Demarkasi Yurisdiksi Yudisial dan Arbitral dalam Sengketa Deliktual Multi-Pihak: Analisis Kritis terhadap Batas Arbitrabilitas Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999

Perspektif yang ditawarkan adalah bahwa penegakan yurisdiksi yudisial dalam kasus-kasus spesifik ini bukanlah sebuah anomali
Ilustrasi arbitrase. Foto ; Freepik.com
Ilustrasi arbitrase. Foto ; Freepik.com

Arbitrase komersial telah mengukuhkan posisinya sebagai mekanisme penyelesaian sengketa yang dominan dalam transaksi bisnis global. 

Efisiensi, kerahasiaan, dan fleksibilitasnya, yang berakar pada fondasi filosofis otonomi para pihak (party autonomy), menjadikannya alternatif superior dibanding litigasi di pengadilan negara. 

Di Indonesia, prinsip ini dilembagakan secara rigid melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (selanjutnya disebut UU Arbitrase), yang secara tegas mengamanatkan non intervensi yudisial. 

Namun, paradigma pro arbitrase ini menghadapi tantangan yuridis fundamental ketika sebuah sengketa mengalami metamorfosis: dari sengketa kontraktual murni (ex contractu) menjadi sengketa deliktual (ex delicto) yang kompleks, terutama ketika melibatkan partisipasi aktif pihak ketiga yang tidak menandatangani perjanjian arbitrase.

Situasi ini menciptakan benturan antara prinsip pacta sunt servanda yang menuntut penghormatan terhadap klausula arbitrase, dengan hak fundamental untuk memperoleh keadilan (access to justice) dan kebutuhan akan sebuah forum yang mampu mengadili seluruh aspek sengketa secara komprehensif. 

Artikel ini bertujuan untuk menganalisis secara mendalam demarkasi yurisdiksi antara pengadilan dan arbitrase dalam menghadapi sengketa deliktual multi-pihak. 

Pertanyaan penelitian sentralnya adalah: sejauh mana validitas formil sebuah perjanjian arbitrase dapat menyingkirkan kewenangan absolut Pengadilan Negeri ketika substansi gugatan bergeser dari wanprestasi ke perbuatan melawan hukum yang melibatkan pihak non penandatangan? 

Dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif, artikel ini berusaha mendekonstruksi pasal-pasal relevan dalam UU Arbitrase untuk mengidentifikasi batasan-batasan inheren dari yurisdiksi arbitral. 

Argumen yang dibangun bertumpu pada analisis lingkup arbitrabilitas substantif, keterbatasan prosedural arbitrase, dan peran vital doktrin ketertiban umum. 

Perspektif yang ditawarkan adalah bahwa penegakan yurisdiksi yudisial dalam kasus-kasus spesifik ini bukanlah sebuah anomali, melainkan konsekuensi logis dari keterbatasan inheren arbitrase dan manifestasi peran negara dalam menjamin keadilan yang utuh.

Eksklusivitas Arbitrase sebagai Norma Fundamental dalam Hukum Positif Indonesia

Ratio legis pembentukan UU Arbitrase adalah untuk menciptakan rezim hukum yang memberikan kepastian dan efektivitas bagi penyelesaian sengketa bisnis. Jiwa undang-undang ini adalah pengakuan mutlak terhadap kesepakatan para pihak. 

Pasal 3 UU Arbitrase secara lugas menyatakan, "Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase." 

Diksi absolut ini dipertegas dalam Pasal 11 ayat (1), yang menyebutkan bahwa adanya perjanjian arbitrase "meniadakan hak para pihak" untuk mengajukan sengketa ke Pengadilan Negeri, dan ayat (2) yang memerintahkan pengadilan untuk "wajib menolak dan tidak akan campur tangan".

Kombinasi kedua pasal ini membentuk efek negatif dari perjanjian arbitrase, di mana eksistensinya secara otomatis melucuti kewenangan pengadilan. 

Pendekatan legislatif ini mencerminkan komitmen kuat Indonesia terhadap Konvensi New York 1958 dan menciptakan benteng yuridis yang kokoh di sekeliling proses arbitrase. 

Norma fundamental ini memberikan kepastian hukum yang tinggi bagi para pelaku bisnis. Oleh karena itu, setiap argumen yang menjustifikasi yurisdiksi pengadilan harus mampu melampaui standar yang sangat tinggi ini dan menemukan dasar pembenarannya dari dalam kerangka UU Arbitrase itu sendiri, bukan dari luar.

