat secara administratif, tetapi bersifat preventif (sadd al-dzarī‘ah), guna mencegah potensi penyimpangan akidah akibat pembiasaan yang salah dalam kehidupan sehari-hari.

Meski demikian, penerapan syarat keislaman tentu tidak bersifat absolut. Apabila tidak terdapat ancaman nyata terhadap agama atau moral anak, maka keislaman pengasuh tidak serta-merta menjadi alasan pencabutan hak asuh. Artinya, faktor niat baik dan kepedulian terhadap anak tetap menjadi pertimbangan utama dalam pelaksanaan ḥaḍānah.

Hak Asuh Perempuan Non-Muslim

Mazhab Hanafiyah dan Malikiyah mengambil posisi yang lebih moderat. Keduanya tidak mensyaratkan keislaman sebagai prasyarat mutlak bagi perempuan pengasuh. 

Seorang ibu non-Muslim, baik dari kalangan ahl al-kitāb (Yahudi dan Nasrani) maupun non-Kitabiyah, tetap dapat memperoleh hak hadhanah selama dapat menjamin keselamatan anak secara fisik dan moral.

Pendapat ini berlandaskan pada hadis sahih tentang peristiwa ketika Nabi Muhammad SAW memberikan pilihan kepada seorang anak antara ayahnya yang Muslim dan ibunya yang musyrik. Anak itu semula condong kepada ibunya, hingga Nabi berdoa: “Allāhumma ihdihī” (Ya Allah, tunjukilah dia), maka anak tersebut akhirnya memilih ayahnya. 

Dari riwayat ini, ulama menegaskan bahwa inti hadhanah adalah kasih sayang (asy-syafaqah), bukan kesamaan agama.

Menurut Hanafiyah, pengasuhan oleh ibu non-Muslim diperbolehkan hingga anak mencapai usia tamyīz, yakni mampu membedakan antara benar dan salah atau antara keyakinan agama, umumnya sekitar tujuh tahun. 

Hak asuh gugur hanya bila terdapat indikasi ancaman terhadap akidah anak, seperti pengajaran agama lain atau pembiasaan terhadap makanan dan minuman yang diharamkan.

Mazhab Malikiyah lebih fleksibel. Mereka menegaskan bahwa hak asuh tidak otomatis hilang sekalipun terdapat kekhawatiran terhadap pengaruh non-Islam. Solusinya ialah mengawasi pengasuh melalui lingkungan sosial Muslim (ruqabā’). 

Pengasuh non-Muslim dapat tetap menjalankan hadhanah sepanjang tidak memberi anak hal yang dilarang syariat, seperti khamar dan daging babi. Apabila kekhawatiran meningkat, hak pengawasan anak dialihkan kepada Muslim yang dipercaya tanpa mencabut hak keibuan.

Pendekatan Malikiyah ini menegaskan keseimbangan antara perlindungan akidah dan perlindungan kasih sayang. Mereka berpegang pada hadis Nabi SAW: “Barang siapa memisahkan ibu dari anaknya, maka Allah akan memisahkan dia dari orang-orang yang dicintainya pada hari Kiamat.” (HR. at-Tirmiżī).

Hadis ini bersifat universal dan tidak membedakan antara ibu Muslim dan non-Muslim. Oleh karena itu, hak keibuan dianggap fitri (natural right) yang hanya dapat dicabut jika terbukti membahayakan anak.

Mazhab Hanafiyah dan Malikiyah dengan demikian sama-sama menolak generalisasi. Perbedaan agama bukan alasan otomatis menggugurkan hadhanah. Ibu non-Muslim tetap dianggap memiliki kapasitas hukum (ahlīyah) untuk mengasuh anak Muslim, selama pengasuhan tidak menimbulkan bahaya terhadap agama anak. 

Pendekatan ini sejalan dengan maqāṣid al-syarī‘ah dalam menjaga agama, keturunan, dan kasih sayang secara proporsional.

Syarat Keislaman bagi Pengasuh Laki-Laki

Berbeda dengan pengasuh perempuan, ulama mazhab Hanafiyah mensyaratkan keislaman bagi pengasuh laki-laki. Sebab, hak hadhanah laki-laki memiliki sifat perwalian hukum (wilāyah), bukan hanya pengasuhan emosional. 

Seorang laki-laki non-Muslim tidak berwenang menjalankan wilāyah atas anak Muslim, sebagaimana perbedaan agama juga menghalangi hubungan kewarisan.

Sebaliknya, mazhab Malikiyah berpandangan lebih lunak. Mereka menyatakan bahwa hak hadhanah laki-laki bersifat derivatif, yakni tidak berdiri sendiri, melainkan bergantung pada adanya perempuan yang layak mengasuh (istri, ibu, bibi). Artinya, laki-laki berfungsi administratif dan protektif, bukan pelaksana langsung pengasuhan. Oleh sebab itu, keislaman laki-laki pengasuh tidak menjadi syarat mutlak sebagaimana dalam pandangan Hanafiyah.

Perbedaan ini menggambarkan dua pendekatan metodologis: Hanafiyah menekankan dimensi legal-formal, sedangkan Malikiyah menekankan aspek sosial-fungsional. 

