PTSP Sebagai Wajah Pengadilan

Sebagai wajah pengadilan maka PTSP harus ditampilkan sedemikian rupa, agar menunjukkan citra yang bagus, dan positif dari pengadilan
Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Mahkamah Agung. | Foto : Dokumentasi Biro Hukum dan Humas MA
Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Mahkamah Agung. | Foto : Dokumentasi Biro Hukum dan Humas MA

Pelayanan Terpadu Satu Pintu atau biasa dikenal dengan PTSP adalah pintu gerbang para pencari keadilan, masyarakat umum, dan aparat penegak hukum (APH) ketika berurusan dengan pengadilan. 

Sesuai dengan namanya satu pintu – maka hanya itulah pintu masuk untuk menuju pengadilan, terlepas dari kepentingan para pihak yang beraneka ragam. 

Ada yang mendaftarkan Gugatan Perdata, mendaftarkan surat kuasa khusus, mengajukan upaya hukum, memohon penetapan, memohonkan eksekusi, dan lain-lain.  

Kalau dalam bidang layanan medis atau katakanlah industri rumah sakit, maka  Instalasi Gawat Darurat (IGD) atau dulu lebih popular dengan sebutan Unit Gawat Darurat (UGD) lah yang menjadi wajah rumah sakitnya. 

Karena, bagaimana tampilan IGD dan petugas IGD memperlakukan pasien, apakah langsung ditangani secara cepat dan tepat atau hanya sibuk dengan anamnesis, atau bahkan dibiarkan begitu saja setelah ditensi-tensi. Ada kesamaan antara IGD rumah sakit dengan PTSP.

Sepintas lalu PTSP mungkin hanya dianggap sekedar sebagai pintu masuk atau katakanlah bagian dari pengadilan yang bertugas dalam pelayanan untuk pendaftaran atau pertanyaan terkait layanan pengadilan. 

Pendapat tersebut tidak sepenuhnya salah, karena memang PTSP itu berfungsi sebagai tempat layanan umum. 

Hanya saja ada perbedaan yang hakiki antar layanan di PTSP dengan layanan di berbagai institusi lainnya, katakanlah misalnya Customer Service di bank.
Petugas customer service di bank hanya mengarahkan pelanggan atau nasabah ke mana akan berurusan atau menjawab pertanyaan pelanggan dan memberi solusi secara terbatas. 

Akan halnya layanan di PTSP tidak sekedar hal tersebut. Ada hal tertentu yang sifatnya krusial, dan akibatnya sangat besar kalau terjadi kesalahan. 

Seperti dikatakan tadi, beberapa contoh layanan di PTSP adalah menerima gugatan, permohonan, dan upaya hukum. 

Nah, upaya hukum sendiri dalam hukum acara ada batasannya. 
Katakanlah untuk putusan pidana, waktu untuk mengajukan upaya hukum adalah 7 (tujuh) hari dan untuk perdata adalah 14 hari. Hari tersebut dihitung sejak tanggal diputus atau kalau tidak dihadiri oleh pihak atau kuasanya maka dihitung sejak diterimanya surat pemberitahuan putusan tersebut. 
Hal ini sangat penting, karena berakibat sah atau tidaknya upaya hukum tersebut.

Ketidaktelitian atau kekurangtahuan petugas PTSP bisa menjadi kasus tersendiri. Kita ambil contoh. 
Suatu ketika ada pihak yang akan melakukan upaya hukum terhadap putusan pidana.

Untuk memudahkan pembahasan ambillah contoh bahwa perkara tersebut diputus pada tanggal 1 Juli. Karena perkara tersebut diputus pada 1 Juli, maka batas akhir memasukkan upaya hukum – banding atau kasasi oleh JPU kalau bebas/lepas – adalah tanggal 8 Juli. 
Tetapi karena satu dan lain hal maka pihak yang akan mengajukan upaya hukum baru datang pada 9 Juli.
Apa yang terjadi? 

Pihak tersebut mengatakan bahwa putusan atau vonis terjadi pada 1 Juli. 

Kalau ada hal seperti itu, apa yang dilakukan oleh petugas PTSP? Yang bersangkutan harus memeriksa SIPP. 

Karena putusan hakim sesegara mungkin, pada hari itu harus di-upload ke SIPP dan e-berpadu.

Dengan demikian, maka tertutup sudah kesempatan untuk mengajukan upaya hukum untuk perkara tersebut. 

