Problematika Kedudukan Keris dalam UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951

Dalam berbagai tradisi, keris dipandang sebagai pusaka yang mencerminkan status sosial, identitas budaya bahkan dari sisi spiritualitas pemiliknya.
Keris. Foto : Dokumentasi penulis
Keris. Foto : Dokumentasi penulis

Keris merupakan salah satu warisan budaya yang sarat akan nilai historis, filosofis dan spiritual. Sebagai karya tosan aji (besi mulia), keris memiliki makna simbolik yang mendalam bagi kehidupan Nusantara. 

Dalam berbagai tradisi, keris dipandang sebagai pusaka yang mencerminkan status sosial, identitas budaya bahkan dari sisi spiritualitas pemiliknya. 

Namun sisi lain, sejarah panjang mengisahkan keris sebagai bentuk pertahanan diri dalam era peperangan antar kerajaan. Digunakan untuk menikam musuh, baik sebagai bentuk pertahanan diri atau penyerangan. 

Hal ini, menjadikan keris dalam tataran hukum positif Indonesia termasuk dalam kategori senjata penusuk yang dapat menimbulkan perdebatan ketika dihubungkan dengan pemberlakuan Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1951 tentang Mengubah "ordonnantie tijdelijke bijzondere strafbepalingen" (stbl. 1948 No.17) dan undang-undang R.I. Dahulu NR 8 tahun 1948. 

Undang-undang tersebut, secara umum mengatur mengenai larangan untuk membawa, memiliki, atau menggunakan senjata penusuk tanpa hak yang sah. Sesuai suasana kebatinan pascakemerdekaan. 

Inilah yang kemudian menimbulkan pertanyaan, apakah keris sebagai benda yang termasuk warisan tidak benda dapat dikualifikasikan senjata penusuk sebagaimana pengertian Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1951 atau justru termasuk pada benda pusaka yang wajib dilindungi dan dilestarikan.

Perdebatan ini, menjadi penting karena menyangkut dua aspek yang berbeda namun sama-sama fundamental, yakni kepastian hukum dalam pengendalian senjata penusuk dan pelestarian nilai budaya bangsa. 

Pemahaman yang keliru dalam menafsirkan kedudukan keris dapat menimbulkan dampak hukum bagi masyarakat yang masih memegang tradisi kepemilikan pusaka, terutama ketika keris digunakan, disimpan, atau dibawa dalam konteks adat dan budaya. 

Maka, pembahasan mengenai kedudukan keris dalam perspektif Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 menjadi relevan untuk menjembatani antara hukum positif, adat dan kebudayaan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Ruang Lingkup Keris

Sebagai hasil cipta, rasa, dan karsa manusia, keris mengandung nilai-nilai filosofis yang mencerminkan pandangan hidup, sistem kepercayaan, dan struktur sosial masyarakat pembuatnya. 

Dalam konteks hukum dan kebudayaan modern, keris memperoleh legitimasi yuridis sebagai warisan budaya tidak benda yang diakui secara nasional maupun internasional, dan pengakuan ini membawa konsekuensi hukum terhadap upaya pelestarian serta pewarisan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

Secara internasional, pengakuan terhadap keris ditandai dengan telah ditetapkannya Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of Humanity atau Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Takbenda Lisan dan Nonbendawi oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) pada 2005. 

Hal tersebut, menunjukkan keris dipandang bukan semata-mata sebagai benda fisik, melainkan sebagai living heritage yang hidup di dalam praktik sosial masyarakat.

Dalam konteks hukum nasional, pengakuan termasuk perizinan terhadap keris tidak secara implisit dijelaskan dalam peraturan perundang-undangan dan turunannya, namun ada beberapa peraturan yang setidak-tidaknya memberikan perlindungan terhadap warisan budaya.

Pertama dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Kebudayaan. Undang-undang ini, menegaskan kebudayaan diartikan sebagai segala sesuatu yang berkaitan dengan cipta, rasa, karsa, dan hasil karya masyarakat. 

Hal dimaksud, termuat Pasal 1 ayat (1) UU tersebut, di mana sejalan makna dari keris yang lahir sebagai hasil cipta, rasa dan karsa manusia.

Kedua, dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Dalam pasal 2 memberikan pengertian mengenai benda cagar budaya adalah benda alam dan/atau benda buatan manusia, baik bergerak maupun tidak bergerak, berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya yang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia. 

Lebih ditegaskan dalam Pasal 6 dan penjelasanya, pada pokoknya menegaskan benda cagar budaya yang bersifat bergerak adalah benda Cagar budaya yang karena sifatnya mudah dipindahkan, misalnya keramik, arca, keris, dan kain batik;

Ketiga, dalam Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2007 tentang Pengesahan Convention For The Safeguarding Of The Intangible Cultural Heritage (Konvensi Untuk Perlindungan Warisan Budaya Takbenda). Peraturan ini, meratifikasi dari Konvensi Untuk Perlindungan Warisan Budaya Takbenda.

Pengakuan tersirat tersebut, memperlihatkan perlindungan terhadap keris tidak hanya berorientasi pada fisiknya, tetapi juga pada nilai-nilai cipta rasa dan karsa yang menopang eksistensinya.

Secara harfiah, Keris sudah tidak terbantahkan masuk dalam lingkup warisan budaya takbenda, sekaligus benda cagar budaya bergerak yang merupakan bagian dari Kebudayaan. 

Lantas apakah masuk pula dalam lingkup pengertian benda pusaka? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian benda pusaka tidak secara utuh dalam satu frasa, namun jika dipenggal tiap kata, maka benda dapat diartikan segala yang ada dalam alam yang berwujud atau berjasad (bukan roh), sedangkan Pusaka dapat diartikan harta benda peninggalan orang yang telah meninggal, contohnya warisan, barang yang diturunkan dari nenek moyang contohnya keris. 

