Telaah Kepatuhan Nafkah Anak Berdasarkan Maqāṣid al-Syarī‘ah

Kewajiban ini, bukan sekadar bentukan norma hukum, tetapi juga bagian integral dari maqāṣid al-syarī‘ah, khususnya ḥifẓ al-nafs (perlindungan jiwa) dan ḥifẓ al-nasl (perlindungan keturunan).
Ilustrasi anak. Foto : Freepik.com
Ilustrasi anak. Foto : Freepik.com

Angka perceraian di Indonesia terus menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Data Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung mencatat 446 ribu perkara perceraian pada 2024, meningkat signifikan dibanding tahun sebelumnya. 

Lonjakan ini, bukan hanya persoalan statistik, tetapi berimplikasi langsung pada pemenuhan hak-hak anak, terutama terkait nafkah pascaperceraian.

Dalam hukum Islam maupun hukum positif Indonesia, nafkah anak adalah kewajiban absolut yang tidak gugur meski pernikahan berakhir. 

Kewajiban ini, bukan sekadar bentukan norma hukum, tetapi juga bagian integral dari maqāṣid al-syarī‘ah, khususnya ḥifẓ al-nafs (perlindungan jiwa) dan ḥifẓ al-nasl (perlindungan keturunan). 

Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa tingkat ketidakpatuhan mantan suami masih tinggi, bahkan tidak sedikit ayah yang meninggalkan tanggung jawabnya setelah membangun keluarga baru.

Fenomena tersebut, menimbulkan persoalan kesejahteraan anak, memperbesar risiko penelantaran, dan melemahkan perlindungan generasi yang menjadi tujuan utama syariat dan hukum nasional. 

Artikel ini, menguraikan kewajiban nafkah anak dari perspektif hukum Islam, hukum positif, serta maqāṣid al-syarī‘ah, sekaligus menggambarkan urgensi penguatan regulasi dan implementasi di tingkat peradilan.

Nafkah Anak sebagai Instrumen Perlindungan Jiwa (Ḥifẓ al-Nafs)

Dalam maqāṣid al-syarī‘ah, perlindungan jiwa manusia merupakan kebutuhan primer (darūriyyāt) yang tidak dapat ditawar. 

Anak sebagai kelompok rentan membutuhkan perlindungan fisik, psikologis, dan sosial yang hanya dapat dipenuhi melalui pemberian nafkah secara konsisten.

Secara etimologis, ḥifẓ al-nafs berarti menjaga dan memelihara jiwa, baik dari bahaya fisik maupun kondisi yang mengancam keselamatan hidup. 

Dalam konteks anak, nafkah melekat erat dengan pemenuhan kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, pendidikan, layanan kesehatan, dan tempat tinggal yang layak.

Al-Qur’an menegaskan larangan menghilangkan atau membahayakan nyawa anak, sebagaimana dalam Q.S. Al-Isra ayat 31, yang mengingatkan agar manusia tidak membunuh anak, karena takut kemiskinan. Ayat ini, dipahami secara komprehensif oleh ulama sebagai kewajiban melindungi kehidupan anak dari segala bentuk ancaman, termasuk penelantaran nafkah.

Dalam praktiknya, konsistensi nafkah memberi stabilitas psikologis bagi anak, sementara ketidakpatuhan ayah menimbulkan kecemasan, kehilangan rasa aman, dan risiko gangguan perkembangan mental. 

Anak dari keluarga pascaperceraian sangat sensitif terhadap perubahan ekonomi, sehingga ketidakpatuhan nafkah sering memperparah beban emosional mereka.

Hukum nasional menguatkan perlindungan tersebut. Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), secara tegas mengkategorikan tindakan tidak memberi nafkah sebagai bentuk penelantaran, yang dapat dikenakan sanksi pidana hingga lima tahun penjara. 

Artinya, negara memandang pengabaian nafkah sebagai ancaman serius bagi keberlangsungan hidup anak.

Dalam perspektif maqasid, ayah yang tidak memberi nafkah berarti mengabaikan tujuan syariat untuk menjaga jiwa. 

