Sempadan Pantai yang Terabaikan dari Tata Ruang dan Konsekuensi Hukum Bagi yang Melanggar

Salah satu upaya mitigasi dari ancaman bencana alam di wilayah pesisir, dengan cara membangun sempadan pantai (sabuk hijau) sebagai benteng alami di sepanjang garis pantai kepulauan Indonesia.
Ilustrasi sempadan pantai. Foto : freepik
Ilustrasi sempadan pantai. Foto : freepik

Bangsa Indonesia dikarunia Tuhan sebagai negara yang memiliki banyak pulau. Berdasarkan data dari Badan Informasi Geospasial tahun 2024, jumlah pulau yang dimiliki Indonesia sebanyak 17.380.

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, negara sangat diuntungkan, karena memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah dan beragam, yang dapat dikelola untuk menjamin kesejahteraan warga negaranya.

Namun di sisi lain, bangsa Indonesia sebagai negara kepulauan juga menghadapi ancaman bencana alam dengan intensitas cukup tinggi yang bisa merusak sumber daya alam, harta benda milik masyarakat dan infrastruktur yang telah dibangun oleh pemerintah. 

Maka, dalam mengelola dan mengeksploitasi kekayaan sumber daya alam harus dilakukan secara seimbang dengan memperhatikan daya dukung lingkungan, agar tidak menimbulkan masalah dan bencana alam di kemudian hari.

Salah satu upaya mitigasi dari ancaman bencana alam di wilayah pesisir, dengan cara membangun sempadan pantai (sabuk hijau) sebagai benteng alami di sepanjang garis pantai kepulauan Indonesia. 

Sempadan pantai, adalah daratan di sepanjang tepian pantai yang ditumbuhi hutan mangrove dan tanaman pantai lainnya, dengan lebar proporsional kondisi fisik pantai, minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat dan bisa lebih lebar lagi disesuaikan dengan kondisi alam pesisir setempat. 

Penetapan sempadan pantai ini, bertujuan melindungi ekosistem pesisir dan kehidupan masyarakat dari ancaman bencana alam, menyediakan akses publik, serta menjaga ruang untuk saluran air dan limbah.

Mengingat pentingnya sempadan pantai bagi keutuhan ekosistem di wilayah pesisir dan keselamatan masyarakat yang bermukim di wilayah tersebut dari ancaman bencana alam, pemerintah telah mengamanatkan Pasal 31 Ayat 1 dan 2 UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil.

Pengaturan lebih lanjut tentang pentingnya sempadan pantai bagi mitigasi bencana di wilayah pesisir, juga diamanatkan dalam Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2016 tentang Batas Sempadan Pantai.

Meskipun regulasi yang mengatur sempadan pantai telah diundangkan dan mengikat secara hukum semua warga negara, faktanya tekanan eksploitasi secara ekonomi oleh masyarakat di wilayah pesisir masih tetap berlangsung dengan intensitas sangat tinggi, yang berdampak langsung rusaknya sempadan pantai dan kemampuan sebagai benteng alam untuk mereduksi bencana alam. 

Frekuensi bencana alam cukup tinggi telah melanda wilayah pemukiman masyarakat di berbagai wilayah pesisir Indonesia, akibat rusaknya sempadan pantai yang memiliki fungsi sangat penting sebagai benteng alami untuk mencegah ancaman bencana alam di wilayah pesisir, sebagai contoh; 

