Intensi dan Virtualitas Negatif

Sejak kemunculan kecerdasan buatan generatif adversarial (Generative Adversarial Networks/GAN), dunia virtual menjadi semakin berjarak dengan konsep-konsep dasar yang sebelumnya diterima begitu saja dalam penalaran juridis.
Ilustrasi kecerdasan buatan. Foto : Freepik
Ilustrasi kecerdasan buatan. Foto : Freepik

“All consciousness is consciousness of something.” – Edmund Husserl (Logical Investigations).

Teknologi kecerdasan buatan saat ini sudah dapat mengaburkan identitas dengan kemunculan deepfake: wajah dan suara seseorang dapat ditiru dan diubah menjadi foto atau video. 

Gejala ini seolah mengejawantahkan gagasan pakar psikologi Robert Jay Lifton tentang “diri Protean” (Protean self): sang diri yang terus menerus beradaptasi karena paksaan untuk berkelindan dengan tuntutan jaman yang berubah hanya dalam hitungan tahun, dan bahkan bulan. 

Lifton meminjam arketip Proteus dari mitologi Yunani Kuno untuk mengajukan sebuah model manusia modern yang harus “mengenakan baju” identitas yang beragam untuk berhadapan dengan berbagai situasi ekstrim yang berbeda-beda. Disrupsi kondisi ini oleh Lipton disebut dengan istilah dislokasi, yang terjadi karena perang, penyakit, perubahan struktur ekonomi, dan lain semacamnya (Lifton, 1993:14), yang dalam filsafat dikenal dengan istilah boundary situations (situasi batas).

Konstruksi konseptual Protean yang digagas Lifton menjadi semakin relevan dengan masuknya media sosial sebagai sebuah medan interaksi (field) keseharian yang sangat pervasif dalam kehidupan manusia modern. Apalagi saat ponsel cerdas membuat kehidupan nyata menjadi baur dengan kehidupan virtual, yang menciptakan berbagai persona untuk ruang yang berbeda-beda pula. 

Lifton mencoba mengangkat gagasan filsuf media Marshall McLuhan (1994) yang memberi penekanan penting pada aspek formal, dan bukan substansial, dari media. Analoginya, media seperti bungkus kado yang lebih penting daripada isinya, bahkan bila di dalamnya tidak lebih dari sekadar kotak kosong. Bila di masa temuan mesin cetak dari Johann Gutenberg manusia adalah makhluk tipografis, media, tidak terkecuali media sosial, mengubahnya menjadi makhluk grafis, lewat keberadaan gambar fotografis: “The step from the age of Typographic Man to the age of Graphic Man was taken with the invention of photography” (Langkah dari zaman Manusia Tipografis menuju zaman Manusia Grafis dimulai dengan penemuan fotografi) (McLuhan, 1994:190).

Manusia Grafis-Protean dan Irrelevansi Hakikat Hukum

Kehadiran manusia grafis-Protean, manusia yang terus menerus berubah menyesuaikan diri dengan yang lain tanpa pernah menjadi dirinya sendiri dalam media foto dan gambar, menjadi semakin problematis karena pada awalnya hukum dirancang untuk manusia nyata yang hidup dalam dunia yang sifatnya material. 

Manusia grafis-Protean mulai menyimpangi hakikat eksistensi hukum karena kehidupannya sudah mulai terbagi dua: kehidupan fisik dan virtual. 

Filsuf hukum Roscoe Pound meletakkan dasar pemikiran yurispudensi sosiologisnya di atas fondasi masyarakat yang nyata, ketika ia mengatakan “Law is a social institution to satisfy social wants” (Hukum adalah institusi sosial yang ada untuk memenuhi keinginan sosial) (Pound, 1922). 

Sanksi hukum yang dipikirkan filsuf hukum Inggris John Austin ketika ia mengatakan “Law is a command set by a superior to an inferior and enforced by sanctions” (Hukum adalah perintah yang ditetapkan oleh pihak yang lebih tinggi kepada pihak yang lebih rendah dan ditegakkan melalui sanksi) (Austin, 1832). Dengan semakin tingginya intensitas kehidupan manusia di dunia virtual, semakin terkikis relevansi hukum yang masih mengasumsikan kemanusiaan yang sepenuhnya hidup di realitas ragawi.

Sejak kemunculan kecerdasan buatan generatif adversarial (Generative Adversarial Networks/GAN), dunia virtual menjadi semakin berjarak dengan konsep-konsep dasar yang sebelumnya diterima begitu saja dalam penalaran juridis. 

GAN adalah interaksi antara dua agensi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) yang menciptakan imaji-imaji secara acak untuk kemudian dicocokkan dengan konvensi sosial. 

GAN bekerja, misalnya, dengan mengasilkan jutaan atau bahkan milyaran imaji seekor kucing tanpa sekalipun mempelajari foto dari spesies tersebut. Dari dua agensi dalam GAN, AI yang satu berperan sebagai generator dan AI yang lain bekerja sebagai diskriminator. 

Generator akan terus menghasilkan imaji tanpa henti, sementara diskriminator, sesuai contoh ini, akan memberi label “kucing” jika citraan tersebut mendekati gambaran kucing yang ada di dunia nyata (Elektran, 2024). 

Teknologi GAN membawa implikasi bahwa imaji-imaji yang ada di dunia virtual bisa saja tercipta tanpa sedikit pun beririsan dengan realitas. Eksesnya, GAN dapat menciptakan imaji seperti deepfake tanpa kaitan atau ikatan sama sekali dengan manusia di dunia nyata.

Intensionalitas dan Tindakan Noetik

Bila keberadaan fisik menjadi problematis, maka mungkin satu-satunya jalan keluar adalah dengan memeriksa intensi atau niat. Konsep mens rea dan actus reus menjadi lebih bernas untuk dicermati dalam medan interaksi virtual, yang menjadi lokus dari keberadaan manusia grafis-Protean. 

