“For there is a ‘common good’ for human beings, inasmuch as life, knowledge, play, aesthetic experience, friendship, religion, and freedom in practical reasonableness are good for any and every person.” – John Finnis (Natural Law and Natural Rights).
Keputusan yang keliru dalam mendulang laba dan sekaligus menuai ketidakadilan dapat kita lihat dalam mitos raja Midas.
Dalam legenda Yunani ini, dikisahkan tentang dewa teriantropik (setengah hewan setengah manusia) bernama Silenus yang bersedia mengabulkan satu permintaan apapun kepada Midas, seorang raja kerajaan kecil yang berasal dari Frigia (Phrygia), di Asia Minor (wilayah Turki modern).
Midas meminta agar ia mampu mengubah apapun yang ia sentuh menjadi emas. Tanpa memahami peringatan Silenus tentang betapa berbahayanya permintaan tersebut, Midas perlahan menyadari bahwa kemampuan barunya lebih merupakan kutukan, dan bukan kesempatan. Ia malah mengubah seisi istana dan bahkan makanannya menjadi emas.
Di akhir cerita Midas menyadari bahwa ia telah melakukan sebuah kesalahan fatal, karena ia tidak mungkin menjalani kehidupan di antara bongkahan emas (Britannica, 17 Oktober 2025).
Filsuf hukum John Finnis mengajukan satu gagasan penting tentang hukum dan naturalisme dalam Natural Law and Natural Rights: “common goods”, atau kira-kira dapat diterjemahkan sebagai “kebermanfaatan bersama”.
Kebermanfaatan bersama bagi Finnis adalah tujuh dimensi yang pada hakikatnya merupakan hak setiap manusia, yaitu: kehidupan (life), pengetahuan (knowledge), waktu luang (play), pengalaman estetik (aesthetic experience), kehidupan sosial (sociability), rasionalitas praktis (practical reasonableness), dan agama (religion) (Finnis, 86-90).
Dalam garis pemikiran Finnis, setiap gangguan terhadap ketujuh elemen tersebut berarti reduksi terhadap kualitas hidup manusia. Seperti yang kita lihat dalam legenda raja Midas yang menyentuh apapun menjadi emas, sosok sang raja pada dasarnya sudah kehilangan akses ke common goods yang diajukan Finnis.
Sisi Lukratif Tanaman Ekuatorial Produktif
Varian kelapa sawit (Elaeis guineensis) yang sekarang kelasnya naik menjadi salah satu produk pertanian yang paling lukratif (menguntungkan) disilangkan pada abad ke-19, sekitar tahun 1848.
Tanaman ini membutuhkan kondisi tertentu untuk tumbuh optimal, sehingga sebenarnya tidak semua negara memenuhi syarat untuk dijadikan perkebunan sawit.
Di Asia Tenggara misalnya, Indonesia dan Malaysia memenuhi syarat untuk menjadi produsen sawit karena iklimnya memungkinkan tanaman mendapatkan curah hujan 2000 hingga 3000 milimeter setiap tahunnya, kelembaban di atas 75%, rentang suhu permukaan 24-28 derajat Celsius, dan radiasi sinar matahari sekitar 16 hingga 17 mega Joule per hari, atau setara dengan energi yang dibutuhkan untuk memanaskan 45 liter air (Soh, Mayes & Roberts, 2017:8-11).
Dengan kata lain, sebenarnya tidak mudah untuk mengelola perkebunan sawit karena membutuhkan unsur hara dan elemen-elemen pendukung lainnya. Namun di balik kesulitan tersebut, ada laba signifikan yang mungkin didapat dari komoditas ini.
Menurut pengkaji industri sawit Hereward Corley (2017:397-399), setiap pohon sawit dapat menghasilkan sekitar delapan hingga sembilan ton minyak (palm oil) per tahun, atau setara dengan 80 dolar Amerika Serikat. Bila kerapatan pohon per hektar tinggi (sekitar 175 pohon untuk setiap hektarnya), kebun seluas lapangan bola akan berisi sekitar 125 pohon, dan itu berarti dapat menghasilkan sekitar Rp160 juta per tahunnya.
Setiap hektar dapat memuat kurang lebih 140 lapangan bola, sehingga dalam area seluas satu kilometer kali satu kilometer, kita dapat mengkalkulasi hasil penjualan bruto sekitar Rp22 miliar setiap tahun, dengan catatan harga jual berada di kisaran 900 dolar AS per ton.
Dengan data dari United States Department of Agriculture (USDA), kita dapat pula memperkirakan bahwa sebagai komoditas, berbisnis sawit enam kali lebih menguntungkan daripada berjualan beras (USDA, Foreign Agricultural Service, 2025).
Deforestasi Sawit dan Delusi Ketahanan Ekologis
Lepas dari tantangan dalam mengelola tanaman dan keuntungan yang didapat, sawit adalah tanaman penuh polemik. Dengan kata lain, negara yang menganggap bahwa perkebunan sawit sejalan dengan upaya pelestarian lingkungan berpijak di atas standar ganda.
Analisis pakar statistik dari Our World in Data, Hannah Ritchie, mencatat bahwa perkebunan kelapa sawit adalah penyebab dari deforestrasi. Memang, tanaman ini sangat efektif karena hanya mempergunakan 8,6% dari total lahan global untuk menghasilkan 36% dari total minyak goreng dunia, bandingkan dengan minyak kedelai yang menghabiskan lahan 39% untuk mendapatkan 25,5% minyak.
