Judicial Activism dalam Menjembatani Jurang Pembuktian: Upaya Pemenuhan Hak Restitusi Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang

Fokus global dalam melawan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) kini telah bergeser dari sekadar penghukuman pelaku menuju pemulihan hak dan martabat korban.
Pengadilan Negeri Sampang menggelar sidang perdana dugaan tindak pidana perdagangan orang atas nama terdakwa H. Farhan, Kamis (13/3/2025). Foto dokumentasi PN Sampang.
Pengadilan Negeri Sampang menggelar sidang perdana dugaan tindak pidana perdagangan orang atas nama terdakwa H. Farhan, Kamis (13/3/2025). Foto dokumentasi PN Sampang.

Memberi ganti rugi (restitusi) kepada korban perdagangan orang (TPPO) itu penting, namun seringkali sulit karena masalah pembuktian. Pengadilan menuntut bukti formil seperti dokumen, sementara korban sengaja dibuat tidak memiliki bukti oleh pelaku. Kesenjangan inilah yang disebut "jurang pembuktian".

Jika hakim terlalu kaku pada aturan, korban bisa menjadi korban untuk kedua kalinya. Solusinya adalah hakim perlu bersikap progresif: yaitu dengan menggunakan fakta-fakta yang sudah terbukti di persidangan sebagai bukti yang cukup untuk memberikan restitusi. Pendekatan ini tidak hanya memenuhi hak korban, tetapi juga memastikan pelaku tidak menikmati keuntungan dari kejahatannya, sehingga efek jera menjadi lebih kuat.

A. Pendahuluan

Fokus global dalam melawan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) kini telah bergeser dari sekadar penghukuman pelaku menuju pemulihan hak dan martabat korban. Di Indonesia, semangat keadilan restoratif ini tertuang dalam Undang-Undang TPPO dan diperkuat oleh Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2022 yang mengamanatkan pemberian restitusi.

Namun, implementasi kerangka hukum yang kuat ini menghadapi sebuah paradoks di ruang sidang. Pengadilan seringkali menuntut standar pembuktian dokumenter yang ketat dari korban untuk membuktikan kerugian materiil. Tuntutan ini menciptakan "jurang pembuktian": suatu rintangan yang hampir mustahil diatasi korban, karena pelaku secara sistematis telah menghilangkan akses mereka terhadap segala bentuk dokumen formal. Akibatnya, hukum yang seharusnya melindungi justru berisiko melukai korban untuk kedua kalinya (viktimisasi sekunder).

Kunci untuk menjembatani jurang tersebut terletak pada progresivitas yudisial. Hakim harus bergerak melampaui penafsiran hukum yang kaku dan formalistik, serta menerapkan pendekatan multi dimensi yang peka terhadap realitas sosial dan psikologis korban.

Dengan mengkaji kembali filosofi keadilan, kerangka hukum yang ada-terutama klausul "alat bukti lain yang sah" dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2022-dapat ditafsirkan secara progresif untuk memenuhi hak-hak substantif korban. Ini bukanlah seruan untuk mengabaikan hukum, melainkan untuk menegakkannya dengan kearifan dan empati demi tercapainya keadilan sejati.

B. Tafsir Formalistik Alat Bukti dan Dampak Negatifnya

Hambatan utama dalam klaim restitusi seringkali terletak pada penafsiran pengadilan terhadap persyaratan pembuktian. PERMA Nomor 1 Tahun 2022 menetapkan bahwa permohonan restitusi harus didukung oleh bukti kerugian materiil, yang dapat berupa dokumen yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang atau "berdasarkan alat bukti lain yang sah".

Pendekatan formalistik, bagaimanapun, cenderung terlalu menekankan pada kebutuhan bukti dokumenter, yang secara efektif mengesampingkan klausul kedua yang lebih fleksibel. Kekakuan ini sering berakar pada penerapan prinsip hukum perdata actori incumbit probatio (beban pembuktian ada pada penggugat). Meskipun fundamental dalam sengketa antara para pihak yang setara, penerapan langsung dan tanpa modifikasi dalam kasus TPPO sangatlah problematis. Pelaku dan korban bukanlah pihak yang setara; hubungan mereka didefinisikan oleh ketidakseimbangan kekuasaan yang ekstrem, paksaan, dan eksploitasi.

