Hakim Tak Perlu Cepat Pensiun: Bijaksana Datang dari Pengalaman

Pada akhirnya, pertambahan usia pensiun hakim bukan sekadar soal umur, tetapi tentang keberlanjutan nilai, integritas, dan kebijaksanaan dalam tubuh peradilan.
Ketua Pengadilan Tinggi Yogyakarta Setyawan Hartono memasuki masa purnabakti. Foto YouTube MA
Ketua Pengadilan Tinggi Yogyakarta Setyawan Hartono memasuki masa purnabakti. Foto YouTube MA

Belakangan ini, isu perpanjangan usia pensiun hakim kembali mencuat seiring dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang Jabatan Hakim. Salah satu usulan penting dalam draf tersebut adalah memperpanjang masa pensiun hakim yang saat ini berada di kisaran usia 60-65 tahun. Usulan ini menarik, karena menyentuh langsung pada inti profesi kehakiman: kebijaksanaan yang dibentuk oleh pengalaman panjang.

Hakim bukan sekadar profesi, tetapi peran vital dalam menegakkan hukum dan memberikan keadilan. Dalam sistem peradilan yang ideal, keputusan hakim bukan hanya berbasis pada norma tertulis, tetapi juga pada kepekaan moral, empati, dan ketajaman berpikir. Semua kualitas itu biasanya tidak lahir instan, melainkan berkembang dari akumulasi pengalaman dan jam terbang di ruang sidang.

Rancangan UU ini diharapkan bisa menjadi jalan keluar atas kebutuhan menjaga kualitas putusan pengadilan tanpa harus kehilangan sosok hakim berintegritas hanya karena batas usia. Dengan perpanjangan usia pensiun, para hakim yang masih sehat secara fisik dan mental tetap dapat mengabdi secara optimal. Toh, tidak sedikit hakim senior yang justru menunjukkan produktivitas dan kebijaksanaan yang luar biasa di usia menjelang pensiun.

Dari sisi hukum, Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif tertinggi memegang peran strategis dalam memastikan bahwa sistem rekrutmen, pembinaan, dan evaluasi hakim berjalan transparan dan akuntabel.

Dengan dasar UU Kekuasaan Kehakiman dan RUU Jabatan Hakim yang sedang disusun, MA dapat menyusun standar kesehatan dan etika kerja bagi hakim yang diperpanjang masa tugasnya. Hal ini penting agar semangat reformasi peradilan tidak bertentangan dengan semangat profesionalisme.

Pada akhirnya, pertambahan usia pensiun hakim bukan sekadar soal umur, tetapi tentang keberlanjutan nilai, integritas, dan kebijaksanaan dalam tubuh peradilan. Diharapkan, dengan dukungan masyarakat dan legislator, sistem peradilan kita semakin matang dan adaptif terhadap perubahan zaman, tanpa kehilangan roh keadilannya.

Penulis: Nur Amalia Abbas
Editor: Tim MariNews