Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) di tengah konflik, selalu menjadi sorotan, terutama dalam kasus tragis menimpa Jalur Gaza, Palestina. Di era modern, HAM selalu digaungkan sebagai pilar utama peradaban, ironisnya hak paling mendasar, yaitu hak untuk hidup, seolah kehilangan relevansinya bagi para korban di Gaza.
Kegagalan Lembaga Internasional dan Standar Ganda HAM
Meskipun sistem hukum di berbagai belahan dunia, mulai dari civil law, common law, religious law, communism law, hingga traditional paw, menetapkan hukuman berat, bagi pembunuhan manusia tidak berdosa, terutama kelompok rentan seperti ibu hamil, bayi, dan anak-anak, implementasinya menjadi tanda tanya besar dalam konteks Gaza.
Pertanyaan besar yang muncul, Siapakah berwenang menuntut pertanggungjawaban kemanusiaan atas nyawa-nyawa tidak berdosa dimaksud, khususnya nyawa anak-anak?
Situasi ini, jelas bertentangan dengan Statuta Roma dan hukum hak asasi manusia internasional, yang telah disepakati bersama. Statuta Roma, membentuk Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Di mana, bertujuan mengadili individu yang bertanggung jawab atas kejahatan paling serius dan menjadi perhatian masyarakat internasional, di antaranya genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. Namun secara faktual, efektivitas ICC seringkali terhambat oleh realitas politik.
Hak Veto dan Dominasi Politik di PBB
Salah satu hambatan terbesar dalam menegakkan keadilan internasional, adalah Hak Veto dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), khususnya di Dewan Keamanan PBB (DK PBB). Hak veto, yang dimiliki oleh lima anggota tetap (Amerika Serikat, Tiongkok, Rusia, Prancis, dan Inggris), seringkali menciptakan ketidaksetaraan, seolah negara pemilik veto, lebih berkuasa dan bertindak sebagai pemilik PBB, itu sendiri. Hal ini, memungkinkan kepentingan politik segelintir negara, menghalangi tindakan kolektif terhadap pelanggaran HAM berat, termasuk di Gaza.
Hukum Pidana Internasional dan Bayangan Victor's Justice
Hukum pidana internasional, juga acapkali terkesan bernuansa politis. Istilah Keadilan Victor atau Victor's Justice dalam bahasa Inggris, yang merujuk penerapan hukum oleh pihak menang dalam konflik, pertama kali digunakan profesor sejarah Richard Minear, dalam catatannya pada 1971 tentang Pengadilan Militer Internasional untuk Timur Jauh.
Konsep Victor's Justice menurut penulis, dimaknai keadilan hanya berlaku bagi negara kuat yang memenangkan perang. Contoh paling nyata, argumen yang digunakan Amerika Serikat, untuk menghindari tuntutan atas tewasnya banyak orang tidak berdosa di Hiroshima dan Nagasaki.
Jika pihak kalah, harus menghadapi pengadilan atas kejahatan HAM, maka rasanya tidak adil pihak yang menang dapat lolos begitu saja, dengan alasan kemenangan.
Apakah nantinya Israel berhasil menguasai seluruh Jalur Gaza, dengan melenyapkan seluruh penduduknya juga harus dibenarkan oleh alasan Victor's Justice? Di zaman Hak Asasi Manusia, selalu digaungkan, bahkan oleh Amerika Serikat dan Israel sendiri, seharusnya hukum berjalan seimbang.
Selain itu, gagasan mengenai meloloskan Piala dan tuntutan kepada yang menang, setelah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan, tidak dapat dibenarkan, karena bertentangan dengan prinsip keadilan. Dikarenakan keadilan dan hak asasi manusia, bukan ditentukan dan milik segelintir manusia.
HAM Milik Semua, Bukan Segelintir Manusia
Pada akhirnya, harus ditegaskan Hak Asasi Manusia, adalah milik semua manusia, tanpa terkecuali. HAM bukanlah hak istimewa, yang hanya berlaku bagi segelintir orang atau kelompok tertentu, apalagi hanya untuk pemilik kekuatan politik, propaganda atau militer.
Lemahnya respons lembaga internasional terhadap krisis kemanusiaan di Gaza, cerminan dari kegagalan kolektif dunia, dalam menjunjung tinggi prinsip-prinsip HAM universal.
Solusi untuk memperkuat akuntabilitas dan keadilan internasional, di antaranya sebagai berikut:
1. Reformasi Hak Veto di Dewan Keamanan PBB
Salah satu batu sandungan terbesar adalah hak veto. Solusi ideal, adalah menghapusnya, namun secara realistis sulit dicapai. Alternatifnya bisa berupa:
- Pembatasan Penggunaan Veto: Veto tidak bisa digunakan dalam kasus-kasus genosida, kejahatan perang, atau kejahatan terhadap kemanusiaan yang jelas.
- Akuntabilitas Veto: Negara yang menggunakan veto, harus memberikan justifikasi publik yang kuat dan bisa dimintai pertanggungjawaban di Majelis Umum PBB.
- Penghapusan Veto : Seluruh Negara dianggap setara, berdiri sama tinggi dan memiliki hak yang sama
2. Pemberdayaan Mahkamah Pidana Internasional (ICC)
ICC harus diberikan kemandirian politik yang lebih besar, termasuk yurisdiksi universal lebih Kuat. Adapun negara anggota PBB, harus lebih aktif mengakui dan tunduk pada yurisdiksi ICC.
Selain itu, penegakan putusan, dengan kejelasan mekanisme penerapannya, guna memastikan putusan ICC dipatuhi, termasuk sanksi terhadap negara yang menolak kooperasi, dengan cara tekanan diplomatik seluruh anggota PBB dan pemberian sanksi internasional
3. Penguatan Hukum Humaniter Internasional
Meskipun prinsip-prinsip sudah ada, penegakannya harus diperkuat. Ini bisa melalui:
- Edukasi dan Pelatihan: Meningkatkan kesadaran tentang hukum humaniter internasional di kalangan militer, penegak hukum, dan masyarakat sipil;
- Mekanisme Pemantauan Independen: Pembentukan badan pemantau independen, yang memiliki akses penuh untuk mendokumentasikan pelanggaran di zona konflik;
- Pendanaan Perlindungan Sipil: Peningkatan pendanaan untuk organisasi, yang bekerja melindungi warga sipil di wilayah konflik.
Dengan berlakunya, reformasi hak veto di PBB, pemberdayaan ICC dan penguatan hukum humaniter internasional, khususnya dalam institusi militer, seharusnya tidak ada lagi pelanggaran HAM, terhadap hilangnya nyawa bayi, anak-anak dan wanita hamil, petugas medis dan pers tidak berdosa.
Situasi Gaza jadi pengingat menyakitkan, dibalik retorika HAM modern, masih ada kesenjangan besar antara prinsip dan praktik. Akankah dunia terus berpaling dan membiarkan ketidakadilan ini berlanjut, ataukah akan terdapat upaya nyata, memastikan pertanggungjawaban dan keadilan bagi mereka yang paling rentan.