Regulasi Media Digital dan Hak Media Lokal: Menuju Ekosistem Informasi yang Adil

Namun, di balik kemudahan itu, muncul pertanyaan besar: bagaimana nasib media lokal yang menjadi sumber asli berita? Apakah mereka mendapat kompensasi yang layak dari platform-platform besar tersebut?
Ilustrasi media massa. Foto : freepik
Ilustrasi media massa. Foto : freepik

Di era digital, berita bukan lagi semata-mata milik koran atau televisi. Informasi kini menyebar cepat melalui platform digital seperti Google, Facebook, dan Instagram. 

Namun, di balik kemudahan itu, muncul pertanyaan besar: bagaimana nasib media lokal yang menjadi sumber asli berita? Apakah mereka mendapat kompensasi yang layak dari platform-platform besar tersebut?

Beberapa negara seperti Australia dan Kanada telah mengeluarkan regulasi yang mewajibkan platform digital untuk membayar media lokal atas konten yang mereka tayangkan atau tautkan. 

Ide dasarnya adalah keadilan: jika platform meraih keuntungan dari berita buatan media, maka media layak mendapat bagian. Wacana serupa kini mulai muncul di Indonesia.

Secara hukum, upaya ini bisa dilandaskan pada hak kekayaan intelektual dan perlindungan terhadap industri pers nasional. 

Meski belum ada undang-undang khusus, pemerintah dan Dewan Pers mulai merancang aturan turunan yang bisa menjembatani ketimpangan ini. Kementerian Kominfo juga turut serta dalam mengatur ekosistem digital yang sehat dan adil.

Peran Mahkamah Agung (MA) dan para hakim akan penting jika kelak terjadi sengketa. Apakah tautan berita di platform termasuk pelanggaran hak cipta? Apakah media lokal dapat menuntut kompensasi dari raksasa digital? 

MA berperan dalam menciptakan kepastian hukum dan perlindungan terhadap media lokal melalui putusan-putusan yang adil dan berorientasi pada keseimbangan hak.

Media lokal adalah garda terdepan informasi yang akurat dan kontekstual. Jika mereka terus-menerus ‘dipakai’ tanpa dihargai, maka kualitas jurnalisme akan menurun. 

Di sisi lain, platform digital juga tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Maka dibutuhkan kerangka regulasi yang adil, transparan, dan saling menguntungkan.

Ke depan, diharapkan regulasi kompensasi ini tidak hanya melindungi media dari eksploitasi, tetapi juga mendorong kolaborasi yang sehat antara platform dan pers. 

Hakim sebagai penafsir hukum tertinggi, harus siap membaca zaman dan berpihak pada keadilan substansial. Karena di dunia digital pun, keadilan harus tetap hidup.

Penulis: Nur Amalia Abbas
Editor: Tim MariNews