Di era digital seperti sekarang, informasi menyebar begitu cepat. Sayangnya, tidak semua informasi yang beredar itu benar. Hoaks, atau berita bohong, menjadi salah satu tantangan serius yang dihadapi masyarakat. Dari isu kesehatan palsu hingga fitnah terhadap tokoh publik, hoaks bisa memecah belah, menyesatkan, bahkan menimbulkan kerugian nyata bagi individu dan kelompok.
Secara hukum, penyebaran hoaks dapat dijerat dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), khususnya Pasal 28 ayat (1) dan (2). Penyebar hoaks dapat dikenakan sanksi pidana jika terbukti menimbulkan kerugian atau keresahan. Namun dalam praktiknya, membuktikan siapa penyebar awal dan niat di baliknya tidak selalu mudah.
Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif tertinggi memegang peran penting dalam menegakkan hukum dalam perkara-perkara hoaks. Hakim yang memeriksa perkara ini harus mampu menilai secara objektif dan berdasarkan alat bukti yang sah. Dalam beberapa kasus, jejak digital seperti tangkapan layar, rekaman suara, atau riwayat unggahan menjadi bukti penting yang harus diuji keotentikannya.
Namun, penegakan hukum terhadap hoaks bukan hanya soal menghukum, tetapi juga mendidik. MA diharapkan terus mendorong peningkatan kapasitas hakim, khususnya dalam literasi digital dan kemampuan forensik elektronik. Dengan begitu, hakim dapat menjalankan tugasnya secara profesional di tengah kompleksitas dunia maya.
Di sisi lain, masyarakat juga memiliki tanggung jawab. Bijak dalam menerima dan menyebarkan informasi adalah kunci. Jangan sampai jari kita yang ringan membagikan informasi justru menyeret kita ke persoalan hukum.
Pada akhirnya, penanganan hoaks adalah kerja bersama. Peran Mahkamah Agung dalam menegakkan hukum harus ditopang oleh kesadaran masyarakat untuk menciptakan ruang digital yang sehat, aman, dan bertanggung jawab.