Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional pada 1 Januari 2026 merupakan tonggak penting dalam sejarah pembaruan hukum Indonesia.
Setelah lebih dari satu abad menggunakan KUHP peninggalan kolonial Belanda, Indonesia akhirnya memiliki hukum pidana nasional yang dirumuskan berdasarkan nilai Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta karakter sosial dan budaya bangsa.
Kehadiran KUHP Nasional tidak hanya dimaksudkan untuk mengganti norma lama, tetapi juga mencerminkan perubahan paradigma dalam memandang tujuan pemidanaan, batas-batas kriminalisasi, dan cara negara merespons perbuatan yang dipandang merugikan masyarakat.
Dalam konteks negara hukum modern, pembaruan hukum pidana menjadi kebutuhan yang tidak dapat dihindari.
Perubahan sosial, perkembangan teknologi, serta meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap hak asasi manusia menuntut adanya sistem hukum pidana yang adaptif dan berkeadilan.
KUHP Nasional hadir sebagai jawaban atas kebutuhan tersebut dengan membawa semangat pembaruan yang berorientasi pada keadilan substantif dan kemanusiaan, sekaligus menegaskan identitas hukum nasional yang berdaulat.
Pembahasan
KUHP Nasional lahir dari proses panjang reformasi hukum pidana yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk akademisi, praktisi hukum, dan masyarakat sipil. KUHP lama yang bersumber dari Wetboek van Strafrecht dianggap tidak lagi sepenuhnya relevan dengan nilai-nilai keadilan masyarakat Indonesia.
Banyak ketentuannya disusun dalam konteks kolonial yang menitikberatkan pada kepentingan penguasa, sehingga reformasi KUHP menjadi bagian dari proses dekolonisasi hukum dan penguatan kedaulatan hukum nasional.
Pertama, KUHP Nasional menampilkan pendekatan yang lebih sistematis dalam merumuskan tujuan pemidanaan. Pidana tidak semata-mata dipahami sebagai pembalasan, melainkan juga sarana pencegahan, perlindungan masyarakat, pembinaan pelaku, pemenuhan hak korban tindak pidana dan pemulihan keseimbangan sosial.
Pergeseran orientasi ini penting agar pemidanaan tidak berakhir sebagai rutinitas penjatuhan hukuman, melainkan menjadi instrumen kebijakan yang proporsional dan terukur, sesuai derajat kesalahan serta dampak perbuatan.
Kedua, KUHP Nasional memperkenalkan dan menegaskan ruang pidana alternatif. Pidana kerja sosial, pidana pengawasan, pidana bersyarat, serta pengaturan mengenai tindakan tertentu memberi peluang bagi hakim untuk menjatuhkan putusan yang lebih kontekstual.
Dalam perkara-perkara tertentu, pidana alternatif dapat mencegah overkapasitas lembaga pemasyarakatan, sekaligus tetap menjaga tujuan pemidanaan melalui pengawasan dan kewajiban yang terukur.
Namun, efektivitasnya sangat bergantung pada kesiapan sistem pembinaan, perangkat pengawasan, dan koordinasi antar-institusi.
Ketiga, prinsip keadilan restoratif semakin menguat dalam sistem peradilan pidana. Keadilan restoratif menekankan pemulihan hubungan antara pelaku, korban, dan masyarakat, serta mendorong penyelesaian perkara yang berorientasi pada pemulihan kerugian dan harmoni sosial.
Prinsip ini selaras dengan nilai-nilai kearifan lokal Indonesia yang menjunjung tinggi musyawarah, perdamaian, dan keseimbangan sosial.
Pada titik ini, aparat penegak hukum tetap perlu menjaga batas yang jelas: tidak semua perkara dapat direstoratifkan, khususnya tindak pidana yang berdampak luas atau menyangkut kepentingan publik yang kuat.
Keempat, KUHP Nasional menegaskan keseimbangan antara kepentingan negara, masyarakat, dan individu. Perumusan tindak pidana dilakukan dengan mempertimbangkan nilai moral, ketertiban umum, dan kepentingan sosial, namun tetap berada dalam koridor kepastian hukum serta perlindungan hak asasi manusia.
Maka, penerapan KUHP Nasional menuntut kehati-hatian dan profesionalisme aparatur penegak hukum agar tidak menimbulkan penafsiran yang berlebihan atau penyalahgunaan kewenangan.
Di sinilah pentingnya standar penilaian pembuktian yang ketat, penalaran putusan yang terukur, dan transparansi pertimbangan hakim.
Kelima, pemberlakuan KUHP Nasional membawa konsekuensi teknis dalam praktik peradilan. Pada masa transisi, aparat penegak hukum perlu memperhatikan asas legalitas dan prinsip penerapan hukum yang menguntungkan terdakwa (lex mitior) ketika terjadi perubahan pengaturan.
Penyesuaian pedoman penuntutan, strategi pembelaan, serta pola pemidanaan juga akan berkembang seiring terbentuknya yurisprudensi.
Dalam konteks ini, Mahkamah Agung memiliki peran sentral melalui pembinaan teknis yudisial, penerbitan pedoman, serta konsistensi putusan untuk menghindari disparitas putusan.
Keenam, implementasi KUHP Nasional mensyaratkan penguatan kapasitas sumber daya manusia. Hakim, jaksa, penyidik, advokat, serta aparatur peradilan lainnya dituntut memahami filosofi dan substansi KUHP baru secara komprehensif.
Sosialisasi yang masif, pendidikan hukum berkelanjutan, serta pembinaan teknis yudisial menjadi faktor kunci agar transisi menuju KUHP Nasional berjalan efektif dan tidak menimbulkan ketidakpastian hukum.
Selain itu, literasi hukum masyarakat juga perlu diperkuat agar publik memahami perubahan mendasar dan tidak mudah terjebak pada disinformasi.
Penutup
Pemberlakuan KUHP Nasional merupakan langkah strategis dalam membangun sistem hukum pidana Indonesia yang berkeadaban dan berkeadilan. KUHP ini mencerminkan jati diri bangsa yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, keadilan sosial, dan kepastian hukum.
Tantangan implementasi harus dihadapi dengan profesionalisme, integritas, dan komitmen bersama seluruh aparat penegak hukum, termasuk penguatan pedoman teknis dan konsistensi yurisprudensi.
Dengan penerapan yang konsisten dan bertanggung jawab, KUHP Nasional diharapkan mampu menjadi instrumen hukum pidana yang tidak hanya tegas dalam menegakkan hukum, tetapi juga adil dan humanis dalam melindungi hak-hak warga negara, mendorong pemulihan bagi korban, serta memperkuat kepercayaan publik terhadap sistem peradilan.
Referensi
1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
2. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3. Naskah Akademik RUU KUHP, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.
4. Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit UNDIP.
5. Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), Kencana Prenada Media Group.