Dalam konteks kontemporer, pandangan Malikiyah dianggap lebih aplikatif karena mempertimbangkan realitas sosial yang kompleks, termasuk kebutuhan anak untuk tetap mendapatkan kasih sayang keluarga meski di tengah perbedaan agama.

Perspektif Hukum Positif Indonesia

Berbeda dengan fikih klasik, hukum positif Indonesia tidak mensyaratkan keislaman atau kesamaan agama dalam penentuan hak asuh anak. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan hanya menegaskan bahwa setelah perceraian, “baik ibu maupun bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak semata-mata berdasarkan kepentingan anak” (Pasal 41 huruf a). 

Norma ini menempatkan kepentingan anak di atas pertimbangan identitas agama (UU No. 1 Tahun 1974).

Begitu pula Pasal 45 UU Perkawinan menegaskan bahwa kewajiban orang tua untuk memelihara anak berlaku sampai anak dapat berdiri sendiri, tanpa membedakan agama orang tua. 

Prinsip serupa ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang menggarisbawahi tanggung jawab orang tua untuk mengasuh, melindungi, dan mendidik anak tanpa diskriminasi berdasarkan agama, suku, atau ras (Pasal 21 dan Pasal 26).

Pasal 38 ayat (1) UU yang sama secara eksplisit menyatakan bahwa pengasuhan anak dilaksanakan “tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya, dan bahasa.” 

Namun, ayat (2)-nya tetap memberikan koridor bahwa pelaksanaan pengasuhan “tidak boleh mempengaruhi agama yang dianut anak.” Dengan demikian, hukum positif tetap menjaga keseimbangan antara non-diskriminasi dan perlindungan agama anak (UU No. 35 Tahun 2014).

Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga tidak mencantumkan syarat keislaman secara eksplisit. Pasal 105 KHI hanya menyebut bahwa pemeliharaan anak yang belum mumayyiz menjadi hak ibunya, sedangkan yang sudah mumayyiz berhak memilih antara ayah atau ibu. 

Pasal 156 KHI menegaskan bahwa hak asuh dapat dipindahkan apabila pemegang hadhanah tidak menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak. Ketiadaan klausul tentang keislaman menunjukkan bahwa KHI menitikberatkan pada kemaslahatan anak, bukan identitas keagamaan pengasuh (KHI, Inpres No. 1 Tahun 1991).

Namun, secara sistematik, ketentuan KHI tetap harus dibaca dalam kerangka Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang mensyaratkan sahnya perkawinan menurut agama masing-masing. 

Dengan demikian, pengasuhan anak tetap harus selaras dengan prinsip agama anak. Hakim pengadilan agama dapat menilai secara fungsional apakah pengasuh non-Muslim mampu menjamin pembinaan iman dan moral anak. Jika iya, maka hak hadhanah tidak gugur.

Paradigma hukum nasional ini menunjukkan pergeseran dari pendekatan teosentris menuju antroposentris, dengan menempatkan anak sebagai subjek hukum utama. 

Keislaman bukan lagi syarat formil, tetapi parameter substantif untuk menilai kemampuan pengasuh menjamin pendidikan dan pembinaan agama anak (Iman, 2021, h. 72).

Kerangka hukum ini juga sejalan dengan prinsip Konvensi Hak Anak (CRC) yang diratifikasi melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Pasal 3 ayat (1) CRC menegaskan bahwa “kepentingan terbaik anak harus menjadi pertimbangan utama dalam semua tindakan yang menyangkut anak.” 

Prinsip ini mengikat semua organ negara, termasuk pengadilan, untuk menempatkan anak sebagai pusat kepentingan hukum tanpa diskriminasi agama.

Analisis Komparatif dan Relevansi Maqāṣid al-Syarī‘ah

Analisis komparatif antara fikih klasik dan hukum positif Indonesia menunjukkan adanya titik temu konseptual. Fikih menempatkan keislaman pengasuh sebagai syarat substantif demi perlindungan akidah anak (ḥifẓ al-dīn), sementara hukum nasional menempatkannya sebagai parameter fungsional yang diukur dari kemampuan pengasuh menjaga kepentingan spiritual dan moral anak.

Keduanya sejatinya tidak bertentangan, melainkan berbeda pendekatan. Fikih menekankan dimensi preventif untuk menjaga agama anak, sedangkan hukum nasional menekankan dimensi rehabilitatif dan kemaslahatan sosial. 

Keduanya berpadu dalam kerangka maqāṣid al-syarī‘ah, yaitu perlindungan terhadap agama, jiwa, dan keturunan.

Dalam konteks peradilan agama di Indonesia, pendekatan yang ideal adalah taḥqīq al-manāṭ, yakni penilaian kasus per kasus berdasarkan bukti konkret. 

Hakim harus memastikan bahwa pengasuh, baik Muslim maupun non-Muslim, mampu menjamin keselamatan fisik dan spiritual anak. 

Apabila terbukti pengasuh non-Muslim justru lebih stabil, penuh kasih sayang, dan menghormati agama anak, maka pemberian hak asuh kepadanya tidak bertentangan dengan prinsip syariah maupun hukum positif. 

Dengan pendekatan proporsionalitas ini, hukum Islam dan hukum nasional bertemu dalam satu titik maqasid: menegakkan keadilan dan kemaslahatan anak sebagai amanah ilahiah.

Penulis: Rifqi Qowiyul Iman
Editor: Tim MariNews