Tulisan ini merupakan refleksi atas pengalaman penulis selama bertugas di berbagai satuan kerja Peradilan Agama, sekaligus juga menanggapi peran dan kepemimpinan Hakim Perempuan di Indonesia.
Dengan menggunakan perspektif ethics of care dan feminist jurisprudence, artikel ini menyoroti bagaimana kehadiran hakim perempuan memperkaya wajah keadilan melalui sentuhan empati, kepekaan sosial, dan moralitas kemanusiaan.
Pada akhirnya, baik Hakim laki-laki maupun perempuan memiliki peluang yang sama untuk bersinar—karena hukum yang sejati adalah hukum yang hidup dalam hati nurani manusia.
Pendahuluan: Dari Palu ke Sentuhan
Dalam diskusi nasional bertemakan, Penguatan Peran dan Kepemimpinan Hakim Perempuan Indonesia, yang diselenggarakan Badan Perhimpunan Hakim Perempuan Indonesia (BPHPI) bekerja sama dengan Federal Court of Australia (FCA) pada 29 September 2025, berfokus pada pertukaran pandangan serta pengalaman antar Hakim dari Indonesia dan Australia.
Dalam kesempatan yang sama, Chief Justice Debra Mortier sebagai salah satu narasumber dari Federal Court of Australia menegaskan, Hakim Perempuan memiliki peluang yang sama besarnya untuk mencapai puncak karier di dunia peradilan.
Meskipun dalam pandangannya, Hakim Perempuan di Indonesia maupun di Australia menghadapi tantangan yang serupa terutama pada peran antara keluarga dan pekerjaan yang harus diseimbangkan.
Masih dalam diskusi yang sama, data mengungkap bahwa hakim perempuan di lingkungan Peradilan Agama berjumlah 891 atau sekitar 31% dari total keseluruhan jumlah Hakim di lingkungan Peradilan Agama, yaitu 2.891 orang.
Sedangkan pada Lingkungan Peradilan Umum, jumlah Hakim Perempuan dari total keseluruhan Hakim 4.780 orang, adalah sebanyak 32% atau 1.533 orang.
Adapun Hakim perempuan pada Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, adalah 177 orang atau sebesar 39% dari jumlah keseluruhan Hakim Peradilan Tata Usaha Negara yang berjumlah 280, sementara Hakim Perempuan pada Peradilan Militer berjumlah 17 orang dari 163 jumlah Hakim.
Angka ini menunjukkan kemajuan, namun juga mengingatkan bahwa perjuangan kesetaraan substantif belum usai.
Jejak Historis: Dari Sri Widoyati hingga Generasi Baru Keadilan Feminin
Ketika berbicara tentang peran perempuan di Mahkamah Agung, tak mungkin melewatkan nama Sri Widoyati, Hakim Agung perempuan pertama Indonesia.
Saat Amerika Serikat baru memiliki Hakim Agung Perempuan pada 1981, Indonesia ternyata telah lebih dulu memiliki Hakim Agung Perempuan Pertama pada 1968. Hal ini sebagaimana mengutip dari artikel Dandapala yang diterbitkan pada 10 Maret 2025, Sri Widoyati Wiratma juga merupakan seorang pejuang hukum dan keadilan yang pernah dimiliki Indonesia.
Beliau dikenal karena integritas, kecendekiaan, dan keberaniannya menembus ruang-ruang pengambilan keputusan yang selama ini didominasi laki-laki. Beliau juga aktif memprakarsai dan mengadvokasi perempuan Indonesia untuk terus berkarya.
Empat dekade kemudian, dua perempuan baru saja dinyatakan terpilih menjadi Hakim Agung di Kamar Agama oleh DPR RI, yakni Dra. Hj. Muhayah, S.H., M.H. dan Dr. Hj. Lailatul Arofah, M.H.
Peristiwa ini menjadi capaian bersejarah, karena menunjukkan kesinambungan perjuangan dan keseimbangan nilai dalam sistem peradilan.
