Menelusuri Jejak Adagium Vox Populi Vox Dei dan Tantangan Populisme Yudisial

Banyak orang mengira kalimat ini adalah pujian untuk rakyat, padahal beberapa referensi menunjukkan sebaliknya.
Ilustrasi vox populi vox dei. Foto : Freepik
Ilustrasi vox populi vox dei. Foto : Freepik

Ungkapan vox populi vox dei atau “suara rakyat adalah suara Tuhan”, merupakan salah satu istilah paling populer dalam dunia hukum dan politik. 

Begitu juga saat kita menjadi mahasiswa menggunakan ungkapan tersebut dalam suasana memperjuangkan suatu hal. 

Akan tetapi, ungkapan itu seringkali disala pahami. Banyak orang menganggap ungkapan tersebut sebagai pembenaran mutlak bahwa apapun keinginan mayoritas masyarakat pasti benar dan selayaknya sabda Tuhan. 

Padahal, apabila kita pikirkan kembali secara mendalam, ungkapan ini menyimpan pertanyaan besar dan kompleks: bagaimana mungkin suara manusia yang bisa saja salah dan penuh emosi disetarakan dengan suara Tuhan yang maha benar? 

Untuk memahami arti sebenarnya, kita perlu melihat dan menelusuri sejarah dari adagium vox populi vox dei. Banyak orang mengira kalimat ini adalah pujian untuk rakyat, padahal beberapa referensi menunjukkan sebaliknya. 

Pada 798 Masehi, seorang cendekiawan bernama Alcuin of York menulis surat kepada Kaisar Charlemagne. Dalam surat itu, Alcuin justru memperingatkan kaisar agar tidak mendengarkan orang-orang yang berkata, “suara rakyat adalah suara Tuhan”. 

Alasannya sangat tegas, menurut Alcuin, kegaduhan kerumunan massa saat itu sangat dekat dengan hal irasional, bukan kebijaksanaan. 

Pada masa itu, rakyat yang berkumpul tanpa aturan dianggap emosional dan tidak berpendidikan, sehingga suara mereka dianggap jauh dari sifat-sifat Tuhan yang maha bijaksana.

Makna kalimat ini berubah secara menyeluruh pada abad-abad setelahnya, tepatnya pada era Aufklarung atau era pencerahan (abad ke-17 dan 18). Pada masa ini, orang-orang tidak percaya lagi bahwa raja memiliki hak suci dari Tuhan untuk berkuasa semena-mena. 

Para pemikir atau filsuf seperti John Locke mencari landasan baru. Di sinilah makna “Tuhan” mulai bergeser. “Tuhan” tidak lagi diartikan secara harfiah sebagai sosok religius semata, melainkan sebagai simbol “kebenaran tertinggi” atau “keadilan”. 

Sehingga, kebenaran hukum tidak lagi turun dari raja, tetapi ada pada hati nurani masyarakat luas. Rakyat berubah statusnya, dari tadinya hanya bawahan yang harus patuh, menjadi pemegang kekuasaan tertinggi dalam negara.

Meskipun rakyat sudah dianggap memegang kekuasaan, namun dalam ranah filsafat hukum tetap muncul pertanyaan: apakah setiap teriakan orang banyak itu pasti dianggap benar? 

Seorang filsuf Prancis bernama Jean-Jacques Rousseau, memberikan jawaban yang menarik. Ia membedakan antara “kehendak semua orang” (sekedar gabungan keinginan pribadi masing-masing individu) dengan “kehendak umum” (keinginan luhur untuk kepentingan bersama). 

Menurut Rousseau, suara rakyat baru bisa dianggap suci seperti “suara Tuhan” jika suara itu murni bertujuan untuk kebaikan bersama, bukan karena egoisme atau emosional semata. Tanpa syarat ini, suara rakyat hanyalah kebisingan yang tidak bernilai. 

Hal ini senada dengan pemikiran Yunani Kuno yang membedakan rakyat yang berpikir jernih (demos) dengan gerombolan yang mengamuk (ochlos) yang diartikan bahwa hukum yang baik harus lahir dari pemikiran jernih, bukan dari amarah.

Dalam peran konstitusi, apabila kita terlalu memuja suara rakyat tanpa batasan, kita akan menghadapi bahaya yang disebut “tirani mayoritas”. 

Bayangkan jika mayoritas orang bersepakat untuk menindas kelompok minoritas, apakah itu bisa disebut kebenaran hanya karena didukung banyak orang? Tentu tidak. 

