Makna Korupsi di Era Peradilan Islam: Bukan Sekadar Uang, Tapi Jiwa Keadilan (Artikel Ini Ditulis Sebagai Refleksi Hari Anti Korupsi Sedunia 9 Desember 2025)

Masalah korupsi di era peradilan Islam bukan bukti kegagalan nilai Islam, melainkan bukti kesadaran bahwa keadilan hanya akan tegak jika nilai Integritas dan moral dijaga oleh sistem yang adil dan manusiawi.
Ilustrasi suap di era peradilan islam. Foto : Ilustrasi
Ilustrasi suap di era peradilan islam. Foto : Ilustrasi

Dalam sejarah peradilan Islam, korupsi adalah tragedi yang dilihat sebagai penyakit jiwa dan kegagalan karakter, jauh sebelum dilihat sebagai kejahatan ekonomi. 

Ini adalah pengingat abadi, kekuatan integritas moral seorang pemimpin keadilan jauh lebih penting dan jauh lebih rentan daripada kekuatan fisiknya. 

Intinya mereka sadar, hukum bisa saja salah, tapi hati dan fikiran yang lurus harus selalu menjadi kompas. Ketika hati itu retak, seluruh pondasi peradilan ikut ambruk. 

Sejak awal peradaban Islam berdiri, para pemimpinnya selalu mengingatkan, jabatan hakim (qāḍī) itu bukan cuma kursi kekuasaan, tapi kursi panas yang penuh godaan. 

Mereka melihatnya sebagai amanah langsung dari Allah.karena, diberi titipan tugas paling suci di dunia menegakkan keadilan di antara manusia. 

Tentu saja, godaannya super berat. Kenapa korupsi dipandang sebagai ancaman paling berbahaya? 

Bukan karena hakim terima dinar. Itu hanya angka, ancaman sejatinya adalah hancurnya kepercayaan. 

Kalau hakim yang seharusnya menjadi benteng terakhir keadilan malah justru bisa "dibeli atau dibayar," lantas ke mana lagi rakyat harus mencari pertolongan? 

Jiwanya masyarakat itu langsung hancur. Mereka kehilangan harapan pada sistem, pada negara, bahkan dalam pandangan spiritual mereka pada manifestasi kebenaran ilahi di bumi.

Ketika Keadilan Berhadapan dengan Finansial (Ibn al- Qayyim & Umar)

Nasihat dari Ibn al-Qayyim (yang mengulas suratnya Umar), yang disampaikan bukan hanya soal hukum, tapi beban psikologis seorang manusia biasa. 

Bayangkan seorang qāḍī, yang memegang nasib orang, yang mempunyai kekuatan super untuk menentukan siapa yang benar dan siapa salah. 

Di kursi itu, kekuasaan, harta, dan kepentingan manusia saling berkelindan di depan mata. Ibn al-Qayyim menyebut, jabatan hakim sebagai ujian iman paling berat, bukan karena beratnya karena perkara yang disidangkan, tapi karena godaan yang menyerang personal. 

Nasihat Umar bin Khattab itu sebagai Mutiara hikmah yang menyatakan gaji hakim itu harus dicukupi.

Karena kalau hakim itu lelah memikirkan finansial di rumah, biaya sekolah anak, bagaimana bisa fokus memikirkan keadilan. 

Dia akan mulai "menoleh kepada apa yang ada di tangan orang lain.”

Dan itu bukan kejahatan yang lahir dari niat murni jadi orang jahat, tetapi itu adalah kelelahan manusiawi yang dieksploitasi godaan. 

Keadilan itu sulit dijaga kalau si penjaga keadilan sendiri sedang bergulat dengan kesulitan finansial.

Hati yang Lelah dan Jiwa yang Rapuh (Al-Ghazali)

Imam Al-Ghazali mengatakan, “seringkali rusaknya keadilan itu bukan karena teks undang- undang yang salah, tapi karena jiwa si pengadil yang lelah, aus, dan tergoda.” 

Korupsi, menurut Imam Al-Ghazali, adalah penyakit hati, semacam virus yang masuk ketika imunitas spiritual sedang drop. 

Godaan itu jadi berlipat ganda ketika amanah yang begitu besar tidak disangga oleh kecukupan hidup yang layak dan keteguhan iman. 

Karena para ulama sadar betul akan kerapuhan manusia ini, sistem peradilan Islam klasik bukan cuma melarang suap, tapi juga mendesain sistem support. 

Mereka paham negara dan masyarakat mempunyai tugas untuk menjaga sang hakim. 

Mereka harus memastikan hakim itu tegak lahir dan batin, agar ia bisa memikul beban keadilan yang begitu berat itu tanpa tergelincir. 

Ini adalah pengakuan mendalam, keadilan harus ditopang oleh kesejahteraan dan ketenangan batin sang eksekutor.