Bagaimana, bila pihak yang akan mengajukan upaya hukum tadi membujuk petugas – mungkin ada halo effect karena sudah kenal – misalnya pihak tersebut mengatakan, “tolonglah bikin tanggal putusan atau vonis tanggal 2 Juli supaya upaya hukum kami ini masuk” sambil dibumbui kalimat “waktu itu vonisnya pun udah sore jelang magrib kok”. 

Harusnya tetap ditolak dan dijelaskan, kalau pun diterima, tidak akan diproses karena di system sudah tercatat bahwa vonis terjadi pada 1 Juli.
Kemungkinan lain adalah, si petugas PTSP kurang pengetahuannya tentang hukum acara, sehingga diterima saja itu upaya hukum, meski sudah daluwarsa. 

Nah ini pun harus menjadi perhatian di PTSP. Hal ini bisa saja terjadi, apalagi kalau pihak tersebut entah itu penasehat hukum atau jaksa, terlihat pintar meyakinkan si petugas yang kelihatannya “masih hijau”.

Contoh lain, kita ambil dalam bidang keperdataan. Katakanlah terjadi upaya hukum kasasi oleh pihak yang tidak puas. 

Dalam halaman pertama biasanya penasehat hukum akan menjelaskan tentang legal standing-nya dalam mengajukan memori kasasi, serta kapan diterima  pemberitahuan putusan Pengadilan Tinggi terkait kasus yang sedang diajukan upaya hukum kasasi tersebut. 

Dalam mengajukan memori kasasi perdata, biasanya penasehat hukum (PH) akan menjelaskan kapan surat kuasa khusus diterima dari pihak. 
Misalnya ditulis seperti ini … berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 20 Juli 2025. Anggap putusan kasasi diberitahukan tanggal 17 Juli 2025. Tetapi surat kuasa khususnya tidak dilampirkan ketika mendaftarkan kasasi bahkan ketika menyampaikan memori kasasi.

PH yang mendaftarkan tidak meneliti lagi isi memori kasasi yang dibuat oleh tim-nya, karena dahulu waktu mengajukan gugatan, sudah disebutkan berlaku untuk upaya hukum banding dan kasasi.

Dengan adanya kalimat … berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 20 Juli 2025, maka tentu saja panitera atau majelis ditingkat kasasi akan berpedoman kepada surat kuasa khusus tersebut, sebab bisa saja ada perbedaan isi atau susunan PH dalam kuasa baru tersebut. 

Untuk hal seperti ini tentu tergantung kemurahan hati MA, apakah meminta PN asal untuk meminta pemohon kasasi untuk melengkapinya atau tidak. Bila ya, tentu PN harus segera menghubungi PH pemohon kasasi tersebut.

Nah, adakah masalah dalam kasus surat kuasa tersebut? 

Bisa saja ada. Ketika memori kasasi tersebut dibaca oleh pihak MA, tentu pemeriksaannya akan ditunda sampai berkas dilengkapi. 

Di lain pihak bisa saja PH pemohon sudah bolak balik memonitor SIPP dan melihat kenapa permohonan mereka belum ada prosesnya, lalu langsung bereaksi dengan bersurat ke MA, PT dan sebagainya, sementara petunjuk dari MA ke PN asal belum ada.

Untuk menghindari hal seperti ini maka petugas bidang perdata di PTSP selain memeriksa tanggal putusan di PTSP, juga harus memeriksa halaman pertama dari memori kasasi dan kontra memori kasasi. 

Itu harus. Jangan asal terima saja.
Hal lain terkait surat kuasa. Bagaimana bila dalam surat kuasa khusus disebutkan bahwa kuasa tersebut berlaku untuk mengajukan gugatan dan upaya hukum.

Apakah surat kuasa tersebut berlaku untuk mengajukan banding atau kasasi? 
Jawabnya, tidak. Karena, sesuai dengan namanya surat kuasa khusus, maka harus ada kekhususannya. 

Kalau dikatakan upaya hukum, upaya hukum yang mana? Tanpa menyebutkan secara khusus peruntukannya menyebabkan gugur kekhususannya. 
Apa yang kita dapatkan dari telaah di atas? PTSP bukanlah sekedar layanan biasa. Sedikit kesalahan bisa berakibat fatal. 

Lalu bagaimana mengantisipasinya? Harus diakui bahwa pengetahuan petugas PTSP tentang hukum acara, pada umumnya terbatas. 

