Mitigasi Distorsi dalam Putusan Hakim

Kesadaran akan adanya bias dan kebisingan dalam pengambilan keputusan manusia-termasuk dalam sistem peradilan-menjadi langkah awal yang penting untuk mencapai putusan yang lebih objektif.
Ilustrasi putusan sidang. Foto pixabay.com
Ilustrasi putusan sidang. Foto pixabay.com

“Bias is the star of the show. Noise is a bit player, usually offstage.” Daniel Kahneman, Olivier Sibony & Cass R. Sunstein

(Noise, A Flaw in Human Judgment).

Bagi filsuf dan pakar psikologi Daniel Kahneman, semua keputusan yang diambil oleh manusia pada hakikatnya, tidak pernah mungkin menggapai kata sempurna. Persoalannya, manusia dalam memutuskan selalu dihinggapi "bias" dan “noise” (“bising”). Dalam karya seminalnya tentang psikologi perilaku, Thinking, Fast and Slow, Kahneman (2011) membukukan penelitiannya bersama Amos Tversky dari tahun 1970-an tentang bias.

Singkatnya, Kahneman mengukuhkan teori Sistem 1 dan Sistem 2 dalam berpikir. Menurut Kahneman, manusia berpikir secara intuitif (Sistem 1) dan secara reflektif (Sistem 2). Intuisi manusia bekerja dengan mengoptimalkan ingatan dan nilai-nilai yang dianut oleh seseorang. Sebaliknya, pemikiran reflektif memaksimalkan kerja wilayah prefrontal (atau neokorteks) manusia, yang memungkinkan manusia untuk menganalisis apapun yang ia temukan dalam hidupnya.

Sistem 1 bukanlah refleks seperti gerak manusia saat tidak sengaja menginjak bara. Mekanisme intuitif ini bekerja dengan pola dan asosiasi. Kahneman mempergunakan ilustrasi dua buah kata untuk mendemonstrasikan cara manusia mengasosiakan sebuah konsep komposit.

Sejalan dengan metode yang dipergunakan oleh Kahneman, bila dua buah kata, dilekatkan, maka sebuah konsep baru akan tercipta hanya karena kata yang satu dilekatkan ke kata yang lain. Kata “anak” dan “sekolah” mempunyai dua konteks tergantung dari urutannya: “anak sekolah” dan “sekolah anak”. Makna akan tercipta pada saat manusia mengasosiasikan konsep yang berdampingan.

Menurut Kahneman, makna yang diciptakan tidak terbatas. Sebagai ilustrasi, “kuda terbang” adalah makhluk mitik yang seolah menjadi “nyata” di otak manusia saat kata “kuda” dan “terbang” saling mengasosiasi.

Persoalan “Stamina Berpikir” dalam Mengambil Keputusan

Dari perspektif psikologi perilaku, bagi Kahneman hakim tidak pernah luput dari bias. Secara alamiah, bias terjadi saat pengambilan keputusan harus diambil dalam waktu singkat.

Dari perspektif biologi dan neurosains, dengan energi terbatas manusia cenderung bereaksi dengan Sistem 1 karena Sistem 2 menghabiskan lebih banyak stamina berpikir (Stanovich, 2011).

Namun demikian, saat pola pikir reflektif diaktifkan, mekanisme ini menghambat kerja pikiran intuitif (berperan sebagai inhibitor). Dengan kata lain, saat manusia sangat rasional, intuisinya masuk ke fase nonaktif (Gronchi et al., 2024). Ini berarti, sekalipun dalam aspek fisiologis berpikir rasional menghabiskan lebih banyak energi, keputusan yang diambil dapat mereduksi kemungkinan terjadinya bias.

Pakar neurosains Joshua Greene menjelaskan, proses inhibisi ini dengan mengatakan bahwa materi dorsolateral prefrontal cortex (DLPFC) mampu mengendalikan otak agar bekerja lebih selaras (unity) (Greene, 2013:137).

Dari perspektif humaniora, proses persidangan idealnya adalah sebentuk upaya deliberatif untuk meminimalisasi ruang gaung (echo chamber) dan berbagai kemungkinan manipulatif (Fishkin, 2011). Richard H. Thaler dan pakar hukum Cass R. Sunstein menyebut Sistem 1 ini sebagai “Sistem Otomatis” (Automatic System).

Lebih spesifik keduanya mengatakan: “The Automatic System is rapid and is or feels instinctive, and it does not involve what we usually associate with the word thinking” (Sistem Otomatis sifatnya cepat dan terasa seperti insting, dan proses ini tidak melibatkan aktivitas yang biasanya kita sebut sebagai berpikir) (Thaler & Sunstein, 2008:19).

Bagi pakar psikologi Mahzarin R. Banaji dan Anthony G. Greenwald, stereotip rasis, seperti anggapan, orang berkulit hitam di Amerika Serikat identik dengan kriminalitas juga sulit diabaikan. Sekalipun tidak ada data statistik yang mendukung, fenomena ini sulit dikikis (Banaji & Greenwald, 2016:102-107). 

Noise dalam Sistem Peradilan

Namun demikian, sepuluh tahun setelah publikasi karyanya, Kahneman, Olivier Sibony, serta Sunstein, sampai pada kesimpulan bahwa secara alamiah, manusia tidak bisa lepas dari bising (noise). Kebisingan menurut Kahneman membuat manusia-termasuk para hakim-akan sampai pada putusan yang berbeda-beda, sekalipun kasus yang dihadapi tidak jauh berbeda.

