Hukum bukanlah sekadar teks tertulis dalam kitab undang-undang, tetapi sesuatu yang dialami secara nyata, dalam keseharian. Di balik setiap larangan dan perintah hukum, tersembunyi pengalaman manusia yang kompleks, penuh rasa, tafsir, dan harapan. Di sinilah pendekatan fenomenologi hadir, bukan guna menilai benar atau salahnya hukum, melainkan menyelami, bagaimana hukum dialami dan dimaknai kehidupan konkret.
Fenomenologi sebagai cabang filsafat, berusaha mengungkap hakikat pengalaman yang tampak. Tidak berhenti pada kulit luar, tetapi masuk ke dalam kesadaran yang hidup. Dalam konteks hukum, fenomenologi menyoroti, bagaimana hukum dipahami, dirasakan, dan dihayati manusia, dalam berbagai peran. Sebagai warga negara, pencari keadilan, atau penegak aturan.
Makna hukum jadi berbeda, ketika dilihat kaca mata orang yang ditindas oleh ketimpangan sistem. Bagi sebagian orang, hukum bisa jadi cahaya perlindungan. Namun bagi lainnya, hukum terasa, seperti tembok penghalang. Fenomenologi tidak menolak keduanya, justru mengajak memahami kedalaman makna tersebut dari sudut pandang yang mengalaminya.
Dalam kenyataan, sering kali ditemukan hukum terasa jauh dari rakyat. Prosedur rumit, bahasa yang kaku, dan sikap birokratis. Hal itu menjadikan hukum tampak seperti milik segelintir ahli. Fenomenologi mendorong refleksi mengapa hukum harus terasa rumit bagi mereka yang paling membutuhkan? Inilah pertanyaan, yang membuka jalan kritik atas hukum itu sendiri.
Filsafat hukum yang berlandaskan pendekatan fenomenologis, menempatkan manusia sebagai pusat. Subjektivitas tidak ditolak, melainkan diakui sebagai bagian sah dari proses pemaknaan. Dalam ruang sidang, ruang tunggu, atau hati seorang korban, disitulah hukum hidup. Bukan hanya, dalam naskah resmi negara.
Contoh nyata terlihat dari pengalaman korban kekerasan rumah tangga. Secara hukum, ada pasal yang melindungi. Namun, seringkali korban mengalami ketakutan, tekanan sosial, bahkan dilema emosional untuk melapor. Hukum secara formal hadir, tetapi secara eksistensial, sering absen. Fenomenologi melihat celah inilah, yang harus disembuhkan.
Pendekatan ini mengajak untuk mendengarkan suara-suara, yang terpinggirkan dalam sistem hukum. Masyarakat adat, minoritas agama, penyandang disabilitas, mereka semua memiliki pengalaman hukum, yang acapkali tidak terwakili kerangka hukum positif. Fenomenologi membuka ruang empati dan pemahaman mendalam, atas suara-suara tersebut.
Hukum yang hanya dibaca sebagai sistem aturan, akan kehilangan denyut kemanusiaannya. Namun, hukum yang dibaca melalui pengalaman, rasa takut, harapan, kekecewaan, dan perjuangan, akan lebih mendekati kebenaran yang hidup. Wujudnya, tidak hanya menjadi alat kontrol, tetapi bagian dari pembentukan makna hidup bersama.
Fenomenologi tidak menjadikan hukum kehilangan objektivitas. Sebaliknya, menawarkan cara melengkapi objektivitas, dengan kedalaman pengalaman. Dalam pengambilan keputusan, pemahaman latar belakang sosiologis dan eksistensial, menjadi penting agar keadilan tidak hanya tampak tetapi terasa.
Dimensi religius juga dapat hadir secara kuat, dalam pendekatan fenomenologis. Pengalaman hukum menjadi jalan spiritual, yang membimbing seseorang kepada pemahaman nilai-nilai luhur. Ketika keadilan ditegakkan dengan empati, dan hukum diberlakukan melalui rasa kasih, di mana hukum tidak sekadar menjawab persoalan dunia, tetapi sarana mendekat kepada Yang Maha Adil.
Fenomenologi mengajarkan bahwa makna hukum bersifat dinamis. Sosoknya, berubah mengikuti pengalaman kolektif masyarakat. Maka, hukum yang tidak mampu membaca pengalaman zamannya, menjadi beku dan usang. Sebaliknya, hukum yang responsif terhadap pengalaman, akan tetap relevan dan hidup.
Dalam kerangka filsafat hukum, pendekatan fenomenologi adalah jembatan antara norma dan realitas. Bukan hanya menganalisis, tetapi juga merasakan. Tidak hanya menyusun pasal, tetapi menafsirkan makna. Dengan demikian, hukum tidak lagi berada di menara gading, tetapi hadir dalam denyut nadi kehidupan.
Setiap individu yang berjumpa dengan hukum membawa cerita. Cerita inilah, yang membentuk lanskap makna hukum, secara utuh. Maka dari itu, mendengarkan, memahami, dan merespons pengalaman, tugas moral para pembuat hukum.
Di tengah kompleksitas dunia modern, fenomenologi menawarkan satu pesan penting, yakni jangan lupakan kemanusiaan dalam hukum. Jangan biarkan hukum, jadi mesin tanpa rasa. Dalam hukum, harus ada ruang bagi air mata, senyum, maaf, dan harapan. Sebab hukum, adalah tentang manusia, dan manusia hidup dari makna.
Sampai di sini, ada harapan besar, agar hukum semakin menemukan wajah sejatinya, sebagai sarana membangun kemuliaan hidup bersama. Dengan pendekatan fenomenologis, hukum tidak lagi hanya bicara tentang yang seharusnya, melainkan tentang apa yang sungguh dirasakan. Maka, hukum akan hidup, tumbuh, dan menyejukkan.