Nomokrasi dan Demokrasi Sebagai Jalan Perwujudan Cita-Cita Republik

Para pendiri bangsa kita (the founding fathers) berdiskusi dan berdialektika untuk merumuskan bagaimana negara dijalankan.
Ilustrasi dmeokrasi. Foto : Freepik.com
Ilustrasi dmeokrasi. Foto : Freepik.com

“Cita-cita luhur dari suatu Republik, contohnya Indonesia yang tertuang dalam pembukaan konstitusinya akan tercapai apabila dalam prosesnya nomokrasi dan demokrasi dapat berjalan saling beriringan dan saling mengisi satu sama lain”

Para pendiri bangsa kita (the founding fathers) berdiskusi dan berdialektika untuk merumuskan bagaimana negara dijalankan. 

Cita-cita dan gagasan tersebut kemudian membawa kepada konsep Republik, bahwa negara akan dijalankan dengan mengedepankan daulat rakyat, bukan dengan suatu garis keturunan bangsawan (monarki). Republik kemudian berdiri dengan membawa ide dan cita-cita akan suatu masyarakat yang merdeka.

Cita-cita luhur tersebut dituangkan dalam pembukaan konstitusi, sebagai pengingat dan penjaga agar ketika kekuasaan nantinya semakin jauh dari cita-cita luhur, dapat ditarik kembali sesuai dengan kodratnya. 

Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia (to protect), memajukan kesejahteraan umum (to advance), mencerdaskan kehidupan bangsa (to educate), serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial (to participate) menjadi hal-hal prinsip yang mendasari apa dan bagaimana cara-cara kekuasaan dijalankan.

Hukum beserta dengan perangkat dan strukturnya akan mengikuti norma dasar (grundnorm) sehingga kemudian Hans Kelsen dengan teori hukum berjenjang (stufenbau) menggambarkan suatu sistem hukum sebagai sebuah sistem norma yang saling terkait satu sama lain (interlocking norms) yang bergerak dari suatu norma yang umum (the most general ought) menuju ke norma yang lebih konkret (the most particular or concrete) (Somardi: 2007).

Dalam perkembangannya, Hans Nawiawsky kemudian mengemukakan pendapatnya tentang theorie von stufenfbau der rechtsordnung yang pada hakikatnya terjadi pengelompokan norma hukum dalam negara, yakni mencakup norma fundamental negara (staatsfundementalnorm), aturan dasar negara (staatsgrundgesetz), undang-undang formal (formalle gesetz), dan Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom (verordnung en outonome satzung) (Maria Farida: 2010).

Nomokrasi dan Demokrasi yang Berjalan Secara Harmonis

Dalam negara hukum, hukum merupakan norma (pedoman) tertinggi, inilah yang menyebabkan timbulnya istilah nomokrasi (nomocracy) yang berasal dari kata ‘nomos’ yang berarti norma dan ‘cratos´ yang berarti kekuasaan, sehingga yang menjadi faktor penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau hukum (Asshiddiqie: 2006).

Sedangkan demokrasi (democracy) merupakan suatu bentuk perwujudan kedaulatan rakyat. Demokrasi yang berjalan tanpa kedaulatan hukum akibatnya bisa terjadi chaos dan kesewenang-wenanganan. 

Sebaliknya, hukum tanpa demokrasi dapat menyebabkan hukum sebagai ‘alat pukul’ bagi penguasa.

Pada sejarah perjalanannya, seringkali suatu negara terkekang pada sifat otoritarianisme karena menganggap hukum sebagai satu-satunya aturan main, tanpa diimbangi demokrasi, sehingga hukum disalahartikan dan disalahgunakan hanya sebagai alat pemukul dari kekuasaan itu sendiri.

Begitu pula sebaliknya, jika demokrasi terlalu dibiarkan bebas tanpa aturan hukum yang jelas, atau bahkan aturan hukum dipermainkan demi kepentingan segelintir elit politik, maka yang terjadi adalah demokrasi menjadi kebablasan dan liar tanpa aturan hukum. Sehingga yang terjadi adalah menurunkan kualitas dari demokrasi itu sendiri.

Penutup

Cita-cita luhur dari suatu Republik, contohnya Indonesia yang tertuang dalam pembukaan konstitusinya akan tercapai apabila dalam prosesnya nomokrasi dan demokrasi dapat berjalan saling beriringan dan saling mengisi satu sama lain. 

Gagasan awal pendiri bangsa bahwa Republik didirikan semula untuk memerdekakan dan mensejahterakan rakyat, tentunya dalam bentuk konkret harus dilakukan dengan pemahaman nomokrasi dan demokrasi yang harmonis. 

Dengan penghargaan terhadap hukum sebagai pedoman tertinggi, diimbangi dengan proses demokrasi yang berkualitas, akan menimbulkan suatu kondisi negara yang paham akan arah dan tujuan cita-citanya. 

Cita-cita akan mengapa Republik didirikan harus selalu diingat, agar kita semua tidak kehilangan arah, baik dalam proses penyelenggaraan negara ataupun berkehidupan bermasyarakat.

Referensi

Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, 2006);
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Teori Umum Hukum dan Negara, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif Empirik, Terjemahan Somardi, (Jakarta: BEE Media Indonesia, 2007);
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan : Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan (Yogyakarta:Kanisius; 2010)

Penulis: Heri Setiawan, Hakim Pengadilan Negeri Palopo

Penulis: Heri Setiawan
Editor: Tim MariNews