Kahneman mencatat sebuah studi 1,5 juta kasus selama tiga dekade di Amerika Serikat tentang kriminalitas anak di bawah umur. Hasilnya, bila tim sepa kbola lokal mengalami kekalahan di pertandingan pada Minggu, maka keesokan harinya putusan hakim jauh lebih berat dari biasanya.

Selain itu, dari studi terhadap 6 juta putusan dalam kurun waktu 12 tahun di Prancis, terdakwa akan mendapatkan hukuman yang lebih ringan bila putusan jatuh di tanggal ulang tahunnya (Kahneman, Ebony & Sunstein, 2021:17).   

Kahneman juga mencatat, karakter biologis tubuh manusia juga sangat berpengaruh pada putusan. Bila dijatuhkan setelah sarapan atau makan siang, hukuman yang diterima terdakwa biasanya lebih ringan. Sebaliknya, dalam kasus untuk menentukan suaka politik bagi imigran, bila sidang dilakukan di hari terik, maka kecil kemungkinan migran tersebut bisa mendapatkan izin tinggal.

Pengaruh fisiologis atau psikologis dalam pengambilan keputusan ini dikenal dengan istilah “breakfast theory of jurisprudence” atau dapat diartikan bahwa putusan pengadilan bergantung pada banyak sekali faktor eksternal di luar perkara itu sendiri.

Pakar hukum dan sejarawan Willard L. King mengatakan: “a study of the politics and personality-yes, even of the comparative personal wealth-of the judges who now sit upon that court is of more importance in predicting their decisions than an examination of the Constitution or of the law governing its interpretation” (kajian tentang politik dan kepribadian hakim-bahkan hingga studi komparatif atas kekayaan pribadi mereka-yang kini duduk di pengadilan tersebut, memiliki signifikansi lebih besar dalam memprediksi putusan-putusan mereka dibandingkan telaah terhadap konstitusi atau aturan hukum yang mengatur penafsirannya) (King, 1937:143).

Antara Mekanisme Panduan dan Upaya Negasi Kebisingan

Bagi Kahneman, Sibony, dan Sunstein, panduan (guidelines) tidak efektif dalam mengikis kebisingan. Mengacu pada temuan pakar hukum Crystal Yang, mereka mencatat bahwa disparitas putusan akibat distorsi noise di Amerika Serikat meningkat setelah 2005, sekalipun upaya untuk mencari standar (guidelines) telah dilakukan sejak 1970-an.

Namun demikian, ketiganya berpendapat bahwa noise pun dapat dikurangi dengan sikap, dedikasi, dan upaya konsisten. Kahneman, Sibony, dan Sunstein berpendapat: “Good judges tend to be experienced and smart, but they also tend to be actively open-minded and willing to learn from new information” (Hakim yang baik biasanya berpengalaman dan cerdas, tetapi mereka juga cenderung memiliki keterbukaan berpikir yang aktif serta bersedia belajar dari informasi baru) (Kahneman, Ebony & Sunstein, 2021:225). Bagi Banaji dan Greenwald, upaya untuk bersikap adil sekalipun masih dihinggapi bias, sehingga proses argumentasi yang tajam adalah metode efektif untuk meminimalisasinya (Banaji & Greenwald, 2016). 

Dua kasus ini menunjukkan bagaimana stereotip ras dan kelas sosial sangat berpengaruh. Kasus State v. Tanya McDowell (102 Wn.2d 341 (1984) No. 50489-0) dan United States v. Felicity Huffman (Case 1:19-cr-10117-IT) pada intinya sama. McDowell adalah perempuan kulit hitam kelas bawah, sementara Huffman adalah aktris kulit putih dari kelas atas.

McDowell memlasukan alamatnya agar anaknya bisa sekolah di tempat yang lebih baik. Huffman menggunakan jasa “joki” ujian Scholastic Aptitude Test (SAT) dengan membayar 15.000 dolar kepada Rick Singer untuk memalsukan hasil ujian anak perempuannya.

McDowell dijatuhi hukuman lima tahun penjara, sedangkan Huffman dihukum 14 hari penjara dengan denda 20.000 dolar dan kerja sosial selama setahun penuh. Dalam garis pemikiran Kahneman, Sibony, dan Sunstein, disparitas inilah yang menunjukkan kebisingan dalam proses pengambilan keputusan.

Kesadaran akan adanya bias dan kebisingan dalam pengambilan keputusan manusia-termasuk dalam sistem peradilan-menjadi langkah awal yang penting untuk mencapai putusan yang lebih objektif. Menjadi jelas bahwa ketelitian, kemampuan reflektif, serta keterbukaan terhadap informasi baru, adalah atribut vital yang harus dimiliki oleh setiap hakim atau pengambil keputusan dalam ranah hukum.

Namun demikian, karena manusia tidak dapat sepenuhnya menghilangkan bias dan kebisingan yang melekat dalam proses berpikirnya, pendekatan deliberatif serta prosedur argumentatif yang transparan perlu diterapkan secara konsisten untuk mengurangi disparitas dan memastikan keadilan substantif.

Dengan memahami batas-batas kapasitas kognitif serta pengaruh faktor-faktor eksternal yang tidak relevan, maka sistem peradilan akan dapat berbenah menuju putusan yang tidak hanya benar secara hukum, tetapi juga lebih adil secara manusiawi. 

Penulis: Muhammad Afif
Editor: Tim MariNews