Waktu tak terasa bergulir, membawa kita telah melewati penghujung Dzulhijjah 1446 Hijriyah. kita menyambut Muharram 1447 Hijriyah, bulan pertama dalam kalender Islam. Namun, Muharram bukan sekadar penanda tahun baru.
Bulan ini adalah momen refleksi mendalam atas perjalanan hijrah Rasulullah SAW dari Mekkah ke Madinah. Peristiwa monumental itu sarat makna perubahan: dari tekanan menuju kemerdekaan, dari ketertindasan menuju kebebasan, dari kegelapan menuju cahaya.
Semangat perubahan inilah yang tak pernah padam. Bagi kita hari ini, hijrah adalah sebuah pelajaran hidup; bagaimana kita harus terus memperbaiki diri, berhijrah dari akhlak buruk menuju mulia, dari sifat lalai menuju kesungguhan, dan dari kemaksiatan menuju amal saleh.
Namun, ada satu bentuk hijrah batin yang paling esensial: menjadi pribadi berintegritas.
Apa itu integritas? Ia adalah kejujuran yang menyatu dalam setiap perilaku, sebuah keselarasan sempurna antara hati, lisan, dan tindakan. Ini adalah karakteristik sejati seorang mukmin, yang tetap memegang amanah bahkan saat tak ada yang mengawasi.
Al-Qur'an surah At-Taubah ayat 119 dengan tegas memerintahkan kita untuk menjadi bagian dari orang-orang yang jujur dan berintegritas. Rasulullah SAW sendiri menjadi teladan sempurna, dianugerahi gelar Al-Amin (yang terpercaya), bukti nyata dari integritas dan kejujuran yang melekat pada akhlak luhur beliau. Tanpa integritas, sungguh, setinggi apapun ilmu yang kita miliki atau jabatan yang kita sandang, semuanya akan kehilangan makna dan nilai. Ini adalah fondasi yang tak tergantikan.
Terlebih lagi bagi mereka yang mengemban amanah di bidang hukum, seperti hakim, jaksa, atau aparat penegak hukum lainnya, integritas bukanlah sekadar nilai tambahan, melainkan nafas dalam menjalankan tugas. Tanpa integritas, keadilan takkan pernah dapat ditegakkan. Seorang hakim yang berintegritas akan merasakan ketakutan untuk mengambil keputusan yang menyimpang dan zalim. Kesadaran bahwa setiap putusannya tidak hanya berdampak di dunia, tetapi juga akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat, menjadi rem yang kuat.
Memaknai Hijrah dalam Mutasi Hakim: Niat dan Pengabdian
Setiap kali Muharram tiba, umat Islam di Indonesia memperingatinya sebagai Tahun Baru Hijriah, menginjak 1447 Hijriyah tahun ini. Kalender Islam ini ditetapkan di bawah kepemimpinan Khalifah Umar ibnul Khattab, dengan peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah sebagai permulaannya.
Peristiwa hijrah Nabi mengandung makna dan keteladanan yang luar biasa: kekokohan memegang prinsip, ketegaran mempertahankan akidah, dan kegigihan memperjuangkan kebenaran. Hijrah bukanlah bentuk kekalahan, melainkan strategi untuk meraih kemenangan yang mengubah peradaban. Ia adalah perwujudan perlawanan terhadap kebatilan dan konsistensi mengedepankan misi kebenaran serta keumatan di atas kepentingan pribadi.
Dalam konteks peradilan modern, seorang hakim juga mengalami 'hijrah' dalam bentuk promosi dan mutasi tugas. Ini adalah bagian dari kontrak mereka dengan negara untuk bersedia ditempatkan di seluruh wilayah Indonesia. Sebagaimana para sahabat Nabi yang berhijrah dengan beragam niat, ada pula hakim yang menjalani mutasi dengan niat dan tujuan yang berbeda-beda, selaras dengan sabda Nabi SAW bahwa setiap perbuatan dinilai dari niatnya.
Melalui penguatan integritas, seorang hakim sejatinya telah menjadikan profesinya sebagai ladang pahala. Setiap ijtihad, putusan, dan keadilan yang dijatuhkan akan tercatat sebagai kebaikan di sisi Allah SWT.
Oleh karena itu, mari manfaatkan momentum tahun baru Hijriyah ini sebagai titik tolak untuk berbenah dan muhasabah diri. Kita mantapkan niat dan usaha menjadi pribadi berintegritas, aparatur hukum yang jujur dalam berkata, adil dalam memutuskan, dan amanah dalam menjalankan tanggung jawab. Inilah semangat hijrah yang sesungguhnya.