Sehingga Benda Pusaka dapat diartikan, sebagai barang yang diturunkan dari nenek moyang dalam bentuk berwujud.

Menghubungkan keris, pengertian benda pusaka sudah tentu sejalan, karena keris merupakan warisan pengetahuan turun temurun dari nenek moyang, hasil buah pemikiran dalam penempaan besi, baja atau meterorit, yang menghasilkan bilah dalam bentuk fisik. 

Problematika Keris dan Korelasinya dengan Pasal 2 Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951

Undang-undang Darurat RI Nomor 12 Tahun 1951, lahir dari latar belakang atas keadaan yang mendesak dimana peraturan harus segera diadakan. Hal ini, sebagaimana tertuang dalam konsideran undang-undang darurat tersebut.

Tujuannya, untuk membatasi peredaran kepemilikan senjata demi menjaga stabiltias ketertiban dan keamanan saat itu. 

Peraturan ini, masih sangat eksis diterapka. Walaupun tentu, sudah berbeda kondisinya dengan tahun diterbitkannya Undang-Undang Darurat ini. 

Roscue Pond melalui teorinya law as a tool of social engineering menegaskan bagaimana aturan hukum dipergunakan sebagai alat untuk merekayasa atau memperbarui masyarakat. 

Dengan kata lain, hukum dipergunakan untuk kontrol sosial, tidak hanya mengatur, tetapi juga untuk mengarahkan masyarakat ke arah tatanan sosial yang lebih adil. Baik untuk kepentingan individu, dan kepentingan umum. 

Maka itu, pembuat undang-undang merumuskan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Darurat RI Nomor 12 Tahun 1951 menegaskan “Barang siapa yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperolehnya, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata pemukul, senjata penikam, atau senjata penusuk (slag-, steek-, of stootwapen), dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun”.

Kemudian memberikan batasan/limitative yang terumat dalam ayat (2) UU Darurat dimaksud, yakni tidak termasuk barang-barang yang nyata-nyata dimaksudkan untuk dipergunakan guna pertanian, atau untuk pekerjaan-pekerjaan rumah tangga atau untuk kepentingan melakukan dengan syah pekerjaan atau yang nyata-nyata mempunyai tujuan sebagai barang pusaka atau barang kuno atau barang ajaib (merkwaardigheid).

Dari rumusan tersebut, tampak pembentuk undang-undang ingin mengontrol membatasi, atau mengarahkan masyarakat agar kepemilikan senjata pemukul, senjata penikam, atau senjata penusuk dilakukan dengan hak. Jika tanpa hak maka ancaman pidana setinggi-tingginya 10 Tahun. 

Pembuat undang-undang mengkondisikan sedemikian rupa dengan tujuan untuk memberikan ketertiban dan keamanan kepada masyarakat.

Selain itu, pembuat undang-undang juga menyadari senjata pemukul, senjata penikam, atau senjata penusuk tidak selalu ditujukan untuk kejahatan, melainkan ada juga yang dipergunakan untuk hal-hal tidak melawan hukum seperti untuk keperluan kegiatan budaya, upacara adat, pertunjukan seni, atau koleksi pribadi.

Dalam konteks inilah, keris mendapatkan ruang hukum yang dapat dibilang ”istimewa”. Meskipun secara fisik termasuk senjata penusuk, namun penggunaannya dalam lingkup tataran adat dan tradisi masyarakat dapat dianggap sebegai perwujudan kebudayaan. 

Terlebih eranya sudah berbuah dan berbeda. Keris pascakemerdekaan tidak lagi secara khusus dipergunakan sebagai senjata dalam pertempuran.

Dengan demikian, korelasi antara keris, serta Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 terletak pada dimensi penafsiran mengenai hak dan mens rea. 

Seseorang yang membawa atau memiliki keris dalam konteks untuk ritual adat, pameran budaya atau warisan keluarga, pada dasarnya tidak dapat dikategorikan sebagai pelaku tindak pidana selama, selama penggunaannya tidak bertentangan dengan hukum dan tidak dapat menimbulkan ancaman terhadap ketertiban umum. 

Sebaliknya, apabila keris tersebut digunakan untuk mengancam, menakuti, menganiaya, melukai atau melakukan tindak kekerasan, maka perbuatan tersebut jelas menjadikannya sebagai alat untuk melakukan tindak pidana dan dapat dikenakan ketentuan sebagaimana yang termuat dalam KUHP.

Kesimpulan

Kepemilikan atau pembawaan keris semata tanpa adanya mens rea atau actus reus, tidak seharusnya dikriminalisasi. 

Oleh sebab itu, penegakan hukum terhadap kepemilikan atau pembawaan keris perlu mempertimbangkan nilai-nilai adat dan kebudayaan, agar tidak terjadi reduksi makna benda pusaka menjadi benda berbahaya. 

Dengan kata lain, kedudukan keris dalam Undang-Undang Darurat seharusnya dipandang sebagai warisan tak benda atau benda cagar benda yang memenuhi unsur sebagai benda pusaka, sebagaimana Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951. 

Namun praktiknya terdapat dualisme penafsiran sehingga menimbulkan problematika penerapan, di satu sisi, secara fisik memenuhi pengertian unsur senjata penusuk. 

Namun di sisi lain, keris sebagai benda pusaka yang memperoleh keistimewaan dalam hal pembatasan/pengecualian. Sehingga kesadaran terhadap hal ini penting agar penegakan hukum tidak sampai mengebiri nilai-nilai budaya yang melekat pada sebilah keris sebagai warisan tak benda bangsa Indonesia. 

Artikel ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Marinews.