Bukan hanya Melarang Tapi Mengwasi Gaya Hidup (Umar bin Khattab)

Peradilan Islam sangat realistis. Bukan hanya bicara dilarang suap itu bagaikan memasang papan peringatan di hutan tidak berguna, jika tidak ada penjaganya. 

Umar bin Khattab mempunyai strategi yang mind-blowing (menkjubkan) secara humanis.

Dia bukan hanya melarang, tapi mengawasi gaya hidup hakimnya. Dia mencurigai hakimnya bukan karena ketahuan terima uang tunai, tapi karena tiba-tiba si hakim itu upgrade gaya hidupnya 

Semula naik kuda biasa, sekarang kudanya mentereng dan keren. semula rumahnya sederhana, sekarang tiba-tiba ada ornamen mewah. 

Bagi Umar, perubahan sekecil itu sudah menjadi alarm merah. Artinya, amanah spiritual yang diemban oleh hakim itu sudah berada di ambang bahaya. 

Ini adalah kebijakan yang super humanis fokusnya bukan mencari kesalahan besar, tapi mendeteksi keretakan karakter di tahap paling awal. 

Ini seperti mengetahui, godaan itu bergerak perlahan lahan yang harus dihentikan sebelum menjadi bencana.

Pencegahan Sunyi: Menjaga Fisik dan Mental Hakim (Al- Māwardi)

Al-Māwardi menegaskan, strategi pertahanan ini dengan sangat tajam. 

Dia mengatakan, kalau hanya nasihat moral itu tidak mungkin cukup. 

Hakim harus dijauhkan dari sebab-sebab yang bisa menjerumuskannya. Di sinilah peran negara masuk sebagai bodyguard dan support system. 

Paling penting adalah:

  1. Cukupi Kebutuhan Hidup: Ini backbone-nya, agar hakim tidak perlu lagi memikirkan hutang atau kebutuhan mendesak, sehingga hati dan pikirannya 100% fokus kepada penyelesaian kasus/perkara. 
  2. Jaga Kewibawaannya: Hakim harus dihormati agar dia tidak merasa rendah diri atau tertekan, yang bisa menjadi celah bagi orang berkuasa untuk mengintervensi.
  3. Lindungi dari Tekanan: Negara harus menjadi tameng buat hakim, melindunginya dari rayuan harta dan ancaman kekuasaan. 

Inilah yang disebut pencegahan sunyi, sebagai upaya yang tidak gaduh, tidak heboh di berita dan media sosial, tapi justru paling menentukan. 

Pencegahan sunyi adalah tentang menciptakan lingkungan yang sehat bagi hati seorang hakim, sehingga keadilan bisa terus berdiri tegak, bukan karena ia dipaksa, tapi karena jiwanya memang terlindungi dan terawat.

Penutup : Hari Anti Korupsi Sedunia Sebagai Ruang Cermin

Dalam pandangan peradilan Islam, korupsi bukanlah kejahatan tunggal, melainkan tanda rapuhnya keseimbangan vital antara nurani keadilan dan penjaganya serta sistem yang menaunginya. 

Para ulama sudah lama mengingatkan keadilan itu tidak cukup dijaga hanya dengan ancaman penjara, ia harus dipelihara dengan memastikan para penjaganya berdiri di atas kehidupan yang layak dan hati yang tenang. 

Korupsi adalah tragedi humanis ketika seorang manusia jujur dipaksa tergelincir oleh keadaan yang tidak mendukung integritasnya. 

Pesan paling relevan hari ini, adalah perang melawan korupsi sejatinya bukan hanya soal menghukum yang bersalah setelah keadilan hancur. 

Jauh lebih penting, adalah ikhtiar menjaga agar yang jujur tidak dipaksa jatuh karena sistem yang bobrok atau kekurangan hidup. 

Makna sejati antikorupsi baru tercapai ketika negara, melalui sistemnya, bekerja beriringan dengan nurani penjaganya. 

Inilah pertahanan paling dalam untuk menjaga marwah keadilan, memastikan kesejahteraan lahir dan batin mereka yang mengemban amanah suci tersebut.

Sumber Rujukan

Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah, I‘lām al-Muwaqqi‘īn ‘an Rabb al-‘Ālamīn risalah Umar bin Khattab tentang etika dan kecukupan hidup qāḍī.
Al-Māwardi, al-Aḥkām al-Sulṭāniyyah syarat hakim, larangan hadiah, dan kewajiban negara menjaga wibawa hakim.
Abu Ḥāmid al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn amanah kekuasaan dan penyakit hati pemegang jabatan.
Abu Yusuf, Kitāb al-Kharāj praktik pemerintahan Umar bin Khattab terkait keadilan dan pejabat negara.

Penulis: Aman
Editor: Tim MariNews