Pada akhir November 2025, Sumatra seolah menahan napas. Hujan jatuh tanpa jeda, sungai-sungai yang biasanya tenang berubah menjadi raksasa yang mengamuk, tanah yang setia selama bertahun-tahun, akhirnya menyerah dan longsor.
Namun di tengah bencana itu, ada sekelompok orang yang kisahnya terlambat terdengar, nyaris tenggelam bersama arus deras yang meluluhlantakkan kota, rumah, dan cita-cita mereka.
Mereka adalah aparatur peradilan, Pimpinan Pengadilan, Hakim, dan Pegawai lainnya, yang selama ini berdiri di garis depan menjaga tegaknya hukum, kini justru harus berjuang menyelamatkan diri dan keluarganya, dari bencana yang tidak pernah mereka bayangkan
Tulisan ini adalah kisah tentang ketabahan, tentang manusia yang tidak dikenal publik, tetapi diam-diam menjadi pilar negara.
Kisah mereka perlu didengar bukan hanya agar kita merasa iba, tetapi agar kita mengerti, bahwa negara ini berdiri di atas pundak orang-orang seperti mereka, yang tetap menjalankan tugas, bahkan ketika dunia di sekeliling mereka runtuh.
Kuala Simpang: Ketika Kantor Peradilan Menjadi Pengungsian
Di Kuala Simpang, banjir naik begitu cepat pada malam (26/11). Dalam hitungan jam, air setinggi 2,5 meter merangsek masuk ke gedung Pengadilan Negeri Kuala Simpang.
Lantai satu tenggelam, berkas-berkas perkara yang telah disusun dengan rapi, hilang dalam gulungan air yang keruh.
Pada lantai dua, suara tangis anak-anak dan gemerisik langkah para pengungsi memenuhi koridor. Kantor peradilan berubah menjadi rumah darurat bagi warga, ruang sidang berubah menjadi tempat tidur, dan meja hakim menjadi tumpuan harapan.
Di tengah kekacauan itu, seorang hakim muda, Qisthi Widyastuti, terjebak bersama Wakil Ketua Pengadilan, Diana Febrina Lubis, dan dua pegawai lainnya di rumah dinas.
Ketika komunikasi terputus, listrik padam, dan hujan tidak berhenti, mereka mengetahui tidak mungkin menunggu bantuan.
Mereka berjalan menyusuri banjir setinggi leher orang dewasa. Setiap langkah adalah perjuangan antara hidup dan tenggelam.
Beruntung sebuah kantor bank menerima mereka mengungsi. Tetapi makanan tidak tersedia selama tiga hari, mereka bertahan hidup dengan satu bungkus mie instan dibagi empat, dan air minum seadanya.
Ketika air surut, mereka kembali ke kantor PN Kuala Simpang, hanya untuk melihat rumah dinas tertutup lumpur setebal 30 sentimeter.
Tidak ada yang tersisa. Tidak ada pakaian. Tidak ada barang berharga. Hanya lumpur, bau busuk, dan rasa syukur karena masih hidup.
Pada hari keempat, mereka akhirnya menemukan jalan pulang yakni naik truk sawit selama satu setengah jam, menyusuri jalan terputus, menaiki perahu kayu, dan tiba di Sumatera Utara dengan tubuh lelah, pakaian basah, tetapi hati penuh syukur. Namun beberapa rekan mereka masih terjebak, tak dapat ditembus banjir maupun komunikasi.
Sementara itu, laporan lain menyebut Kuala Simpang seperti kota zombie, bau mayat mulai tersebar, warga panik, dan logistik habis.
Lembaga peradilan kehilangan kantor dan para pegawainya kehilangan rumah, tetapi mereka tidak kehilangan keberanian.
Takengon: Berjalan Kaki Mengisi Baterai dan Memasak Nasi
Di Takengon, kondisi tidak jauh berbeda. Ketika BBM habis dan genset tidak lagi bisa menyala, pegawai pengadilan berjalan kaki berkilometer-kilometer menuju kantor, hanya untuk mengisi baterai ponsel, menghubungi keluarga, dan memasak nasi bersama agar tetap hidup.
Di luar kantor, penjarahan terjadi. Minimarket di dekat PN Takengon dibobol orang-orang yang panik dan lapar.
Akses jalan menuju kabupaten tetangga putus total. Bantuan hanya bisa datang lewat helikopter. Listrik mati selama berhari-hari. Sinyal hilang.
Ketika satelit Starlink hanya tersedia di kantor BPBD, Kodim, Polres, dan Bank BSI, pegawai pengadilan harus bertarung dengan hujan dan lumpur hanya untuk menemukan secercah jaringan.
Di tengah keterisolasian itu, mereka tidak menyerah. Para hakim dan pegawai bahkan mengumpulkan uang pribadi, untuk membeli langsung 500 kg beras dari BULOG. Beras yang kemudian mereka bagi-bagikan bukan hanya untuk aparatur PN Takengong, tetapi juga untuk masyarakat sekitar, yang sama-sama kelaparan.
Di tengah gelap gulita dan kota yang terputus, mereka tetap bekerja secara manual sebisanya, tetap berjaga, tetap melayani, meski hidup mereka sendiri sedang digulung bencana.
