Menyusuri Kepercayaan dalam Negara Kleptokratik

Absennya kepercayaan dari masyarakat terhadap otoritas dapat berujung pada kleptopia, sebuah realitas ideologis ketika mencuri uang negara dianggap sebagai sebuah kewajaran.
Ilustrasi demokrasi. Foto : Freepik
Ilustrasi demokrasi. Foto : Freepik

“The most valuable lesson to be learned is that democracy requires citizens to be involved and to ask questions.” – Fred Smoller (From Kleptocracy to Democracy: How Citizens Can Take Back Their Government).

Sebuah survei yang dilakukan oleh PEW Research Centre menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah Amerika Serikat di tahun 2018 berada di angka 18 persen. Itu berarti dari setiap 100 orang, hanya 18 yang masih memercayai lembaga eksekutif di negara itu (PEW Study Public Trust in Government, 2017). 

Jason Saul, aktivis lembaga sosial kemasyarakatan Mission Measurement, mencatat bahwa rendahnya tingkat kepercayaan itu tidak disebabkan oleh partai mana yang berkuasa dan siapa presidennya (Saul, 2018). 

Studi tersebut juga menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan publik mencapai titik terendah dalam tujuh dekade sejak 1957, entah partai manapun atau presiden siapapun yang ada di pemerintahan.

Kenyataan ini juga tidak disebabkan oleh kebijakan belanja pemerintah untuk kebutuhan sosial. Survei lainnya menunjukkan bahwa sekalipun dana tiga triliun dolar dihabiskan untuk sektor publik (sekitar 16 persen dari Pendapatan Domestik Bruto AS di tahun 2013), kepercayaan masyarakat masih saja terus menukik ke bawah (U.S. Office Management and Budget, 2013). 

Saul menengarai bahwa penyebabnya adalah ketidakpuasan publik terhadap kinerja pengelolaan uang negara. 

Selain itu, bentuk lain ketidakpercayaan warga negara terhadap pemerintah dapat juga dilihat dalam sebuah studi dari Daniel Baccega dan timnya yang menemukan bahwa masyarakat cenderung lebih memercayai orang terdekat mereka atau tokoh-tokoh agama daripada para ilmuwan atau pejabat negara terkait informasi wabah Covid-19 (Baccega et al., 2025). 

Singkatnya, entah di situasi wajar atau khusus (seperti pandemi) tingkat kepercayaan masyarakat terhadap negara saat ini cenderung rendah.

Rapuhnya Penegakan Hukum dalam Demokrasi Semu 

Turunnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintahnya bukan tanpa konsekuensi. Bagi pengkaji demokrasi Fred Smoller (2019), tingkat kepercayaan masyarakat yang rendah akan berujung pada apatisme, dan berlanjut pada berbagai dampak negatif, seperti kleptokrasi (pemerintahan oleh para pencuri). 

Smoller melakukan riset terhadap kasus hukum yang terjadi di sebuah kota bernama Bell di Negara Bagian Kalifornia, Amerika Serikat. Di kota kecil berpenduduk sekitar 36 ribu orang pada 2010 itu, walikota Bell Robert Rizzo dihukum 12 tahun penjara karena penggelapan uang negara (CBS News,16 April 2014). 

Selama menjabat Rizzo “menggaji” dirinya sendiri sebesar satu setengah juta dolar, ketika kisaran upah minimum pekerja hanya 15.000 dolar per tahunnya. Rizzo, ironisnya, terpilih lewat mekanisme pemilihan umum yang demokratis. 

Namun demikian, seperti yang ditengarai Smoller, hilangnya kepercayaan dan juga partisipasi publik membusukkan proses demokrasi di Bell. Secara perlahan Rizzo mengubah pemerintahan kota dari demokratis menjadi kleptokratis (Smoller, 2019).

Penstudi demokrasi lainnya, Katherine Hirschfeld, mencoba memetakan kleptokrasi dalam hubungannya dengan lemahnya pemerintahan di sebuah negara, yang disebutnya sebagai “gangster state” (negara organisasi kriminal). 

Menurut Hirschfeld, “Without government, there are no risks of incarceration, and economic competition can be eliminated with violence or threats of violence. Without competition, prices can become wildly inflated, and profits increase dramatically. Gangsters who successfully create private armies of monopoly enforcers would be able to enjoy lucrative and stable control of these enterprises over time” (Tanpa pemerintahan, tidak ada risiko pemenjaraan, dan persaingan ekonomi dapat dihapuskan melalui kekerasan atau ancaman kekerasan. Tanpa adanya persaingan, harga dapat melonjak secara tidak terkendali, dan keuntungan meningkat secara drastis. Para gangster yang berhasil membentuk pasukan pribadi untuk menegakkan monopoli akan dapat menikmati kendali yang menguntungkan dan stabil atas usaha-usaha tersebut dari waktu ke waktu) (Hirschfeld, 2015:8). 

Penstudi politik David C. Kang mengangkat situasi lain yang mirip dengan lemahnya otoritas negara kleptokratik. Menurut Kang yang terjadi di Korea Selatan dan Filipina adalah kapitalisme kroni. Dalam kondisi ini, elit politik dan dunia bisnis “saling menyandera” (mutual hostage), dan semua keputusan politis yang menyangkut hajat hidup orang banyak sifatnya transaksional dan dilakukan secara tertutup dalam lingkaran kroni tertentu. 

Kang menegaskan, “The process was simple: business and political elites exchanged bribes for political favors” (prosesnya sederhana, bisnis dan elit politik saling bertukar uang suap untuk alasan preferensi politik) (Kang, 2004:97).