Demarkasi Substantif: Keterbatasan Arbitrabilitas pada Sengketa Deliktual

Meskipun eksklusivitas yurisdiksi arbitrase merupakan norma utama, ia bukanlah tanpa batas. Batasan paling fundamental bersifat substantif, yaitu menyangkut jenis sengketa yang dapat diserahkan kepada arbitrase (arbitrability). 

Pasal 5 ayat (1) UU Arbitrase menetapkan dua kriteria kumulatif: sengketa harus (a) berada di bidang perdagangan, dan (b) mengenai hak yang menurut hukum "dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa". Kriteria kedua inilah yang menjadi titik tumpu analisis dalam sengketa deliktual multi pihak. 

Konsep "hak yang dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa" secara inheren merujuk pada sengketa yang lingkupnya terbatas pada para pihak yang terikat dalam hubungan hukum tersebut, seperti sengketa wanprestasi.

Namun, lanskap yuridis berubah drastis ketika gugatan berevolusi menjadi perbuatan melawan hukum (PMH). Gugatan PMH tidak bersumber dari pelanggaran janji kontraktual, melainkan dari pelanggaran terhadap kewajiban hukum umum yang diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata. 

Apabila gugatan PMH tersebut mendalilkan adanya suatu skema atau persekongkolan yang melibatkan partisipasi aktif pihak ketiga yang bukan pihak dalam kontrak, maka sengketa tersebut secara substantif telah keluar dari domain hak yang "dikuasai sepenuhnya" oleh para pihak awal. 

Hak dan kewajiban pihak ketiga tersebut tidak lahir dari kontrak yang memuat klausula arbitrase. 

Majelis arbitrase, yang kewenangannya bersumber semata-mata dari kesepakatan privat, tidak memiliki yurisdiksi inheren untuk mengadili atau menetapkan tanggung jawab hukum dari subjek hukum yang berada di luar kesepakatan itu. 

Dengan demikian, gugatan PMH multi pihak menciptakan suatu sengketa yang secara material tidak lagi dapat diakomodasi oleh batasan arbitrabilitas dalam Pasal 5 ayat (1). 

Substansi sengketa telah meluas melampaui lingkup privat kontraktual ke ranah publik deliktual yang melibatkan hak-hak pihak ketiga, sebuah ranah di mana pengadilan negara memegang yurisdiksi primordial.

Keterbatasan Prosedural Arbitrase dan Imperatif Keadilan Komprehensif

Selain batasan substantif, terdapat pula batasan prosedural yang inheren dalam mekanisme arbitrase yang membuatnya tidak memadai untuk menyelesaikan sengketa deliktual multi-pihak. 

Batasan ini terutama berkaitan dengan sifat konsensual dari yurisdiksi arbitrase. Arbitrase tidak memiliki kekuatan koersif seperti yang dimiliki pengadilan negara untuk memaksa kehadiran atau partisipasi pihak-pihak yang tidak terikat dalam perjanjian arbitrase. 

Pasal 30 UU Arbitrase memang mengatur kemungkinan intervensi pihak ketiga, namun secara eksplisit mensyaratkan adanya "kesepakatan oleh para pihak yang bersengketa serta disetujui oleh arbiter". 

Ketentuan ini menegaskan bahwa yurisdiksi arbitrase atas pihak ketiga hanya dapat timbul melalui persetujuan baru. Dalam konteks gugatan PMH yang melibatkan dugaan persekongkolan, hampir mustahil membayangkan bahwa pihak ketiga yang dituduh akan secara sukarela memberikan persetujuannya untuk digugat di forum arbitrase.

Keterbatasan prosedural ini menciptakan dilema: memaksakan arbitrase akan menyebabkan fragmentasi proses hukum—satu di arbitrase, satu lagi di pengadilan—yang tidak efisien dan berisiko menghasilkan putusan yang saling bertentangan. 

Pengadilan Negeri, dengan kewenangan publiknya yang melekat untuk memanggil paksa (subpoena) dan menggabungkan semua pihak relevan dalam satu proses, menjadi satu-satunya forum necessitatis, forum yang secara niscaya dibutuhkan—untuk dapat memberikan keadilan yang komprehensif, tuntas, dan konsisten.

