Belum lama ini, Presiden Prabowo Subianto menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2025 tentang Justice Collaborator (JC), yang berisi pengaturan keistimewaan bagi pelaku kejahatan yang bersedia bekerja sama dengan penegak hukum.
Keistimewaan ini berupa keringanan hukuman hingga pembebasan bersyarat. Meskipun langkah ini bertujuan untuk mendukung efektivitas pemberantasan kejahatan, muncul berbagai pro dan kontra, terutama dari sudut pandang yuridis dan konstitusional.
Dalam konteks sistem hukum Indonesia, posisi Mahkamah Agung (MA) sebagai lembaga yudikatif tertinggi memiliki peran penting dalam menjaga independensi kekuasaan kehakiman. Oleh karena itu, ketika presiden yang merupakan bagian dari eksekutif menerbitkan peraturan yang bersinggungan langsung dengan proses peradilan, tentu hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai batas kewenangannya.
Beberapa ahli hukum menyatakan, pengaturan mengenai justice collaborator seharusnya cukup diatur dalam undang-undang, bukan dalam peraturan pemerintah, karena menyangkut teknis peradilan dan perlindungan terhadap saksi pelaku. Mahkamah Agung harus menyikapi ini dengan bijak, bukan dalam posisi frontal, namun dengan pendekatan yuridis melalui fatwa hukum atau tafsir resmi atas UU Perlindungan Saksi dan Korban yang telah ada.
Bagi para hakim, situasi ini menjadi pengingat bahwa kewenangan yudisial harus tetap berpijak pada prinsip independensi. Setiap permohonan status JC dari terdakwa harus ditelaah secara objektif berdasarkan dua aspek penting: kontribusi nyata terhadap pengungkapan perkara, serta ketulusan dalam bekerja sama tanpa ada itikad menyelamatkan diri semata.
Saran terbaik ke depan adalah mendorong sinkronisasi antarlembaga. Pemerintah, DPR, dan MA perlu duduk bersama menyusun regulasi yang tidak saling tumpang tindih atau menimbulkan multitafsir. Dengan demikian, proses peradilan dapat berjalan lebih efektif, efisien, dan tetap berada dalam koridor hukum yang menjunjung tinggi keadilan dan independensi lembaga peradilan.
Dalam praktiknya, justice collaborator telah terbukti membantu pengungkapan berbagai kasus besar, seperti korupsi dan tindak pidana terorganisir lainnya. Namun perlu dipahami, pemberian keistimewaan kepada pelaku kejahatan harus melalui pengawasan ketat agar tidak disalahgunakan. Dalam hal ini, peran pengawasan internal di lembaga peradilan menjadi sangat penting.
Selain itu, Mahkamah Agung juga dapat mempertimbangkan penerbitan Surat Edaran MA (SEMA) sebagai panduan bagi hakim dalam menilai dan memutuskan perkara yang melibatkan justice collaborator.
Langkah semacam ini akan membantu menjaga keseragaman penerapan hukum sekaligus memberikan kepastian hukum kepada para pencari keadilan. Hakim tetap diberi ruang diskresi, namun dalam kerangka prinsip yang jelas dan akuntabel. Di sisi lain, partisipasi masyarakat sipil, akademisi, serta media dalam memantau pelaksanaan peraturan ini juga menjadi kunci penting agar transparansi dan akuntabilitas tetap terjaga.