Peran Hakim Wujudkan Akses Keadilan Bagi Terdakwa Tanpa Penasihat Hukum

Permasalahan kondisi terdakwa yang tidak didampingi penasihat hukum timbul akibat keterbatasan ekonomi atau akses terhadap bantuan hukum.
Ilustrasi-pengacara. Foto: pexels.com
Ilustrasi-pengacara. Foto: pexels.com

Sistem peradilan pidana Indonesia, yang diatur Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), menempatkan hakim sebagai pilar utama, dalam menjamin keadilan. Tantangan yang masih menghantui peradilan, adalah kondisi terdakwa yang tidak didampingi penasihat hukum. Permasalahan dimaksud, timbul akibat keterbatasan ekonomi atau akses terhadap bantuan hukum.

Dalam situasi tersebut, peran hakim krusial untuk membantu terdakwa memahami hak-haknya, seperti hak mengajukan keberatan, menyampaikan pembelaan (pledoi), dan mengajukan upaya hukum, seperti banding atau kasasi.

Menurut Pasal 56 ayat (1) KUHAP, setiap terdakwa berhak atas bantuan hukum.  Hal ini diwujudkan melalui penunjukan penasihat hukum secara gratis, dalam hal terdakwa dapat menunjukkan ketidakmampuan segi ekonomi. Akan tetapi, melihat kondisi pada daerah terpencil, banyak permasalahan berkaitan dengan penasihat hukum, misalnya tidak ada anggaran bantuan hukum dari negara, hingga  tidak adanya penasihat hukum di daerah. 

Tanpa penasihat hukum, terdakwa sering tidak memahami hak untuk ajukan eksepsi, bilamana dakwaan cacat formil atau materiil (Pasal 156 KUHAP), menyampaikan pembelaan untuk menyanggah tuntutan jaksa (Pasal 182 KUHAP), atau mengajukan banding dalam waktu tujuh hari setelah putusan (Pasal 234 KUHAP). Ketidakpahaman ini, dapat melanggar asas praduga tak bersalah (Pasal 66 KUHAP) dan menghambat akses keadilan, yang merupakan inti negara hukum (Rechtstaats).

Penelitian Anna E. Carpenter bertajuk Hakim di Pengadilan Tanpa Pengacara (2021) menunjukkan, adanya kekurangpahaman masyarakat umum terhadap pengetahuan hukum, sehingga sering terlewatnya kesempatan atau hak memperjuangkan kepentingan hukum terdakwa di persidangan. 

Maka, dalam perkara terdakwa tidak didampingi penasihat hukum, atas dasar akses terhadap keadilan, hakim harus berperan aktif dalam memastikan persidangan berlangsung adil (Pasal 153 ayat (2) KUHAP), termasuk menjelaskan hak terdakwa dengan bahasa sederhana.

Misalnya, hakim dapat menjelaskan eksepsi dapat diajukan, bilamana dakwaan tidak menyebutkan waktu dan tempat kejadian dengan jelas, atau pembelaan berikan peluang terdakwa menyampaikan fakta versi mereka. Penjelasan ini, penting bagi terdakwa dengan pendidikan terbatas, yang sering tidak memahami istilah hukum.

Dengan keterbatasan waktu baik dari KUHAP, peraturan administratif persidangan lainnya, hingga tunggakan perkara yang tidak proporsional, hakim menjadi terhambat untuk mewujudkan akses terhadap keadilan. 

Dengan demikian, hakim diharapkan dapat berikan penjelasan rinci tentang hukum, proses, dan prosedur hukum, serta memberikan kesempatan penuh kepada setiap pihak untuk mengajukan bukti dan kesaksian. 

Ketika pengadilan mengharapkan hakim untuk berperan mewujudkan keadilan bagi terdakwa yang tidak didampingi penasihat hukum, Mahkamah Agung melalui pengadilan diharapkan dapat menyediakan waktu, ruang, dan insentif, guna mendukung peran aktif hakim dalam mewujudkan akses terhadap keadilan, khususnya berkaitan dengan penjelasan hak terdakwa yang tidak didampingi penasihat hukum pada persidangan