Kalimat itu sesungguhnya berbunyi lengkap, “The first thing we do, let’s kill all the lawyers.” Kalimat itu diucapkan oleh Dick the Butcher, seorang tokoh fiktif dalam sebuah drama Henry VI, Part 2 karya William Shakherpeare, seorang sastrawan terkemuka asal Inggris.
Tokoh ini muncul pada saat terjadi pemberontakan Jack Cade pada abad ke-15 saat Inggris sedang mengalami masa kelam.
Di tengah kekacauan politik itu, Shakespeare memasukkan tokoh fiktif yang kemudian menjadi ikon kritik sosial bernama “Dick the Butcher”.
Dick digambarkan sebagai anggota kelas bawah, seorang tukang jagal yang hidup di pinggiran hukum. Namun dalam imajinasi Shakespeare, Dick bukan hanya sekadar penjual daging, ia menjadi simbol watak massa yang mudah direkrut oleh pemimpin populis yang menjanjikan perubahan instan.
Di sisi lain, Jack Cade adalah tokoh sejarah nyata yang memimpin pemberontakan pada 1450 di Inggris. Shakespeare memodifikasi karakter Jack Cade menjadi seorang demagog yang haus kekuasaan: ia memanipulasi kemarahan rakyat, menyalahkan pejabat, dan menjanjikan dunia baru yang bebas dari pajak, kemiskinan, dan ketidakadilan.
Namun, di balik janji manisnya, terselip ambisi untuk merebut kekuasaan melalui kekerasan dan penghancuran tatanan hukum.
Dalam atmosfer inilah Dick the Butcher muncul sebagai pengikut paling setia. Ia bukan pemikir, bukan penggerak politik, melainkan eksekutor kasar yang siap melakukan apa pun demi mewujudkan ambisi Cade.
Shakespeare sengaja menciptakan Dick sebagai figur yang anti-intelektual, memusuhi siapa saja yang dianggap menghalangi “revolusi”.
Pada suatu adegan yang dituliskan Shakespeare, saat Cade makin percaya diri bahwa ia akan menguasai Inggris, ia membayangkan masyarakat baru di mana semua aturan lama akan dihapus.
Para pengikutnya bersorak, dan Dick, dengan gaya brutal yang menjadi ciri khasnya, mendahului yang lain dengan seruan yang kemudian menjadi salah satu kutipan paling terkenal dalam sejarah sastra hukum: “The first thing we do, let’s kill all the lawyers.”
Kalimat itu tidak lahir dari kejernihan akal, melainkan dari kemarahan dan dendam sosial. Shakespeare menempatkan kata-kata itu di mulut seorang tukang jagal bodoh dan kejam untuk menyampaikan pesan bahwa setiap gerakan yang ingin menghancurkan peradaban akan dimulai dengan merobohkan hukum dan penegaknya.
Para lawyer dianggap musuh karena mereka adalah benteng terakhir yang dapat menggagalkan ambisi tirani Cade. Selama masih ada hukum dan orang-orang yang menguasainya, kekacauan tidak akan menang.
Melalui dialog itu, Shakespeare sebenarnya memuji peran pengacara dan hukum. Bukan karena mereka sempurna, tetapi karena tanpa mereka, masyarakat akan jatuh ke tangan orang-orang seperti Dick, orang-orang yang percaya bahwa masalah hidup dapat diselesaikan dengan kekerasan, bukan keadilan.
Narasi tentang Dick the Butcher dan Jack Cade bukan sekadar drama sejarah. Ia adalah peringatan lintas zaman bahwa setiap upaya menggulingkan sistem hukum selalu dimulai dengan mendemonisasi, merendahkan, atau bahkan ingin "melenyapkan" para penegak hukum. Dan dari sinilah, ironi kalimat “Let’s kill all the lawyers” menemukan daya hidupnya, sebuah pernyataan yang terdengar kasar, tetapi sejatinya memuliakan pentingnya supremasi hukum.
Inti pesannya, bahwa para pemberontak harus membunuh semua pengacara agar mereka bisa merusak negara tanpa halangan hukum.
Akhirnya, pertanyaan mendasar kiranya patut kita ajukan, mengapa para ahli hukum seperti jaksa, hakim, dan pengacara menjadi ancaman?
Secara ideal mereka adalah orang-orang yang memahami hukum sekaligus menegakkannya, menjadi benteng yang menjaga keadilan, mencegah penguasa sewenang-wenang, membela rakyat sesuai sistem hukum yang ada dan mencegah kesewenang-wenangan.
Secara kontekstual, hukum diartikan sebagai peranti lunak penegak hak dan kewajiban dan/atau menciptakan ketertiban, maka sejatinya para ahli hukum pulalah yang secara ideal berkompetensi mewujudkannya.
Pada saat yang sama, para penjahat (politik, sosial, dan ekonomi) pasti sangat tidak suka dengan eksistensinya. Dengan kata lain, ketika di suatu negara realitas kejahatan politik, sosial, dan ekonomi lebih dominan, maka sejatinya para penegak hukum sedang kalah. Atau, jangan-jangan, meminjam istilah Dick the Butcher di atas, para ahli hukum memang benar-benar sudah terbunuh. Semoga tidak.

