Menyemai Keadilan dalam Keluhuran Profesi Hakim

Manusia akan selalu “bertumbuh”, begitu pula manusia yang berprofesi sebagai seorang hakim. Keadilan akan selalu diharapkan tercapai sejak seorang hakim mulai mengawali karirnya.
Ilustrasi menyemai keadilan. Foto dari ChatGPT
Ilustrasi menyemai keadilan. Foto dari ChatGPT

Undang-Undang dan peraturan tidak selalu beriringan dengan keadilan, bahkan dapat bertentangan dengan prinsip keadilan. Undang-Undang dan peraturan memiliki relativitasnya sendiri sehingga tidak mutlak sebagaimana firman Tuhan. Keadilan saat ini populer dipahami sebagai cita tertinggi dari penegakan hukum.

Hal tersebut selalu memunculkan diskursus publik, di mana dalam era keterbukaan informasi saat ini kerap terjadi pada platform media sosial yang mempertemukan masyarakat lintas literasi mengenai keadilan maupun penegakan hukum. Dalam tingkatan praktik, penegakan hukum yang berkeadilan menjadi tantangan yang sangat kompleks bagi para penegak hukum, terutama bagi hakim.

Profesi hakim dianggap sebagai profesi yang mulia. Selain sebutan “Yang Mulia”, hakim kerap disebut juga sebagai “wakil Tuhan” karena dianggap sebagai representasi Tuhan untuk menentukan benar dan salah perbuatan manusia di dunia sehingga tentu menggambarkan kedudukan hakim sebagai profesi yang terhormat. Sebutan “wakil Tuhan” sebenarnya tidak pernah muncul dalam literatur peraturan perundang-undangan manapun.

Sebutan tersebut, tidak lepas dari landasan hukum dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman yang menjelaskan jika dalam setiap putusannya, hakim wajib mencantumkan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hal tersebut menjadi gambaran pertanggung jawaban seorang hakim yang tidak hanya kepada hukum, pribadinya sendiri, dan para pihak yang berperkara, namun lebih daripada itu hakim harus bertanggung jawab kepada Tuhan.

Sebutan “Yang Mulia dan Wakil Tuhan” tersebut tentu menimbulkan ekspektasi khusus dan tinggi bagi masyarakat. Sebagai kepanjangan tangan Tuhan di dunia, masyarakat mengharapkan dan menuntut hakim agar selesai dengan segala urusan duniawinya dan agar hakim menjadi figur yang haram tersentuh intervensi dari semua pihak berperkara atau berkepentingan dalam suatu perkara.

Hakim juga diharapkan merepresentasikan diri sebagai pribadi yang adil, jujur, arif dan bijaksana, mandiri, berintegritas tinggi, bertanggung jawab, menjunjung tinggi harga diri, berdisiplin tinggi, rendah hati, serta bersikap profesional sebagaimana yang tertuang dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Begitu banyaknya ekspektasi terhadap profesi Hakim tersebut menjadi tantangan yang berat bagi integritas seorang Hakim untuk dapat menghadirkan keadilan dalam setiap putusannya.

Hakim yang Terus “Bertumbuh”

Menegakkan hukum bagi hakim, berarti hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara harus berdasarkan hukum yang berlaku. Hakim dalam mengadili berdasarkan hukum harus dimaknai secara luas tanpa terpaku pada pengertian hukum tertulis dan tidak tertulis.

Setiap putusan hakim harus mempunyai dasar hukum substantif dan prosedural yang telah eksis. Selain itu hakim dapat mempertimbangkan hukum yang hidup dalam masyarakat sepanjang sesuai dengan tuntutan sosial yang berlaku dalam masyarakat tersebut.

Setiap putusan yang telah dijatuhkan oleh hakim, sepatutnya mengandung tiga komponen dari tujuan penegakan hukum. Putusan hakim yang ideal jika ditinjau dari teori tujuan hukum Gustav Radbruch adalah putusan yang mengandung substansi keadilan (gerechtigkeit), kemanfaatan (zweckmässigkeit) dan kepastian hukum (rechtssicherheit) secara proporsional.

Pada kenyataannya sering muncul persepsi jika antara keadilan dengan kepastian hukum dapat saling bersimpangan, demikian pula antara keadilan dengan kemanfaatan. Oleh karena itu perlu terdapat satu tujuan yang harus menjadi prioritas dalam setiap putusan hakim dalam upaya penegakan hukum untuk penyelesaian suatu perkara yaitu keadilan;

Hakim mengawali karirnya pada Pengadilan kelas II di seluruh wilayah negara Indonesia. Perjuangan mengawali karir sebagai seorang hakim tidaklah mudah. Berbagai tantangan dalam berbagai macam dan bentuk akan dihadapi oleh hakim. Tantangan jauh dari keluarga, orang tua serta kampung halaman juga menjadi kendala yang khas dimana disaat itulah seorang hakim akan diuji integritasnya.

Terdapat sebuah teladan dari Yang Mulia Ketua Mahkamah Agung, Prof. Dr. Sunarto, S.H.,M.H., pada saat mengawali karirnya sebagai hakim di Pengadilan Negeri Merauke pada 1987 silam. Pada saat itu Forkopimda setempat membagikan parsel Natal ke rumahnya. Di tengah rintikan gerimis, beliau meminjam motor pegawai Pengadilan Negeri Merauke untuk mengembalikan parsel tersebut. Alasannya, dia khawatir jika parsel tersebut diterima dapat menjadi preseden negatif ketika suatu saat pemerintah daerah setempat menjadi pihak dalam perkara yang ditangani.

Penulis yakin dalam konteks tersebut, dia tidak hanya memikirkan tentang persepsi publik nantinya, namun juga menjaga sikap batinnya agar jangan sampai terpengaruh untuk memihak. Hingga saat ini, dia dikenal tetap konsisten dengan integritas di awal karirnya tersebut.

Suatu waktu dalam salah satu forum Maiyah-nya, cendekiawan sekaligus budayawan, Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) pernah menyampaikan bahwa manusia yang bertumbuh adalah mereka yang bergerak dari ketidaktahuan menuju pengetahuan, kemudian memperdalam dan memahami pengetahuan tersebut. Pertumbuhan manusia juga ditandai dengan semakin tingginya kesadaran diri dan kesadaran sosial, serta semakin tawadhu' (rendah hati) juga tidak ada kesombongan dalam tindakannya.  

Teladan di atas tentu dapat menjadi renungan bahwa benih keadilan telah dapat ditanamkan sejak awal karir seorang hakim. Seorang hakim juga perlu untuk terus belajar dengan memperbanyak membaca, meningkatkan kapasitas keilmuannya serta berdiskusi. Selain itu perlu bagi hakim ber-tafakur untuk merenungkan atau memikirkan secara mendalam tentang segala sesuatu terutama tanda-tanda kekuasaan-Nya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.

Dengan seiring perjalanan waktu dan karirnya, seorang hakim diharapkan akan terus bertumbuh dan berkembang menuju keluhuran martabat serta marwah profesinya sehingga dapat selalu menghadirkan putusan yang berkeadilan. 

-(Dio Dera Darmawan)-
Hakim Pada Pengadilan Negeri Raha kelas IB


    
 

Penulis: Dio Dera Darmawan
Editor: Tim MariNews