Kehadiran mereka bukan sekadar angka atau sebatas gender, tetapi membuka ruang bagi pandangan dan pengalaman perempuan untuk ikut mewarnai arah hukum di Indonesia dan memastikan keadilan ditegakkan dengan lebih lengkap.
Teori Feminin dalam Hukum: Antara Rasionalitas dan Etika Merawat
Hukum dalam paradigma klasik sering dipandang netral dan impersonal. Namun pemikir feminis seperti Carol Gilligan dan Nel Noddings memperkenalkan etika merawat (ethics of care) dalam karyanya berjudul "In a Different Voice: Psychological Theory and Women's Development " 1982, sebagai pendekatan moral alternatif.
Moralitas sebagai kemampuan untuk merawat, mendengarkan, dan menjaga keseimbanag hubungan sosial bukan hanya diukur dari kepatuhan pada aturan semata.
Mengintegrasikan etika merawat ke dalam praktik hukum Indonesia, bukanlah sesuatu yang asing, tetapi bentuk aktualisasi dari semangat hukum yang rasional sekaligus tegas namun tetap berbelas kasih.
Penjabaran di atas selaras dengan tulisan dituangkan oleh Azalia Purbayanti Sabana (yang saat itu sebagai CPNS Analis Perkara Peradilan Pengadilan Agama Jember), dalam artikel bertajuk “Eksistensi Feminisme dalam Bingkai Peradilan”, yang dipublikasikan oleh Pengadilan Agama Jember pada 14 Juli 2022.
Bahwa paradigma yang selama ini tumbuh, memandang Hakim perempuan dalam memutuskan perkara dikhawatirkan akan menciptakan putusan hukum yang bertendensi subjektif, karena perempuan identik dengan makhluk sensitif yang lebih mengedepankan perasaan daripada logika.
Oleh karenanya, hingga hari ini, paradigma tersebut terbantahkan dengan telah banyak putusan-putusan yang berkualitas dan bernafaskan keadilan yang tercipta dari Hakim-Hakim Perempuan Indonesia.
Potret Lapangan: Hakim Perempuan dan Sentuhan Kemanusiaan
Pengalaman Penulis yang pertama kali berkecimpung dalam dunia peradilan, ketika Penulis ditempatkan di Pengadilan Agama Martapura (di bawah wilayah PTA Palembang), sebagai CPNS Analis Perkara Peradilan.
Sejak awal, Penulis disambut hangat oleh Syarifah Aini, S.Ag., M.H.I yang saat itu menjabat sebagai Ketua Pengadilan Agama Martapura.
Beliau merupakan sosok figur pemimpin yang tegas namun empatik, sebuah kombinasi yang jarang, tetapi justru menunjukkan bagaimana ketegasan dapat dirajut dengan kelembutan dalam praktik kepemimpinan yang berkeadilan.
Kemudian, seiring berjalannya waktu saat pelantikan PNS, Penulis kembali merasakan semangat serupa dari Yunizar Hidayati, S.H.I., Ketua Pengadilan Agama Martapura, yang dikenal tangguh dan penuh motivasi.
Kehadiran beliau adalah ketidakmungkinan yang menjadi mungkin, bahwa kepemimpinan perempuan yang menaungi rekan-rekan Hakim yang semuanya laki-laki. Tetapi, juga menjadi bukti bahwa warna baru dalam cara hukum dijalankan lebih penuh empati dan menggerakkan.
Beralih pada saat Penulis mengikuti seleksi calon hakim, Penulis kembali berjumpa dengan salah satu sosok perempuan hebat yang menjadi penguji dalam tahap wawancara yaitu, Dr. Latifah Setyawati, S.H., M.Hum.
Kalimat beliau di akhir sesi masih terpatri dalam ingatan: “Semoga kita bertemu nanti di kelas.” Bagi penulis, itu bukan sekadar ungkapan motivasi, melainkan bentuk nyata dukungan dan solidaritas perempuan dalam menapaki jalan panjang pada dunia Peradilan.