Blangkejeren: Terisolasi dan Ketakutan Akan Chaos
Di Blangkejeren, laporan yang masuk penuh ketegangan. Kota benar-benar terisolasi. Tidak ada BBM, tidak ada gas, tidak ada bahan pokok.
Pegawai pengadilan hanya bergantung pada wifi satelit kantor bupati untuk berkomunikasi.
Dalam kondisi seperti itu, mereka tetap bekerja. Kantor tetap dibuka, meski dengan sumber daya yang sangat terbatas. Mereka tidak tahu sampai kapan situasi dapat bertahan tanpa kekacauan. Tetapi mereka memilih bertahan.
Di tengah ancaman chaos, aparatur peradilan berdiri sebagai tiang terakhir ketertiban.
Idi: Rumah Pegawai Hancur dan Kota Lumpuh
Hujan yang tidak kunjung reda sejak 21-27 November 2025, membawa banjir yang menghantam rumah-rumah warga, merobohkan tembok, dan memutus seluruh akses komunikasi.
Rabu (26/11), arus menghantam rumah, tembok runtuh, listrik padam, sinyal hilang. Malamnya, jalan di depan Pengadilan Negeri Idi berubah menjadi aliran air deras. Kantor masih bertahan, tetapi parkiran mobil dan rumah dinas Ketua PN Idi tidak luput dari genangan. Sepeda motor pegawai pun ikut terendam.
Kamis (27/11), kota lumpuh total. Aspal jalan terkelupas, listrik dan PDAM mati, sinyal HP hilang, internet putus. Gas dan BBM langka. Air mulai surut, tetapi meninggalkan lumpur tebal di rumah-rumah warga. Banyak rumah pegawai PN Idi ikut terendam, belum seluruhnya terdata.
Jumat (28/11), langit cerah, namun kehidupan tetap gelap. Krisis air bersih, bahan makanan, gas, hingga uang tunai melilit warga. Idi terisolasi, semua akses keluar kota terputus.
Minggu (30/11), secercah harapan mulai muncul. Listrik mulai hidup di beberapa titik, meski belum stabil. Senin (1/12), sinyal internet perlahan kembali. Namun kantor PN Idi belum bisa difungsikan, listrik dan koneksi masih rapuh.
Maninjau: Pengadilan Lumpuh dan Pegawai Kehilangan Tempat Tinggal
Di Maninjau, gedung Pengadilan Agama rusak parah. Atap roboh, dinding retak, ruang sidang terendam lumpur, jaringan putus. Banyak pegawai kehilangan rumah, karena banjir dan longsor yang menghantam dari lereng bukit dan perkampungan sekitar danau.
Pegawai yang selamat terpaksa mengungsi ke tempat-tempat tinggi. Beberapa harus berjalan kaki berjam-jam, karena seluruh jalur terputus. Ketika kembali ke kantor, mereka mendapati ruang kerja hancur, berkas tercerai-berai, komputer rusak, lemari roboh. Namun mereka tetap datang, memeriksa kerusakan, dan mencoba menyelamatkan apa pun yang masih bisa dipertahankan.
Di tengah kehancuran fisik, mereka justru menunjukkan keberanian moral yang luar biasa.
Sibolga dan Pandan: Pegawai Hilang Kontak dan Banjir Mengisolasi Kantor Pengadilan
Di Sibolga, banjir dan longsor membuat beberapa pegawai pengadilan hilang kontak selama beberapa hari. Ketua Pengadilan Agama Sibolga sempat tidak ditemukan keberadaannya, sebelum akhirnya berhasil dievakuasi. Pegawai yang bertugas di wilayah Pandan menghadapi hal serupa, rumah terendam, akses hilang, kantor lumpuh, dan komunikasi dengan keluarga terputus.
Beberapa pegawai terpaksa mengungsi ke gedung sekolah dan masjid. Lainnya harus bertahan di kantor dengan logistik minim.
Para hakim, dan aparatur peradilan saling berbagi makanan seadanya. Mereka bekerja dalam kondisi yang secara manusiawi sangat berat, tetapi tetap tidak meninggalkan kewajiban mereka sebagai penjaga hukum.
Bangunan Boleh Rusak, Tapi Keteguhan Mereka Tidak
Jika kita melihat semua kisah ini sebagai satu kesatuan, tampak bahwa bencana ini bukan hanya merusak bangunan fisik, tetapi menghantam kehidupan manusia yang bekerja di dalamnya.
Mereka kehilangan, rumah, pakaian, kendaraan, makanan, jaringan komunikasi, dan rasa aman.
Mereka Simbol Keteguhan, Simbol Komitmen, Dan Simbol Keberanian Moral Di balik setiap putusan, di balik setiap pelayanan hukum, ada manusia yang bekerja dengan hati. Dalam bencana ini, hati mereka diuji sekeras-kerasnya.
Aparatur peradilan di Aceh, Sumut, dan Sumbar, bukan hanya korban bencana alam. Mereka adalah simbol keteguhan, simbol komitmen, dan simbol keberanian moral. Sosoknya, bukti di tengah banjir dan kegelapan, keadilan tetap memiliki penjaga, mereka tidak pernah meninggalkan tugas, meski dunia di sekeliling tenggelam.