Dalam dunia virtual (virtual reality), identitas sama sekali tidak relevan. Setiap orang dapat menyamarkan identitasnya tanpa ada hambatan atau batasan sama sekali. Orang yang sama dapat memiliki ratusan akun media sosial dengan ratusan identitas. 

Anonimitas semacam ini problematis terutama karena menentukan siapa yang sebenarnya memiliki niat jahat dan siapa yang melakukan tindakan jahat menjadi sangat samar. 

Kejahatan siber terorganisasi yang beroperasi lewat dark web (laman internet ilegal) bekerja secara anonim dan impersonal, sehingga upaya penegakan hukum terhadap ragam kejahatan semacam ini jarang yang sampai menguak otak pelaku utamanya (Reichel, 2019). Sebaliknya, dalam situasi tertentu, pelaku memiliki intensi akan rekognisi publik yang dapat dengan mudah dikenali. Dalam wilayah ini, kedua asas terjadinya sebuah tindak kriminal telah dipenuhi. 

Bagi filsuf Edmund Husserl, setiap tindakan yang disadari (noesis) pada hakikatnya diarahkan pada objek tindakan tertentu (noema). Dengan kata lain, sebuah tindakan, bagi Husserl, didasarkan atas intensi tertentu. Ini berarti menurut Husserl selalu ada intensionalitas dalam kadar tertentu yang inheren dalam setiap tindakan berkesadaran (Husserl, 2001). 

Dalam menghasilkan deepfake berupa imaji fotografis yang dimungkin oleh teknologi GAN, ada dua hal yang dapat kita catat. Pertama, imaji yang diciptakan agensi kecerdasan buatan tidak mengacu pada person manapun. Artinya, setiap imaji yang tercipta dari generator dan diskriminator selalu baru dan tidak dapat diklaim oleh pihak manapun sebagai representasi langsung dari identitas pihak tersebut. 

Ini berarti bahwa sekalipun A memasukkan foto dirinya ke aplikasi GAN, maka hasil citraannya bukan derivat langsung dari foto A, karena GAN akan mempergunakan probabilitas statistik untuk menciptakan imaji fotografis tersebut, dan bukan sebagai tiruan.

Kedua, sekalipun setiap imaji yang dihasilkan GAN bersifat singular, intensi dari keberadaan imaji tersebut tetap dapat dilekatkan pada pihak yang memberi perintah pada GAN. Bila X memasukkan imaji seorang selebritas ke aplikasi GAN dengan tujuan menyebarkan kebohongan tentang kehidupan pribadinya, intensionalitas X dapat dikategorikan sebagai mens rea karena X memiliki noema yang hanya dapat dicapai lewat noesis tertentu. 

Fenomenon noematik semacam ini dapat dipergunakan untuk membedah tindakan kriminal pelaku yang mempergunakan GAN untuk menghasilkan imaji pornografis dengan mempergunakan data acak di internet (scraped assets). Tindakan mengolah data dengan GAN adalah aksi noesis karena dilakukan secara sadar (pelaku tidak di bawah pengampuan), dan dengan kata-program (prompt), pelaku dengan sengaja meminta generator GAN untuk menghasilkan imaji pornografis (noema). 

Ciri noetik dari tindakan tersebut dapat dilihat dalam upaya pelaku untuk menghasilkan kemiripan dengan foto yang dijadikan sumber (assets). Hasil akhir dari tindakan noetik ini adalah objektifikasi identitas yang diperangkap (framed) dalam konteks negatif tertentu (Harney, 1984).

Intensionalitas di Tengah Impersonalitas

Dalam kasus eSafety Commissioner v Rotondo, Federal Court of Australia, QUD451/2023, pelaku bernama Anthony Rotondo membuat deepfake dari seorang tokoh di Australia untuk menjadi materi pornografis dan mengunggahnya ke situs web. 

Pengadilan memutuskan bahwa Rotondo harus membayar denda sebesar 450.000 dolar Australia, atau sekitar Rp4,9 miliar (eSafety Commissioner, 2025). Intensi kriminal Rotondo diperkuat dengan upayanya untuk membuat laman web MrDeepFakes (The Guardian, Josh Taylor, 26 Mei 2025). 

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, Rotondo memang menghasilkan imaji yang tidak terikat dengan identitas siapapun, namun demikian, aksi noetik Rotondo sudah cukup membuktikan mens rea yang diwujudkan dalam actus reus-nya membuat laman web yang berisi deepfake. Virtualitas yang dihadirkan oleh Rotondo bersifat negatif, dan bahkan destruktif, karena dapat menjadi preseden dari aksi kejahatan semacam ini.

Sebagai penutup, perkembangan kecerdasan buatan menyingkap paradoks mendasar dalam peradaban digital: semakin canggih teknologi meniru kenyataan, semakin kabur pula batas antara manusia, citra, dan tindakan. 

Dunia virtual yang dibangun oleh algoritma bukan lagi sekadar refleksi dari realitas, melainkan ruang otonom yang memiliki logika dan konsekuensi sendiri. Dalam ruang inilah, hukum ditantang untuk tidak lagi berpijak semata pada keberadaan material, melainkan juga pada relasi intensional yang menghubungkan niat dan tindakan di balik representasi digital. 

Dengan demikian, masa depan penegakan hukum menuntut pemahaman baru tentang manusia yang kini hidup dalam dua dunia, yang fisik dan yang virtual, serta keberanian untuk merumuskan kembali makna tanggung jawab di tengah kaburnya identitas dan intensi di era kecerdasan buatan.  

Penulis: Muhammad Afif
Editor: Tim MariNews