Ambiguitas Negara Kleptokratik

Pasca-kehancuran Soviet, Rusia adalah negara kleptokrasi. Namun demikian, lepas dari kontroversi sosok Presiden Vladimir Putin, sisi kleptokratik ini tidak melemahkan otoritas negara. 

Putin berhasil mencegah pelarian modal ke luar negeri dan mengamankan cadangan energi Rusia sebagai sumber ekspor dan pendapatan negara itu. 

Gaya pemerintahan Putin membuat Rusia menjadi negara otoriter yang menerapkan kapitalisme kroni (Dawisha, 2014:317-318). Dengan demikian, stabilitas politik di Rusia sangat ditentukan oleh transaksi yang terjadi antara Putin dengan lingkaran oligarki di negara itu (Åslund, 2019:24). 

Aslund mencatat bahwa Putin mempergunakan perusahaan negara sebagai instrumen untuk mengonsolidasi pemerintahannya: “The real aim of state corporations appears to be twofold. First, they concentrate political and economic power into the hands of Putin and his trusted friends. Second, the state corporations are also supposed to enrich this circle of friends…” (Tujuan sebenarnya dari perusahaan-perusahaan negara tampaknya bersifat ganda. Pertama, mereka memusatkan kekuasaan politik dan ekonomi ke tangan Putin dan para sahabat tepercayanya. Kedua, perusahaan-perusahaan negara tersebut juga dimaksudkan untuk memperkaya lingkaran sahabat ini…) (Åslund, 2019:106).

Situasi serupa terjadi di Angola. Di negara yang dilanda perang di awal tahun 2000-an ini, cadangan minyak dan batu mulia seperti intan justru diprivatisasi untuk kepentingan rezim yang berorientasi pada upaya memperkaya diri. 

Pascaperang, lebih dari setengah rakyat Angola kelaparan, dan angka harapan hidup hanya mencapai 45 tahun. Pakar hukum Rui Santos Verde menilai bahwa demokrasi semu kleptokratik yang hanya berputar di lingkaran José Eduardo dos Santos membuat praktik menggelapkan uang negara menjadi formal dan institusional (Verde, 2021). Padahal, Presiden Dos Santos terpilih karena janji kampanyenya untuk menyejahterakan rakyat Angola dan memberantas pencurian uang negara. 

Verde menambahkan: “It evokes how the dream of economic growth and promised prosperity broke out in a crisis brought on by the internal kleptocracy and the abrupt drop in oil prices…” (Hal ini menggambarkan bagaimana impian tentang pertumbuhan ekonomi dan janji kesejahteraan berakhir dalam sebuah krisis yang disebabkan oleh kleptokrasi internal dan penurunan mendadak harga minyak…) (Verde, 2021:3).

Jalan Panjang Mengembalikan Kepercayaan

Absennya kepercayaan dari masyarakat terhadap otoritas dapat berujung pada kleptopia, sebuah realitas ideologis ketika mencuri uang negara dianggap sebagai sebuah kewajaran. 

Pemikir Tom Burgis mencoba mengekstrapolasi kemungkinan naiknya kleptokrasi ke skala global, bukan hanya nasional. Ironisnya, kleptokrasi justru dilegitimasi oleh demokrasi yang terdistorsi, yang lemah, dan bisu. 

Bagi Burgis, fondasi dari kleptopia adalah rasa takut dan hilangnya keyakinan pada kejujuran. Kleptokrasi dapat bereskalasi menghancurkan sendi-sendi hukum di negara manapun, tidak terkecuali di negara-negara yang sudah mapan. (Burqis, 2020).

Dalam kasus Kelly v. United States 590 U.S (2020), dua orang asisten yang bekerja untuk gubernur petahana Chris Christie pada 2013 menutup akses jembatan ke sebuah kota kecil bernama Fort Lee di New Jersey, Amerika Serikat, hanya karena walikotanya menolak untuk mengampanyekan Christie agar terpilih di periode selanjutnya. 

Penutupan akses ini dianggap sebagai bentuk “hukuman” atas ketidakpatuhan walikota tersebut (Justia, U.S. Supreme Court, 2020). Sekalipun terjadi di negara yang menjadi pilar diseminasi demokrasi dunia, kejadian ini menunjukkan bahwa bibit-bibit kleptokrasi dan kapitalisme kroni masih tajam tertanam dan laten mengancam sendi-sendi kehidupan negara adikuasa itu. 

Peristiwa ini juga sekaligus menyingkap bagaimana kekuasaan politik dapat dengan mudah dimanipulasi untuk kepentingan pribadi ketika mekanisme akuntabilitas publik melemah atau diselewengkan.

Dengan demikian, kepercayaan masyarakat pada pemerintah merupakan fondasi tak tergantikan bagi keberlangsungan demokrasi yang substansial. Ketika kepercayaan itu terkikis, ruang kosong yang terbentuk segera diisi oleh ketakutan, apatisme, dan transaksi gelap antara kekuasaan dan modal. 

Demokrasi yang kehilangan legitimasi moralnya akan mudah berubah menjadi alat bagi segelintir elit untuk mempertahankan status dan keuntungan pribadi, sementara warga negara kehilangan kepercayaan terhadap otoritasnya. Dalam situasi seperti ini, lembaga-lembaga negara tidak lagi mengayomi; sebaliknya, institusi pemerintahan justru menjadi instrumen kleptokratis untuk mengamankan kepentingan kelompok tertentu. 

Pemulihan kepercayaan publik hanya dapat dicapai melalui keberanian bersikap dan pola pikir yang kokoh bahwa kekuasaan harus dipahami sebagai amanat, bukan privilese.  

Penulis: Muhammad Afif
Editor: Tim MariNews