Doa itu pun terwujud dengan manis, ketika Penulis akhirnya bertemu kembali dengan beliau di ruang kelas Diklat Program Pendidikan Calon Hakim Terpadu, sebuah pertemuan yang terasa seperti siklus pembelajaran dan penguatan antar perempuan yang berjuang di jalur yang sama.
Selanjutnya, waktu terus berjalan mempertemukan banyak hal dan pelajaran. Selama masa pendidikan hakim, Penulis kembali beruntung dikelilingi figur-figur perempuan inspiratif.
Pada masa magang di Pengadilan Agama Jakarta Barat, Penulis dibimbing oleh Dra. Hj. Sahriyah, S., M.Si., satu-satunya hakim perempuan di Pengadilan tersebut.
Dengan keteduhan, kebijaksanaan, dan kecerdasannya, beliau menjadi teladan nyata bagaimana kelembutan bukan kelemahan, melainkan sumber kekuatan moral dalam memutus dan menimbang perkara yang menyangkut kehidupan manusia.
Pengadilan tersebut juga pernah menjadi “rumah” bagi sosok hebat Dra. Hj. Muhayah, S.H., M.H. yang sekarang berada pada puncak bersinarnya karir dan pengabdian di Mahkamah Agung.
Fotonya yang memperlihatkan sorot bijak, namun damai terpanjang sejajar dengan para Ketua Pengadilan Agama Jakarta Barat yang didominasi oleh laki-laki pada masanya.
Potret tersebut, bagaikan simbol bahwa kebijaksanaan dan kepemimpinan tidak ditentukan oleh gender tapi oleh integritas, empati dan pengabdian.
Selanjutnya, saat Penulis genap menyelesaikan tahapan Pendidikan dan Pelatihan Calon Hakim Terpadu, Penulis dilantik oleh Dwi Husna Sari, S.H.I., Ketua Pengadilan Agama Pagar Alam saat itu, seorang pemimpin yang suportif dan penuh semangat.
Beliau selalu menekankan bahwa perempuan tidak hanya mampu hadir dalam ruang keadilan, melainkan juga dapat menjadi wajah keadilan itu sendiri, wajah yang tidak hanya rasional, tetapi juga penuh kepedulian.
Refleksi dan pengalaman para hakim perempuan tersebut sejalan dengan kerangka konkret “ethics of care” yang telah disinggung pada sub bab di atas.
Penulis yakin sekali masih banyak Hakim Perempuan yang dapat menginspirasi Hakim Perempuan lainnya di belahan wilayah Indonesia, yang menegakkan hukum tidak hanya sebagai instrumen normatif. Tetapi, sebagai ruang kemanusiaan, tempat keadilan dihidupkan melalui empati, kepedulian, dan kemampuan untuk mendengarkan.
Penutup: Keadilan yang Merawat
Mahkamah Agung Republik Indonesia telah menunjukkan wajah lembaga yang semakin inklusif dan berpihak pada kesetaraan. Dukungan Mahkamah Agung juga tampak nyata dari berbagai inisiatif.
Salah satunya dengan pembentukan Badan Perhimpunan Hakim Perempuan Indonesia (BPHPI) dalam rangka meningkatkan peran kepemimpinan hakim perempuan di Pengadilan.
Keadilan sering digambarkan dengan sosok perempuan bertutup mata memegang pedang dan timbangan, simbol netralitas dan ketegasan.
Namun, penutup mata itu bukan kebutaan apalagi untuk menolak empati, melainkan agar ia bisa melihat dengan hati. Keadilan yang feminin, bukanlah keadilan yang rapuh, tetapi keadilan yang menghidupkan.
Penguatan peran perempuan dalam Peradilan tidak dimaksudkan sebagai penggantian terhadap laki-laki melainkan menggenapkan dan melengkapi.
Pada akhirnya, Hakim perempuan dan Hakim laki-laki memiliki peluang yang sama untuk bersinar, berkarya serta memberikan kontribusi dalam lembaga peradilan.
Kolaborasi etis antara Hakim laki-laki dan Hakim perempuan akan mewujudkan hukum yang berkeadilan, bermartabat dan berperikemanusiaan.