Nafkah bukan sekadar transaksi material, tetapi penjagaan martabat anak agar tidak mengalami degradasi sosial, stigma kemiskinan, atau kehilangan kesempatan berkembang. Oleh karena itu, pemenuhan nafkah adalah bagian dari amanah moral, spiritual, dan hukum.

Nafkah Anak sebagai Penopang Perlindungan Keturunan (Ḥifẓ al-Nasl)

Hifẓ al-nasl tidak hanya bertujuan melestarikan keturunan secara biologis, melainkan memastikan generasi bermutu, berakhlak, dan memiliki akses pendidikan yang layak. 

Dalam syariat, pemeliharaan keturunan mencakup penyediaan sarana material dan moral agar anak berkembang menjadi pribadi yang unggul.

Dalam konteks keluarga pascaperceraian, nafkah berfungsi sebagai jembatan keberlanjutan kualitas generasi. 

Pemenuhan nafkah memungkinkan anak tetap mendapatkan pendidikan, pendampingan karakter, fasilitas belajar, dan keterlibatan sosial tanpa harus mengalami penurunan drastis kualitas hidup.

Ketika nafkah ditunaikan secara konsisten, anak dapat melanjutkan pendidikan tanpa hambatan, pengasuhan emosional dari ibu menjadi lebih optimal karena kebutuhan dasar terpenuhi, dan anak memiliki lingkungan tumbuh yang kondusif untuk mengembangkan identitas diri. 

Sebaliknya, ketika nafkah diabaikan, akses pendidikan anak sering terhenti, anak terpaksa bekerja atau menghadapi tekanan ekonomi, serta kualitas generasi menurun sehingga bertentangan dengan tujuan hifẓ al-nasl.

Dalam fikih klasik maupun kontemporer, banyak ulama menegaskan bahwa pengabaian nafkah adalah bentuk kerusakan terhadap keturunan (ifsād al-nasl). Kualitas generasi merupakan indikator sejauh mana maqasid berjalan dalam masyarakat muslim. 

Hukum positif Indonesia mendukung prinsip ini. UU Perkawinan, KHI, dan UU Perlindungan Anak menetapkan bahwa orang tua wajib memenuhi kebutuhan dasar anak, meskipun mereka telah bercerai. 

Putusan pengadilan agama yang memerintahkan pembayaran nafkah anak bersifat mengikat, namun dalam banyak kasus implementasinya tidak efektif karena tidak adanya akses terhadap informasi keuangan ayah, sikap resistif mantan suami yang telah menikah lagi, serta minimnya literasi hukum.

Kondisi ini, semakin mengkhawatirkan mengingat jumlah anak terdampak perceraian terus meningkat. Ketika negara dan aparat tidak efektif memastikan penegakan putusan nafkah, generasi masa depan berpotensi kehilangan hak fundamentalnya.

Tantangan Kepatuhan Mantan Suami dan Urgensi Penguatan Regulasi

Meskipun norma hukum dan syariah memberikan landasan tegas, tingkat ketidakpatuhan mantan suami tetap tinggi. Pengadilan Agama di berbagai daerah mencatat banyak permohonan eksekusi nafkah, bahkan laporan penelantaran anak.

Faktor penyebab ketidakpatuhan antara lain keterbatasan ekonomi, terutama bagi ayah berpenghasilan tidak tetap, yakni minimnya kesadaran syariah karena nafkah dianggap sebagai beban setelah perceraian.

Demikian juga, konflik emosional pascaperceraian yang sering berujung pada sikap enggan membantu mantan istri, lemahnya mekanisme eksekusi seperti sulitnya menyita aset atau memotong gaji, ketidaktransparanan informasi keuangan terutama bagi ayah yang bekerja secara informal, serta prioritas terhadap keluarga baru yang menyebabkan anak dari pernikahan sebelumnya terabaikan.