Mempertahankan yurisdiksi dalam kasus seperti ini bukanlah sebuah perebutan kewenangan, melainkan pemenuhan tugas fundamental pengadilan untuk memastikan terselenggaranya proses hukum yang efektif dan adil bagi semua.

Doktrin Ketertiban Umum sebagai Batas Akhir Otonomi Privat

Pada level yang lebih fundamental, penegakan yurisdiksi yudisial dalam sengketa deliktual multi-pihak dapat dipahami sebagai manifestasi dari doktrin ketertiban umum (public order atau ordre public). 

Ketertiban umum merepresentasikan himpunan prinsip-prinsip dasar keadilan dan kebijakan fundamental yang menjadi landasan bagi suatu sistem hukum negara. Dalam konteks hukum perdata, ia berfungsi sebagai batas akhir yang tidak dapat dilanggar oleh otonomi kehendak para pihak. 

Walaupun UU Arbitrase tidak secara eksplisit menyebut ketertiban umum sebagai dasar untuk menolak yurisdiksi arbitrase di tahap awal, prinsip ini secara kuat tersirat dalam arsitektur hukumnya. 

Pasal 66 huruf c, misalnya, menetapkan bahwa Putusan Arbitrase Internasional hanya dapat dilaksanakan di Indonesia apabila "tidak bertentangan dengan ketertiban umum". Adalah logis untuk menerapkan standar yang sama pada tahap penentuan yurisdiksi awal.

Akan bertentangan dengan ketertiban umum apabila sebuah sistem hukum mengizinkan klausula arbitrase digunakan sebagai instrumen untuk menghalangi penuntutan hukum yang komprehensif terhadap suatu dugaan skema deliktual yang merugikan. 

Kepentingan publik dalam pemberantasan perbuatan melawan hukum dan perlindungan terhadap korban melampaui kepentingan privat para pihak untuk menyelesaikan sengketa mereka secara rahasia. 

Negara, melalui aparatus yudisialnya, memiliki kepentingan yang sah dan mendesak untuk memastikan bahwa seluruh rangkaian perbuatan melawan hukum dapat diungkap dan diadili secara tuntas dalam satu forum yang berwenang. 

Dalam hal ini, pengadilan tidak hanya bertindak sebagai penengah sengketa privat, tetapi juga sebagai penjaga ketertiban umum dan penegak supremasi hukum, peran yang tidak dapat didelegasikan sepenuhnya kepada forum arbitrase privat.

Kesimpulan

Eksistensi perjanjian arbitrase yang valid menciptakan presumsi kuat yang mendukung yurisdiksi arbitral dan menuntut pengadilan untuk menahan diri dari intervensi. 

Namun, presumsi ini bukanlah absolut. Ketika substansi sebuah sengketa bertransformasi dari wanprestasi kontraktual menjadi delik perdata yang kompleks dan melibatkan pihak ketiga non penandatangan, fondasi yuridis dari yurisdiksi arbitrase mulai terkikis. 

Analisis terhadap UU Arbitrase menunjukkan bahwa undang-undang itu sendiri memuat batasan-batasan inheren terhadap kewenangan arbitrase.

Secara substantif, sengketa deliktual multi-pihak berpotensi keluar dari lingkup arbitrabilitas yang didefinisikan secara limitatif dalam Pasal 5 ayat (1), karena tidak lagi menyangkut hak yang dikuasai sepenuhnya oleh para pihak dalam perjanjian. 

Secara prosedural, keterbatasan arbitrase dalam mengadili pihak ketiga secara paksa, sebagaimana tercermin dalam Pasal 30, menjadikan pengadilan sebagai satu-satunya forum yang mampu menyelenggarakan peradilan yang komprehensif. Pada akhirnya, doktrin ketertiban umum berfungsi sebagai prinsip payung yang memberikan justifikasi fundamental bagi intervensi yudisial. 

Oleh karena itu, penegasan yurisdiksi Pengadilan Negeri dalam konstelasi sengketa spesifik ini bukanlah sebuah tindakan anomali yang menentang semangat pro arbitrase, melainkan sebuah penafsiran hukum yang cermat dan bertanggung jawab untuk menempatkan baik yurisdiksi yudisial maupun arbitral pada porsinya yang semestinya, demi terwujudnya supremasi hukum dan keadilan substantif.

Penulis: Bony Daniel
Editor: Tim MariNews