Dalam hukum, kebenaran tidak ditentukan oleh berapa banyak orang yang berteriak, tapi apakah teriakan itu sesuai dengan rasa adil. Karena itulah, negara hukum modern menciptakan konstitusi atau Undang-Undang Dasar. 

Fungsi konstitusi ibarat tali pengikat yang menjaga agar suara rakyat tidak “liar”. Konstitusi memastikan bahwa meskipun rakyat berkuasa, mereka tidak boleh melanggar hak asasi manusia. 

Jadi, dalam negara demokrasi, rakyat adalah rajanya, namun konstitusi adalah mahkota yang membatasi agar sang raja tidak bertindak semena-mena.

Zaman sekarang, tantangan terhadap prinsip ini semakin berat karena adanya media sosial. Suara rakyat bergema sangat cepat dan keras secara online atau daring, namun sering kali bercampur dengan berita bohong atau hoaks. 

Sering terjadi fenomena di mana penegak hukum ditekan oleh massa di media sosial untuk memutuskan perkara sesuai keinginan netizen, bukan sesuai fakta hukum. 

Jika hukum tunduk pada apa yang sedang “viral”, maka keadilan sedang dalam bahaya. Kita kembali pada peringatan Alcuin bahwa kegaduhan yang dekat dengan kegilaan.

Di tengah badai tekanan massa dan viralitas tersebut, peran hakim menjadi sangat krusial sebagai benteng terakhir keadilan. 

Dalam filsafat hukum, hakim memegang prinsip kemerdekaan kekuasaan kehakiman (judicial independence). Artinya, ruang sidang harus menjadi tempat yang “sunyi” dari kebisingan sorak-sorak publik di luar. 

Hakim dituntut untuk memegang adagium lain seperti “fiat justitia ruat caelum”, hendaklah keadilan ditegakkan, walaupun langit akan runtuh. Langit yang runtuh di sini bisa dimaknai sebagai amarah massa atau tekanan publik yang kecewa karena putusan tidak sesuai keinginan mereka.

Hakim tidak boleh sekedar menjadi “corong masyarakat” yang mengamini apa yang sedang tren. Hakim harus mampu membedakan antara “suara rakyat yang sesungguhnya” (rasa keadilan masyarakat yang mendalam) dengan “suara kerumunan sesaat” (emosi massa yang dipicu oleh informasi yang belum tentu benar).

Jika hakim takut pada tekanan massa dan memutus perkara hanya untuk menyenangkan publik (populisme yudisial), maka hakim telah gagal menjadi wakil Tuhan di muka bumi. Integritas hakim diuji justru ketika ia berani mengambil keputusan yang tidak populer, demi mempertahankan kebenaran hukum dan fakta yang terbukti di persidangan.

Secara kesimpulan, ungkapan Vox Populi Vox Dei tidak boleh ditelan mentah-mentah. Kalimat ini adalah pengingat bahwa sumber kekuasaan memang berasal dari rakyat, tetapi ia memiliki dua sisi mata uang. 

Di satu sisi, suara rakyat bisa menjadi keadilan yang suci jika digerakkan oleh hati nurani dan akal sehat. Namun disisi lain, ia bisa menjadi bencana jika digerakkan oleh kebencian dan hasutan. 

Tugas hukum dan Hakim sebagai penjaganya, adalah memastikan agar suara rakyat tetap berada di jalur yang beradab, sehingga benar-benar layak disandingkan dengan suara Tuhan.

Referensi

[1] Alcuin of York. (Circa 798 M). Epistolae. https://upload.wikimedia.org/wikipedia/ commons/2/26/Alcuin_of_York._Lectures_delivered_in_the_cathedral_church_of_Bristol_in_1907_and_1908_%28IA_alcuinofyorklect00brow%29.pdf
[2] Asshiddiqie, Jimly. (2010). Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
[3] Latif, Yudi. (2011). Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
[4] Locke, John. (1988). Two Treatises of Government. Cambridge: Cambridge University Press.
[5] Rousseau, Jean-Jacques. (2002). The Social Contract. New York: Dover Publications. 
[6] Tocqueville, Alexis de. (2000). Democracy in America. Chicago: University of Chicago Press. 
[7] Mertokusumo, Sudikno. (2009). Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka.

Penulis: Rafi Muhammad Ave
Editor: Tim MariNews