Urgensi Undang Undang Jabatan Hakim

Tanpa adanya pengaturan jabatan hakim yang jelas dan baik, maka kedudukan hakim dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman, rawan mendapatkan intervensi extra judicial yang merusak martabat dan keluhuran seorang hakim.
Ketua Mahkamah Agung Prof. Dr. Sunarto, S.H., M.H melantik dan mengambil sumpah jabatan 4 Ketua Pengadilan Tinggi Agama (KPTA) pada Rabu (2/7/ 2025) di ruang Kusumaatmadja lantai 14, gedung Mahkamah Agung, Jakarta. Foto Humas MA
Ketua Mahkamah Agung Prof. Dr. Sunarto, S.H., M.H melantik dan mengambil sumpah jabatan 4 Ketua Pengadilan Tinggi Agama (KPTA) pada Rabu (2/7/ 2025) di ruang Kusumaatmadja lantai 14, gedung Mahkamah Agung, Jakarta. Foto Humas MA

Dalam retrospektif sejarah Indonesia, kekuasaan kehakiman cabang kekuasaan negara, yang tidak pernah dibiarkan merdeka seutuhnya, sejak awal berdirinya negara hingga saat ini.

Pasca-Reformasi, dualisme kedudukan hakim masih terjadi, satu sisi hakim telah ditetapkan sebagai pejabat negara, tetapi sisi lain, hakim bercita rasa Pegawai Negeri Sipil (PNS). 
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN), hakim ditetapkan sebagai pejabat negara, tetapi sistem rekrutmen, kepangkatan, mutasi, sistem gaji hingga pensiun hakim, mengikuti pola PNS. Sehingga hakim seringkali disebut pejabat negara rasa PNS.

Apabila mengingat kembali konsep trias politica, yang digaungkan Montesquieu, kekuasaan kehakiman adalah cabang kekuasaan merdeka dan seharusnya sederajat cabang kekuasaan lain (eksekutif dan legislatif). Maka, kekuasaan kehakiman idealnya manifestasi kekuasaan negara, bukan kekuasaan pemerintah.

Dengan demikian, urgensi UU Jabatan Hakim tidak bisa dipandang sebelah mata. Selama ini, status hakim sebagai pejabat negara hanya tercantum dalam beberapa undang-undang secara parsial. Rekrutmen hakim, juga berganti-ganti polanya menggunakan dasar hukum Peraturan Mahkamah Agung. 

Untuk itu, diperlukan UU Jabatan Hakim, sebagai payung hukum guna menegaskan status hakim sebagai pejabat negara, sekaligus dasar konsolidasi dan implementasi teknis, terkait status pejabat negara hakim yang tersebar dalam berbagai undang-undang.

Urgensi Hakim Sebagai Pejabat Negara dan Undang-Undang Jabatan Hakim

Pertama, berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan Undang-Undang Nomor 5 tahun 2014 tentang ASN, menegaskan hakim pada semua tingkatan peradilan, merupakan pejabat negara. Sehingga, perlu adanya UU Jabatan Hakim, untuk payung hukum dalam sinkronisasi dan konsolidasi mengenai penegasan status hakim sebagai pejabat negara.

Kedua, berdasarkan Pasal 24 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan dihubungkan dengan teori pemisahan kekuasaan, telah menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan merdeka dan sederajat dengan cabang kekuasaan lainnya. Maka, kekuasaan kehakiman yang dipersonifikasi profesi hakim, seharusnya memiliki pengaturan yang jelas dan tegas, sebagai pejabat negara.

Ketiga, kekuasaan kehakiman yang merdeka, akan terwujud bilamana personifikasi kekuasaan kehakiman, diletakkan sebagai pejabat negara. 

Hakim sebagai pejabat negara bakal berdampak pada perubahan pola rekrutmen hakim, sistem gaji dan kepangkatan, mutasi, dan beberapa hal lainnya. Sehingga tidak mengikuti pola PNS yang statusnya merupakan aparatur pemerintah. Di sinilah urgensi UU Jabatan Hakim, yang bertujuan memperkuat konsep kekuasaan kehakiman yang merdeka dan independen.

Keempat, mekanisme pengawasan secara efektif dan transparan, dapat semakin ditingkatkan, baik melalui pengawasan internal oleh Badan Pengawasan Mahkamah Agung atau eksternal yang dilakukan Komisi Yudisial. Tentunya, pengawasan tersebut tidak bertujuan mengurangi independensi hakim dalam memutus perkara. Namun sebagai pengingat agar hakim memberikan pelayanan terbaik dengan cara bekerja keras, cerdas dan ikhlas, menghindari pelayanan bersifat transaksional, agar dapat meningkatkan kepercayaan publik sesuai amanat Ketua Mahkamah Agung. 

Tanpa adanya pengaturan jabatan hakim yang jelas dan baik, maka kedudukan hakim dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman, rawan mendapatkan intervensi extra judicial yang merusak martabat dan keluhuran seorang hakim. Maka, pembentukan UU Jabatan Hakim sebuah kebutuhan dan keharusan, demi tegaknya martabat serta keluhuran profesi hakim.

Penulis: Dirgha Zaki Azizul
Editor: Tim MariNews