Mereka kebanyakan petugas yang minim pengalamannya di bidang hukum acara, atau bahkan ada yang masih fresh-graduate. 

Untuk itu tentunya mereka harus “dididik” atau di-update. Caranya bisa saja melalui kelas tidak resmi atau cari-cari waktu misalnya sehabis senam/olah raga di hari Jumat, meski hanya setengah jam. 

Siapa yang membimbing? Bisa saja panitera yang sudah berpengalaman atau dibantu oleh hakim.

Kepada para petugas di PTSP perlu diingatkan, bila mereka tidak yakin atau ragu terhadap suatu layanan tertentu apakah itu perdata atau pidana, maka segera hubungi panitera tertentu. 

Hal ini untuk meminimalkan terjadinya kesalahan, yang bisa saja berakibat besar yang bahkan bisa dimanfaatkan pihak yang tidak puas dengan mendiseminasi informasi negatif terkait pengadilan.

Sebagai wajah pengadilan maka PTSP harus ditampilkan sedemikian rupa, agar menunjukkan citra yang bagus, dan positif dari pengadilan.

Bukan saja infrastruktur atau tampilan ruangannya yang dibuat seindah mungkin dan tepat guna, tetapi petugas atau personilnya pun harus selalu ditingkatkan kompetensinya. 

Setidaknya mereka – para petugas PTSP itu – harus menguasai hal-hal teknis praktis, entah itu hukum acara dan juga terkait sistem informasi peradilan termasuk e-court. 

Terlepas dari peningkatan kompetensi yang tentu saja penting, namun tak boleh dilupakan adalah kejujuran para petugas PTSP dan semua pihak, yang harus cerdas berintegritas. 

Cadas atau cerdas berintegritas bukan saja berlaku untuk para hakim, tetapi juga untuk panitera, petugas PTSP dan semua yang tugasnya bersentuhan dengan hukum di pengadilan.

Nah, untuk meminimalkan masalah di PTSP sekaligus meningkatkan kinerja PTSP perlu dibuat logbook manual dan di-backup di komputer berupa file. 
Logbook tersebut minimal harus berisi tanggal, masalah yang terjadi, solusinya, serta paraf disertai nama yang menulis isi masalah tersebut. Lalu siapa yang menulis logbook tersebut. 

Sebaiknya petugas yang dimana masalah tersebut terjadi. Misalnya masalah di bagian perdata, maka petugas perdata lah yang menulis logbook tersebut. Pun begitu kalau di bagian pidana, hukum atau yang lainnya. 

Setelah kita punya logbook, jangan lupa untuk melakukan evaluasi secara periodik. 

Hasil evaluasi tersebut dijadikan sebagai Opportunity For Improvement (OFI), atau kesempatan untuk melakukan perbaikan. Kemudian ditindaklanjuti sebagai AFI (Action For Improvement).

Selain hal-hal yang telah diuraikan diatas, agar PTSP lebih berfungsi dengan baik, Setiap awal minggu harus ada briefing oleh mentor atau penanggungjawab PTSP. 

Lalu pada akhir minggu pun harus ada pertemuan minimal 20 menit. Hal itu bisa dilakukan jelang apel sore. Misalnya dimulai dari jam 4 sore. 
Dengan demikian diharapkan PTSP bisa lebih baik dalam menjalankan operasinya.

Sebagai penutup, mari kita tingkatkan kinerja kita di satker masing-masing dengan bekerja secara Cadas. Cerdas Berintegritas. 

Setiap insan pengadilan perlu menjaga kekompakan. Bila ada rekan atau petugas baik di lingkungan sendiri atau di bagian lain yang bertanya, jangan sungkan atau segan untuk membantu atau memberi jawaban. Satker pengadilan itu ibarat orkestra. 

Ketua dan wakil ketua adalah dirijennya, lalu para hakim, panitera dan lainnya ibarat pemain biola, piano dan sebagainya. 

Harmoni musik yang terdengar atau dinikmati penonton sangat tergantung dari kekompakan semuanya. 

Begitu pun dengan pengadilan. Akan halnya PTSP sebagai pintu masuk dan wajah pengadilan, bukan hanya tanggung jawab para petugas yang ditempatkan di sana saja, tetapi juga pihak-pihak lainnya yang bersinggungan. 

Penulis: Gilbert Hutauruk
Editor: Tim MariNews