  1. Abrasi pantai di pesisir utara pulau Jawa seperti Demak, Semarang, Pati, Rembang, Cirebon, dan Indramayu telah menyebabkan garis pantai terkikis signifikan hingga 500 meter ke arah daratan dalam 10 tahun terakhir. Bahkan, tiga desa di Demak telah hilang dari daratan akibat abrasi;
  2. Abrasi pantai telah menyebabkan kerusakan parah pemukiman sebanyak 177 unit di Karawangan (BPBD Karawang tahun 2021); 
  3. Abrasi di Pantai Kuta telah menghilangkan sekitar 100 meter garis pantai ke arah daratan (BBC News 17 Oktober 2020);
  4. Banjir air rob merendam tiga desa di Kecamatan Kandanghaur pada bulan Oktober 2025, yaitu Eretan Kulon, Eretan Wetan, dan Kertawinangun, dengan ketinggian air bervariasi antara 30 sentimeter hingga 1 meter.
  5. Banjir rob menyebabkan genangan air di area seperti jalan akses menuju Pelabuhan Muara Angke, dengan ketinggian sampah yang terbawa banjir bisa mencapai 80 hingga 90 cm. Pesisir Utara Jakarta (Agustus 2025):
  6. Banjir rob di pesisir Indramayu pada Oktober 2025 yang merendam 1.215 rumah; 

Bercermin dari banyaknya bencana alam yang terjadi di wilayah pesisir dan sangat merugikan perekonomian dan seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat, penulis memandang telah terjadi kelalaian yang cukup serius pada tataran pengambil kebijakan dan implementasi perizinan usaha, serta lemahnya pengawasan dan penegakan hukum terhadap oknum pelaku usaha yang curang. 

Sebagai upaya preventif dan rehabilitasi terhadap kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh bencana alam di wilayah pesisir, maka perlu dilakukan langkah dan tindakan nyata sebagai berikut;

  1. Menetapkan sempadan pantai sebagai program prioritas daerah untuk mitigasi bencana dalam dokumen perencanaan tata ruang dan zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang dikuatkan melalui peraturan daerah provinsi masing-masing;
  2. Melaksanakan penanam mangrove dan tanaman pantai lainnya untuk menghijaukan wilayah pesisir;
  3. Melakukan restorasi terumbu karang yang telah rusak;
  4. Melaksanakan gerakan bersih sampah di wilayah pesisir;
  5. Melaksanakan edukasi kepada masyarakat dan pelajar tentang pentingnya hutan mangrove dan sempadan pantai untuk menjaga masyarakat dari ancaman bencana alam;
  6. Membangun penahan abrasi pantai dari bahan beton;
  7. Penegakan hukum secara tegas terhadap masyarakat yang melakukan kegiatan usaha di wilayah pesisir secara ilegal dan melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Bagi masyarakat yang melakukan kegiatan usaha di wilayah pesisir dengan cara-cara yang merusak lingkungan dan bisa menimbulkan bencana alam diancam sanksi pidana penjara selama 2 (dua) sampai 10 (sepuluh) tahun dan denda sebanyak 2 miliar rupiah sampai 10 miliar rupiah berdasarkan ketentuan Pasal 73 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2007 tentang Pengelolaan wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. 

Kesimpulan:

Berdasarkan uraian diatas ada beberapa hal yang dapat penulis simpulkan sebagai berikut;

  1. Sempandan pantai (green belt) memiliki fungsi sangat penting, untuk mitigasi bencana alam di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor 7 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan Perpres Nomor 51 tahun 2016 tentang Batas Sempadan Pantai;
  2. Tekanan eksploitasi ekonomi di wilayah pesisir oleh masyarakat cukup tinggi, tetapi tingkat kepatuhan pelaku usaha terhadap pengamanan sempadan pantai sebagaimana diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku masih cukup rendah. Hal tersebut, dibuktikan dan dikonfirmasi secara langsung dengan masih banyaknya bencana alam yang melanda di wilayah pesisir Indonesia; 
  3. Upaya preventif dan rehabilitasi terhadap sempadan pantai, perlu terus dilakukan baik melalui pendekatan ekologi dengan menanam mangrove, pendekatan struktur dengan membangun tembok pemecah gelombang dari beton dan gerakan edukasi kepada masyarakat;
  4. Penegakan hukum secara tegas bagi pelaku yang terbukti melakukan eksploitasi sumberdaya alam di wilayah pesisir dan sempandan pantai dengan melanggar ketentuan undang-undang.
Penulis: Saptoyo
Editor: Tim MariNews