Namun demikian, di Malaysia, misalnya, lahan yang dipergunakan sebagai areal perkebunan sawit sekarang 75%-nya masih berupa hutan pada 1973, dan 60% dari laju alih fungsi hutan tropis saat ini di negara itu disebabkan oleh pohon sawit (Ritchie, 2021).
Bila negara ini hendak mengambil bagian dalam kerja sama global untuk menyelesaikan krisis iklim, mengintensifkan industri sawit sembari mengampanyekan pelestarian lingkungan, upaya ini dapat diibaratkan seperti berharap mobil bisa berhenti sembari menginjak pedal gas sedalam mungkin pada saat yang bersamaan.
Perkebunan sawit, yang biasanya melibatkan masa penggunaan lahan selama 25 hingga 30 tahun, akan mereduksi unsur hara di dalam tanah dan menghancurkan pori-pori makro (macrophore) yang berfungsi membuat tanah bisa menyerap air hujan.
Sebagai tanaman monokultur, tanaman kelapa sawit pada dasarnya bersifat destruktif terhadap kualitas tanah, atau dengan kata lain, menghancurkan daya dukung tanah terhadap keseluruhan ekosistem.
Penelitian dari Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS) salah satunya memberikan catatan berikut ini: “The development of plantations takes place by clearing land of natural vegetation of “logged over” areas, secondary forests, and often primary tropical rainforests that are rich in biodiversity” (Pembangunan perkebunan dilakukan dengan membersihkan lahan dari vegetasi alaminya, mulai dari area bekas pembalakan, hutan sekunder, dan sering kali juga hutan hujan tropis primer yang kaya akan keanekaragaman hayati).
Lebih lanjut dikatakan pula bahwa “The mechanized process of plantation development destroys natural structures of soil and its morphology through decomposition, compaction, and sedimentation, which not only pollutes nearby watercourses and river habitats, but also emits huge amounts of stored carbon into the air and alters if not destroys sources of surface and ground water” (Proses pembangunan perkebunan yang bersifat mekanis menghancurkan struktur alami tanah dan morfologinya melalui dekomposisi, pemadatan, dan sedimentasi, yang tidak hanya mencemari aliran air serta habitat sungai di sekitarnya, tetapi juga melepaskan sejumlah besar karbon tersimpan ke udara serta mengubah, bahkan menghancurkan, sumber air permukaan dan air tanah) (Jiwan, 2013:59).
Dengan demikian, banjir dan kekeringan dapat disebabkan oleh keberadaan perkebunan kelapa sawit.
Krisis Ekologis, Kewajiban Negara, dan Tantangan Etika Sawit
Saat ini, bencana ekologis sudah masuk dalam skala transnasional dan internasional. Negara dituntut untuk lebih aktif dalam mencegah bencana dan tidak lagi hanya melakukan tindakan untuk meringankan penderitaan korban.
Salah satu bentuk desakan masyarakat dapat dilihat dalam kasus Urgenda Foundation v. The State of the Netherlands, C/09/456689/HA ZA 13-1396. Dalam gugatan class action ini, di Pengadilan Distrik Den Haag (District Court of The Hague) pada 24 Juni 2015 organisasi aktivis lingkungan Urgenda bersama 886 warga mengajukan gugatan terhadap pemerintah Belanda karena dianggap lalai mengambil langkah yang memadai untuk mencegah dampak perubahan iklim.
Pengadilan memutuskan bahwa kebijakan emisi yang ada saat itu tidak cukup untuk melindungi warga negara dari risiko bencana iklim global.
Putusan tersebut memerintahkan pemerintah Belanda untuk menurunkan emisi gas rumah kaca minimal 25% dari tingkat emisi 1990, dan paling lambat sudah harus direalisasi sebelum 2020 (District Court of The Hague, 24 Juni 2015).
Keputusan ini menjadi salah satu tonggak global aktivisme ekologis karena untuk pertama kalinya sebuah pengadilan nasional mewajibkan pemerintahnya untuk bertindak proaktif untuk mencegah, atau setidaknya mengurangi dampak destruktif dari bencana iklim.
Dengan demikian, paradoks lukratif sawit menunjukkan bahwa laba berlipat diraih diperoleh dengan cara mengorbankan sendi-sendi kehidupan yang sifatnya fundamental. Seperti yang dikatakan Finnis, setiap tindakan yang secara sistematis mereduksi atau merusak kehidupan, kesehatan lingkungan, kehidupan sosial, dan kemampuan bertindak rasional, adalah pelanggaran terhadap common goods.
Ekspansi perkebunan sawit yang mendorong deforestasi, pengeringan gambut, degradasi tanah, dan perubahan struktur hidrologi tanah memenuhi kriteria pelanggaran semacam itu. Keuntungan moneter jangka pendek tidak dapat membenarkan rusaknya kondisi-kondisi yang memungkinkan keberlangsungan dan keberlanjutan kehidupan masyarakat.
Praktik semacam itu juga melanggar tuntutan rasionalitas praktis, karena memaksakan preferensi sekelompok pihak atas kesejahteraan mayoritas.
Oleh karena itu, kebijakan pembangunan harus diarahkan ulang: menghentikan konversi lahan hutan alami, menegakkan perlindungan gambut dan cekungan air, memperkuat hak-hak komunitas lokal, serta mengarahkan insentif ekonomi kepada model produksi yang memulihkan, bukan merusak, pilar ekologis.
Hanya dengan menempatkan kebermanfaatan bersama sebagai landasan normatif dan operasional kebijakan, pembangunan sektor agribisnis seperti sawit dapat diarahkan menuju keadilan sosio-ekologis.