Operasi Patuh dan Hakim Lalu Lintas: Antara Keadilan dan Etika Tilang Digital

Meski terlihat sederhana, perkara lalu lintas tetap memerlukan pertimbangan hati nurani. Di tengah derasnya digitalisasi, hakim harus tetap menjadi penjaga nilai keadilan, bukan sekadar pengesah denda.
Hakim Pengadilan Negeri Gunung Sugih Anggoro Wicaksono, S.H., M.H., mewakili Pengadilan Negeri Gunung Sugih dalam persidangan perkara pelanggaran lalu lintas pada Selasa (23/7/2024), di Gunung Sugih, Lampung Tengah. Foto pn-gunungsugih.go.id/
Hakim Pengadilan Negeri Gunung Sugih Anggoro Wicaksono, S.H., M.H., mewakili Pengadilan Negeri Gunung Sugih dalam persidangan perkara pelanggaran lalu lintas pada Selasa (23/7/2024), di Gunung Sugih, Lampung Tengah. Foto pn-gunungsugih.go.id/

Operasi Patuh 2025 resmi digelar serentak di seluruh Indonesia. Selama 14 hari ke depan, berbagai pelanggaran lalu lintas akan menjadi sasaran utama, seperti melawan arus, tidak menggunakan helm, bermain ponsel saat berkendara, hingga pengemudi di bawah umur. Operasi ini bertujuan untuk menciptakan keamanan, keselamatan, dan ketertiban lalu lintas.

Namun, meningkatnya pelanggaran juga berarti meningkatnya jumlah perkara yang dilimpahkan ke pengadilan. Di sinilah peran hakim diuji. Sesuai Undang-Undang Lalu Lintas, setiap jenis pelanggaran memiliki batas maksimal denda, misalnya pelanggaran menggunakan ponsel dapat dikenai denda hingga Rp750 ribu. Hakim diberi kewenangan untuk menjatuhkan denda sesuai kadar pelanggaran, namun tidak boleh melebihi batas maksimal yang ditetapkan UU.

Karena pelanggar tidak lagi dihadirkan langsung di pengadilan, hakim kini hanya memutus berdasarkan berkas tilang, termasuk rekaman ETLE. Hal ini dapat mengurangi keobjektifan karena hakim tidak bisa mendengar alasan pelanggar. Misalnya, ada yang terekam memegang ponsel, padahal bisa jadi hanya melihat peta untuk mencari alamat. Tanpa klarifikasi langsung, keadilan bisa terasa timpang.

Disparitas putusan juga sering muncul karena tiap hakim memiliki penilaian berbeda atas pelanggaran serupa. Ini memicu reaksi di masyarakat yang merasa penegakan hukum tidak konsisten. Oleh karena itu, Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif tertinggi diharapkan menerbitkan surat edaran sebagai panduan untuk mengurangi kesenjangan putusan tilang.

Meski terlihat sederhana, perkara lalu lintas tetap memerlukan pertimbangan hati nurani. Di tengah derasnya digitalisasi, hakim harus tetap menjadi penjaga nilai keadilan, bukan sekadar pengesah denda. Sistem yang adil akan menciptakan masyarakat yang lebih patuh dan sadar hukum.
 

Penulis: Nur Amalia Abbas
Editor: Tim MariNews