Pemandangan bendera Merah Putih yang berkibar setengah tiang setiap 30 September bukan sekadar tradisi duka, melainkan sebuah pengingat akan tragedi kelam G30S yang merenggut nyawa para pahlawan bangsa.
Di balik simbolisme ini, tersimpan ajakan mendalam bagi seluruh penegak hukum di Indonesia untuk menjadikan nilai-nilai luhur Pancasila sebagai kompas dalam setiap putusan dan pelayanan, demi tegaknya keadilan sejati.
Mengapa Bendera Setengah Tiang Adalah Simbol Keadilan?
Secara historis, bendera setengah tiang pada 30 September adalah bentuk penghormatan tertinggi kepada para Pahlawan Revolusi. Mereka gugur sebagai korban kekejaman dan pengkhianatan, namun sekaligus menjadi penjaga setia ideologi negara, Pancasila.
Tragedi ini menjadi pengingat bahwa kebebasan dan kedaulatan yang kita nikmati saat ini dibangun di atas fondasi yang kokoh, yaitu persatuan dan keadilan.
Bagi aparatur peradilan, simbolisme ini memiliki makna mendalam yang sejalan dengan Sila Kelima Pancasila, "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia."
Keadilan yang diperjuangkan oleh para pahlawan tidak hanya berarti kesetaraan di hadapan hukum, tetapi juga perlindungan bagi mereka yang tertindas.
Mengingat kembali sejarah ini seharusnya memacu setiap hakim, panitera, dan seluruh staf pengadilan untuk senantiasa berlaku adil, tidak memihak, dan berintegritas.
Keadilan sebagai Buah dari Pengorbanan
Peristiwa G30S adalah pelajaran berharga bahwa hukum dan keadilan tidak boleh dipermainkan. Para pahlawan yang diculik dan dibunuh, Letjen Anumerta Ahmad Yani, Mayjen Raden Soeprapto, dan jenderal-jenderal lainnya adalah korban dari tindakan di luar jalur hukum.
Keberadaan pengadilan dan sistem hukum yang kuat adalah jaminan bahwa tragedi serupa tidak akan terulang, di mana konflik diselesaikan dengan kekerasan alih-alih melalui jalur hukum yang adil dan transparan.
Oleh karena itu, setiap putusan yang dikeluarkan oleh pengadilan, sejalan dengan nilai-nilai Pancasila, haruslah mencerminkan nilai kemanusiaan (Sila Kedua) dan persatuan (Sila Ketiga).
Hakim tidak hanya sekadar mengadili, tetapi juga mengemban amanah untuk menjaga martabat manusia dan keutuhan bangsa. Hal ini sejalan dengan surat edaran Mahkamah Agung Nomor 15388/SEK/HM3.1.1/IX/2025 yang mengimbau seluruh pengadilan untuk mengibarkan bendera setengah tiang sebagai tanda berkabung, lalu menaikkan kembali bendera satu tiang penuh pada 1 Oktober sebagai peringatan Hari Kesaktian Pancasila.
Tindakan ini merupakan pengingat bahwa setelah masa duka, kita harus bangkit dan memperkuat fondasi negara dengan nilai-nilai luhur.
Menerapkan Nilai-Nilai Pancasila dalam Pelayanan Publik
Peringatan 30 September dan 1 Oktober adalah momentum bagi seluruh komponen bangsa, termasuk insan peradilan, untuk merefleksikan diri. Dalam konteks pelayanan kepada masyarakat, ini berarti:
- Pelayanan Tanpa Diskriminasi: Setiap pencari keadilan harus dilayani dengan setara, tanpa memandang latar belakang, status sosial, atau kekayaan. Ini adalah manifestasi nyata dari Sila Kelima, "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia."
- Integritas dan Profesionalisme: Pengorbanan para pahlawan G30S mengajarkan pentingnya integritas. Aparatur peradilan harus menjunjung tinggi profesionalisme, menolak segala bentuk korupsi dan intervensi, agar putusan yang dikeluarkan benar-benar mencerminkan kebenaran.
- Mempertimbangkan Rasa Keadilan Masyarakat: Hukum tidak boleh kaku. Putusan hakim harus sejalan dengan rasa keadilan yang hidup di masyarakat, seiring dengan Sila Keempat, "Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan."
Pada akhirnya, menaikkan bendera setengah tiang pada 30 September dan mengibarkannya satu tiang penuh pada 1 Oktober adalah pengingat bahwa kita telah melewati masa kelam dan kini memiliki kewajiban untuk menjaga amanah para pahlawan.
Amanah itu adalah untuk membangun peradilan yang adil, modern, dan bermartabat, di mana nilai-nilai Pancasila menjadi kompas utama dalam setiap langkah. Keadilan yang kita tegakkan hari ini adalah wujud nyata dari penghormatan kita terhadap pengorbanan mereka di masa lalu.