Mengukir Keadilan Melalui Algoritma: Peran AI dalam Proses Putusan

Peran Hakim dalam menegakkan keadilan senantiasa melibatkan perpaduan antara penerapan hukum positif dan penggunaan diskresi.
Ilustrasi kecerdasan buatan dan keadilan Foto : Freepik
Ilustrasi kecerdasan buatan dan keadilan Foto : Freepik

Pesatnya perkembangan Kecedasan Buatan atau Artificial Intelligence (AI) khususnya pada bidang pemrosesan kata-kata dan analisis data memiliki pengaruh yang signifikan dalam sistem peradilan. 

Hal ini berimplikasi pada terbukanya peluang dan tantangan besar bagi sistem peradilan, tidak terkecuali dalam proses pengambilan keputusan yang menjadi tugas utama seorang Hakim. 

Peran Hakim dalam menegakkan keadilan senantiasa melibatkan perpaduan antara penerapan hukum positif dan penggunaan diskresi, yang dipandu oleh etika dan moralitas. 

Pada kasus-kasus sulit, Hakim tidak hanya menerapkan undang-undang, tetapi juga melakukan rechtvinding (penemuan hukum) yaitu dengan menafsirkan norma yang kabur, mengisi kekosongan hukum, dan menyesuaikannya dengan rasa keadilan masyarakat. 

Hadirnya AI yang menawarkan objektivitas, efisiensi, dan konsistensi dalam memproses bahasa serta analisis data menimbulkan pertanyaan ‘Dapatkah kita memprogram etika dan moralitas ke dalam algoritma sehingga AI dapat menyusun pertimbangan putusan yang komprehensif layaknya manusia?”.

Pemrograman Hukum, Etika, dan Moral

Memprogram hukum, etika, dan moralitas ke dalam AI adalah tantangan multidimesi yang krusial untuk memastikan AI dapat berkembang secara bertanggung jawab dan bermanfaat bagi masyarakat. 

Tujuannya adalah menciptakan agen AI yang dapat mengambil keputusan atau bertindak seolah-olah mereka memiliki pertimbangan moral. 

Aturan tertulis yang ditegakkan oleh aparat penegak hukum melalui peraturan perundang-undangan tampaknya relatif lebih mudah untuk dikodekan karena sifatnya yang berupa aturan eksplisit. 

Sebagai contoh, apabila aturan formal dikodekan dalam bentuk IF THEN rules (jika melanggar pasal A maka sanksinya adalah Y), maka AI dinilai cukup efisien dalam memprogram hal semacam ini. 

Namun, lain halnya dengan Etika dan Moralitas yang sifatnya sulit diukur secara kuantitatif karena seringkali berupa kerangka filosofis. Apabila diaplikasikan dalam AI, akan menciptakan dua bentuk yaitu Etika Yang Diprogram dan Etika Yang Dipelajari. 

Etika Yang Diprogram sebagai bentuk upaya untuk mendefinisikan prinsip-prinsip etika dan moralitas ke dalam algoritma, sedangkan Etika Yang Dipelajari yaitu menganalisis sekumpulan data yang dianggap telah mencerminkan nilai etika dan moralitas, dengan harapan AI dapat menarik pola dan memilih keputusan etis sendiri.

Hambatan Filosofis dalam Memogram Etika dan Moral

Setidaknya terdapat beberapa permasalahan apabila etika dan moralitas diprogram ke dalam AI, yaitu:

  1. Dilema Moral dan Konflik Nilai: Hakim seringkali dihadapkan pada dilema moral saat menangani kasus sulit di pengadilan, dilema moral tersebut terwujud dalam bentuk adanya konflik antara 2 (dua) nilai yang sah secara moral. AI akan kesulitan mempertimbangkan nilai-nilai ini tanpa memiliki kesadaran (consciousness) atau pengalaman hidup.
  2. AI tidak memiliki Pemahaman Hakiki: AI dapat memproses bahasa dan data, tetapi tidak memiliki pemahaman intuitif tentang penderitaan, keadilan, dan niat manusia. Apakah AI dapat merasakan dan mempertimbangkan penderitaan yang dialami Korban serta dampak sosial dari putusan? Kapasitas wisdom (kebijaksanaan) dan empati sebagai hal esensial dalam pertimbangan hakim menurut penulis tidak layak direduksi menjadi barisan kode.
  3. Sifat dinamis Etika: norma sosial dan nilai etika tidak dapat dipungkiri dapat berubah seiring waktu, sehingga AI perlu mekanisme yang memungkinkan dirinya mengalami evolusi moral secara independen.

Implikasi Hukum

Tugas hakim bukan hanya menerapkan hukum, tetapi juga melakukan rechtvinding (penemuan hukum) yaitu menafsirkan, mengisi kekosongan, dan menyesuaikan hukum dengan rasa keadilan dan realitas sosial. 

Hal ini tentunya menuntut kebijaksanaan yang sulit dipatenkan dalam bentuk algoritma. 

Selain itu, jika AI membuat kesalahan etis dalam mempertimbangkan putusan, siapa yang bertanggung jawab?Programmer, Pemilik Data, atau AI itu sendiri? Sedangkan diketahui jika saat ini AI belum diakui sebagai subjek hukum yang memiliki niat dan kesalahan.

Berdasarkan kajian singkat di atas, Penulis menilai jika saat ini kita tidak dapat sepenuhnya memprogram etika dan moral ke dalam AI hingga mencapai tingkat kebijaksanaan seorang manusia. 

AI boleh saja menginternalisasi aturan dengan metode “jika… maka….” Atau IF THEN rules berdasarkan barisan kode, tetapi tidak dapat menangani dilema etika dan moral kompleks atau memiliki kapasitas untuk berempati yang merupakan jalan untuk mencapai keadilan substantif. 

Oleh karena itu, kehadiran AI dalam profesi Hakim lebih tepat berfungsi sebagai alat bantu yang mampu memproses informasi hukum dengan lebih cepat dan komprehensif di bawah pengawasan dan validasi seorang hakim. 

Inti Keadilan, yaitu pengambilan keputusan berbasis empati, pengalaman hidup, penemuan hukum, nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, serta aturan tertulis adalah dimensi yang harus dijaga dan dipertahankan sebagai domain diskresi hakim.

Penulis: Giovani
Editor: Tim MariNews