Krisis Penafsiran Autentik dalam Praktik Pemidanaan Delik Percobaan & Permufakatan Narkotika: Tantangan bagi Kepastian & Keadilan Hukum di Era KUHP Nasional

Permufakatan jahat dalam Pasal 1 angka 18 UU Narkotika mencakup kesepakatan dua orang atau lebih untuk melakukan atau memfasilitasi tindak pidana narkotika.
Ilustrasi KUHP. Foto www.istockphoto.com
Ilustrasi KUHP. Foto www.istockphoto.com

Pemberlakuan KUHP Nasional (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023) membawa dampak besar terhadap sistem hukum pidana di Indonesia, termasuk pada tindak pidana khusus seperti narkotika. 

Pengaturan mengenai percobaan dan permufakatan dalam tindak pidana narkotika mengacu pada Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika). 

Dengan berlakunya KUHP Nasional, muncul pertanyaan bagaimana penerapan delik percobaan dan permufakatan jahat dalam konteks hukum baru ini, apakah mengikuti asas umum dalam KUHP, atau tetap mempertahankan kekhususan yang diatur dalam UU Narkotika.

Konsep Delik Percobaan dan Permufakatan dalam UU Narkotika

Pasal 132 ayat (1) UU Narkotika mengatur bahwa percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika dipidana dengan pidana penjara yang sama dengan tindak pidana yang selesai dilakukan. 

Tidak ada pembedaan antara pelaku percobaan atau permufakatan dengan pelaku yang benar-benar menyelesaikan perbuatannya.

Permufakatan jahat dalam Pasal 1 angka 18 UU Narkotika mencakup kesepakatan dua orang atau lebih untuk melakukan atau memfasilitasi tindak pidana narkotika. 

Dengan demikian, tindakan yang bahkan baru pada tahap perencanaan sudah dapat dijerat pidana. Sementara itu, percobaan dalam UU Narkotika pada dasarnya memiliki unsur sama dengan Pasal 53 KUHP lama: adanya niat, permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan bukan karena kehendak sendiri.

Perbandingan dengan KUHP Nasional

KUHP Nasional mengatur ulang konsep percobaan dalam Pasal 17 ayat (1), yang menegaskan bahwa percobaan terjadi jika niat pelaku telah nyata dari permulaan pelaksanaan, tetapi tidak selesai atau tidak mencapai akibat yang dilarang, bukan karena kehendaknya sendiri. 

Pasal ini sejalan dengan KUHP lama, tetapi memberikan kejelasan lebih rinci tentang bentuk tidak selesainya perbuatan.

KUHP Nasional juga memberikan pengurangan pidana bagi pelaku percobaan, yaitu dua pertiga dari maksimum ancaman pidana pokok. 

Artinya, KUHP baru masih mempertahankan prinsip bahwa percobaan memiliki bobot pidana yang lebih ringan dibanding tindak pidana selesai.

Sementara itu, Pasal 13 KUHP Nasional mendefinisikan permufakatan jahat sebagai kesepakatan dua orang atau lebih untuk melakukan tindak pidana. 

Pelaku permufakatan dapat dipidana 1/3 dari maksimum ancaman pidana pokok, kecuali mereka menarik diri dari kesepakatan atau berupaya mencegah terjadinya tindak pidana (Pasal 14 huruf a dan b).

Dengan demikian, secara prinsip KUHP Nasional membedakan sanksi antara perbuatan pra-pelaksanaan (percobaan atau permufakatan) dengan perbuatan yang selesai, sesuatu yang tidak dijumpai dalam penerapan UU Narkotika.

Harmonisasi UU Narkotika dan KUHP Nasional

Pasal 612 KUHP Nasional menyatakan bahwa pengaturan tentang permufakatan, persiapan, percobaan, dan pembantuan dalam UU Narkotika tetap berlaku. 

Namun, Pasal 622 ayat (1) huruf w mencabut Pasal 111–126 UU Narkotika. Kondisi ini menimbulkan ambiguitas: apakah ketentuan khusus UU Narkotika tetap berlaku sepenuhnya, ataukah tunduk pada prinsip-prinsip umum KUHP Nasional.

Dalam konteks itu, Pasal 132 ayat (1) UU Narkotika menjadi penting karena mengatur bahwa pelaku percobaan atau permufakatan dipidana dengan pidana penjara yang sama sebagaimana pasal pokoknya. 

Namun, istilah “pidana penjara yang sama” menimbulkan tafsir berbeda. Para penulis berpendapat bahwa frasa tersebut tidak identik dengan “pidana pokok yang sama”, karena pidana pokok mencakup beberapa jenis pidana (penjara dan denda). 

Dengan demikian, pelaku percobaan atau permufakatan seharusnya hanya dijatuhi pidana penjara, bukan pidana kumulatif penjara dan denda seperti dalam praktik selama ini.

Penafsiran Hukum dan Konsekuensi Pidana

Dalam hukum, dikenal konsep penafsiran autentik, yakni tafsir resmi terhadap makna norma undang-undang. Berdasarkan penafsiran ini dan asas interpretatio cessat in claris (jika teks undang-undang sudah jelas, tidak perlu ditafsirkan lagi), para penulis berpendapat bahwa pidana yang dijatuhkan dalam Pasal 132 ayat (1) adalah hanya pidana penjara, bukan pidana kumulatif dengan denda.