Guna mengatasi masalah tersebut, diperlukan penguatan regulasi yang lebih operasional, antara lain pemberlakuan pemotongan gaji otomatis (wage garnishment), akses data keuangan melalui integrasi dengan lembaga perbankan, perpajakan, atau BPJS, pembentukan unit khusus penegakan putusan nafkah anak di lingkungan peradilan agama, penerapan sanksi administratif seperti penahanan SIM, paspor, atau pemblokiran layanan publik bagi penanggung nafkah yang tidak patuh, serta peningkatan literasi fikih keluarga dan hukum nasional melalui edukasi publik.

Upaya tersebut, sejalan dengan prinsip maqasid bahwa negara wajib memastikan terwujudnya kemaslahatan publik, terutama bagi anak sebagai kelompok yang paling membutuhkan perlindungan.

Nafkah anak bukan sekadar kewajiban moral, melainkan amanah besar yang dilandasi syariat dan hukum positif. 

Dalam perspektif maqāṣid al-syarī‘ah, pemenuhan nafkah merupakan bentuk implementasi ḥifẓ al-nafs dan ḥifẓ al-nasl, dua tujuan syariah yang menempati posisi utama dalam melindungi keberlangsungan hidup dan kualitas generasi.

Namun, meningkatnya angka perceraian dan rendahnya tingkat kepatuhan mantan suami menunjukkan perlunya penguatan regulasi, peningkatan kesadaran hukum, serta pengawasan yang lebih efektif dari negara. 

Nafkah anak harus dipandang sebagai investasi dalam pembangunan manusia, bukan sekadar kewajiban administratif.

Dengan memperkuat harmonisasi hukum Islam, hukum nasional, dan kepentingan terbaik bagi anak, kita dapat memastikan bahwa setiap anak Indonesia tumbuh dengan martabat, keamanan, dan kesejahteraan yang layak sebagaimana dicita-citakan oleh syariat dan konstitusi.

Daftar Rujukan

Andini, Nora. (2019). Sanksi Hukum Bagi Ayah yang Tidak Melaksanakan Kewajiban Nafkah Terhadap Anak Pasca Perceraian (Studi Komparatif Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia. Qiyas: Jurnal Hukum Islam dan Peradilan, 4(1).
Ashshofa, Burhan. (2017). Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta.
Desmita. (2014). Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: Remaja Rosdakarya. 
Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama. (7 Desember 2025). Pusat Data Perkara Peradilan Agama: Jumlah Perkara Perceraian di Indonesia Tahun 2024. Diakses dari https://pusatdata.badilag.net/perkara/
Hidayat, Taufiq., et.al. (2025). Analisis Hukum Pemberian Nafkah dalam Kasus Perceraian Menurut Hukum Islam. Jurnal Dialogica, 1(1).
Mardani. (2026). Hukum Keluarga Islam di Indonesia. Jakarta: Prenamedia Group.
M. Zein, Satria Effendi. (2010). Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer. Jakarta: Kencana.
Ngulum, Mufidatul., et.al. (2024). Pengabaian Kewajiban Suami dalam Memberikan Nafkah Keluarga Perspektif Kompilasi Hukum Islam. J-CEKI: Jurnal Cendekia Ilmiah, 4(1).
Paputungan, Sri Handayani., et.al. (2025). Analisis Yuridis Nafkah Lahir Batin Anak Pasca Perceraian dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak. Lex Administratum: Jurnal Fakultas Hukum UNSRAT, 13(3).
Rofiq, Ahmad. (2015). Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada
Sarianti, Betra. (2018). Tingkat Kepatuhan Ayah Membayar Nafkah Anak Pasca Perceraian. Supremasi Hukum: Jurnal Penelitian Hukum, 27(2).
Siti Raohatul Hayat, Aay. (2020). Implementasi Pemeliharaan Jiwa (Hifz An-Nafs) Pada Pengasuhan Anak Berbasis Keluarga. FOKUS: Jurnal Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan, 5(2).
Soekanto, Soerjono., & Sri Mamudji. (2019). Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Rajawali Pers.
Suma, Muhammad Amin. (2012). Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta: Kencana.
Syarifuddin, Amir. (2011). Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Kencana.

Penulis: Rico Febriansyah
Editor: Tim MariNews