Pandangan ini penting karena dalam praktik peradilan, umunya terdakwa dijatuhi pidana kumulatif (penjara dan denda) berdasarkan Pasal 132 ayat (1). 

Padahal, hal ini bisa menimbulkan ketidakpastian hukum dan merugikan terdakwa. Misalnya, dalam sistem lama, jika denda tidak dibayar maka diganti dengan pidana penjara. Dalam sistem baru KUHP Nasional, selain penyitaan harta, dapat pula ditambahkan pidana pengawasan, yang memperberat posisi terdakwa.

Oleh karena itu, penerapan pidana kumulatif terhadap pelaku percobaan atau permufakatan jahat dalam tindak pidana narkotika dinilai tidak sejalan dengan asas lex favor reo, yaitu prinsip bahwa dalam hal terdapat keraguan, tafsir yang paling menguntungkan terdakwa harus digunakan.

Perbandingan dengan beberapa Tindak Pidana Khusus Lainnya (Extra Ordinary Crime)

Sebagai pembanding, penulis menguraikan ketentuan dalam Pasal 15 UU Tipikor (Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999) yang menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana tindak pidana pokoknya. Dalam hal ini, penjelasan pasal tersebut secara eksplisit menyebutkan bahwa ketentuan itu merupakan pengecualian dari prinsip umum pengurangan sepertiga hukuman.

Demikian pula dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dinyatakan bahwa setiap orang yang melakukan permufakatan jahat, persiapan, percobaan, atau pembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme dipidana dengan pidana yang sama dengan tindak pidana yang selesai dilakukan. 

Kedua undang-undang ini secara tegas mengatur pengecualian pemidanaan yang setara antara perbuatan pra-pelaksanaan dengan perbuatan selesai.

Sementara itu, UU Narkotika tidak memberikan penjelasan eksplisit mengenai alasan mengapa percobaan atau permufakatan dipidana sama beratnya. 

Problematika Keadilan dan Kepastian Hukum 

Pasal 53 KUHP Nasional mengingatkan hakim dalam mengadili perkara pidana, hakim wajib menegakkan kepastian hukum dan keadilan, dan apabila keduanya bertentangan, keadilan harus diutamakan. Maka, dalam konteks ini, hakim seharusnya menjatuhkan pidana yang lebih proporsional dan meringankan, sesuai dengan asas keadilan substantif dan lex favor reo.

Ketidakjelasan norma dalam UU Narkotika berpotensi menimbulkan pelanggaran terhadap asas keadilan. Dalam praktik peradilan, pelaku percobaan atau permufakatan umumnya dijatuhi pidana penjara dan denda secara kumulatif. 

Pola penerapan seperti ini telah membentuk suatu kebiasaan yuridis (rechtsgewoonte), yang kemudian dianggap menjadi sebuah bentuk kepastian hukum. 

Namun, apabila kepastian tersebut justru lahir dari penafsiran norma yang keliru atau menyimpang dari makna autentik pembentuk undang-undang, maka yang sesungguhnya tercipta hanyalah kepastian hukum semu (pseudo legal certainty). 

Kondisi ini menjadi kekhawatiran bagi para Penulis karena menunjukkan kemungkinan adanya kesalahan sistemik dalam penegakan hukum (systemic legal error), di mana kekeliruan tafsir dilakukan secara terus-menerus dan terlembagakan dalam sistem peradilan pidana, sehingga mengaburkan tujuan utama hukum, yakni keadilan substantif.

Rekomendasi dan Penutup

Para penulis menekankan bahwa masa transisi pemberlakuan KUHP Nasional merupakan momentum penting bagi pemerintah untuk melakukan penyesuaian terhadap undang-undang khusus, termasuk UU Narkotika. 

Diperlukan kejelasan dan keseragaman tafsir agar penerapan hukum tidak menimbulkan ketidakpastian dan ketidakadilan.

Harmonisasi antara KUHP Nasional dan UU Narkotika menjadi kebutuhan mendesak agar asas keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum dapat terwujud secara proporsional.

Ada dua pilihan kebijakan:

  • Revisi UU Narkotika, dengan menegaskan kembali ketentuan pemidanaan bagi pelaku percobaan atau permufakatan jahat agar sejalan dengan prinsip KUHP Nasional.
  • Jika revisi dianggap tidak perlu karena norma sudah jelas, maka perlu disusun pedoman penegakan hukum terpadu bagi aparat penegak hukum (polisi, jaksa, dan hakim) agar penerapannya seragam.

Pada akhirnya, pembaruan hukum pidana tidak hanya ditujukan untuk menegakkan hukum secara tekstual, tetapi juga untuk memastikan bahwa setiap penerapan norma mampu mencerminkan keadilan substantif bagi semua pihak dalam sistem peradilan pidana.

Catatan : Hakim Pengadilan Negeri Madiun, Steven Putra Hareva, ikut berkontribusi dalam artikel ini

Penulis: Agung Yuli Nugroho
Editor: Tim MariNews