Lensa formalistik tersebut, menciptakan paradoks logika yang signifikan dalam proses peradilan. Dalam persidangan pidana, pengadilan mengevaluasi kesaksian korban dengan cermat. Kesaksian ini, ketika dianggap konsisten, logis, dan didukung oleh bukti lain, menjadi landasan dari sebuah putusan pemidanaan-sebuah putusan yang memenuhi standar pembuktian tertinggi, "melampaui keraguan yang wajar".

Oleh karena itu, menjadi sangat tidak konsisten bagi pengadilan yang sama untuk kemudian menganggap kesaksian yang sama, yang cukup untuk merampas kemerdekaan seseorang, sebagai tidak cukup untuk membuktikan kerugian finansial yang merupakan konsekuensi langsung dan dapat diperkirakan dari kejahatan tersebut.

Jika keterangan korban tentang dirinya yang diperdagangkan, dieksploitasi, dan dianiaya secara fisik dipercaya, maka tidak logis untuk tidak mempercayai keterangannya mengenai upah yang dijanjikan namun tidak pernah dibayarkan. Inkonsistensi ini mengungkap kelemahan dalam penalaran hukum, di mana prosedur diangkat di atas substansi perkara yang telah terbukti. Putusan pengadilan yang memuat fakta-fakta hukum dari persidangan, secara logis seharusnya merupakan "alat bukti lain yang sah" yang paling kuat yang tersedia.

C. Imperatif Filosofis: Keadilan sebagai Restorasi di Atas Prosedur

Ketegangan antara formalisme prosedural dan keadilan substantif terletak di jantung filsafat hukum. Pendekatan yang murni prosedural berisiko menjadi sebuah praktik "fetisisme prosedural," di mana ketaatan pada aturan menjadi tujuan itu sendiri, bahkan jika hasilnya secara nyata tidak adil. Telos akhir, atau tujuan hukum dalam kasus penderitaan manusia bukan hanya untuk menyelenggarakan persidangan yang benar secara teknis, tetapi untuk mencapai keadilan.

Dalam konteks TPPO, keadilan tidaklah lengkap tanpa adanya restorasi atau pemulihan. Keadilan restitutif secara filosofis didasarkan pada konsep "keadilan korektif" Aristoteles, yang bertujuan untuk memulihkan ketidakseimbangan yang salah dan mengembalikan korban, sedekat mungkin, pada posisi sebelum terjadinya kerugian.

Dalam TPPO, kerugian utamanya adalah komodifikasi manusia, dan manifestasi paling nyatanya adalah pencurian tenaga kerja dan otonomi ekonomi mereka. Menolak restitusi dengan alasan teknis adalah kegagalan filosofis untuk memperbaiki ketidakseimbangan ini. Secara implisit, hal itu mengkomunikasikan bahwa dimensi ekonomi dari penderitaan korban adalah sekunder atau tidak dapat dibuktikan, sehingga gagal untuk sepenuhnya mengakui totalitas ketidakadilan yang mereka alami.

Lebih jauh lagi, tindakan memerintahkan restitusi adalah penegasan yudisial yang kuat atas martabat korban. Ini adalah pernyataan bahwa tenaga mereka yang dicuri memiliki nilai, hak-hak mereka memiliki makna, dan penderitaan mereka menuntut ganti rugi yang nyata. Untuk menerjemahkan imperatif filosofis ini ke dalam amar putusan yang konkret dan dapat dieksekusi, diperlukan sebuah kerangka kerja baru untuk mengukur penderitaan tersebut.

Tulisan ini memperkenalkan konsep humanity currency sebagai alat bantu yudisial untuk memberi nilai moneter terhadap kerugian immateriil-seperti waktu yang terampas dan martabat yang terenggut-yang selama ini dianggap abstrak dan sulit dihitung.

D. Pendekatan Sosio Yuridis dan Psiko Yuridis terhadap Kesaksian Korban

Peradilan yang progresif harus diinformasikan oleh disiplin ilmu di luar hukum an sich. Perspektif sosio yuridis menuntut pemahaman tentang konteks sosial di mana hukum beroperasi. Realitas bagi korban TPPO adalah kondisi kerentanan absolut. Mereka sering berada di negara asing, paspor mereka disita, komunikasi mereka diawasi, dan kehendak mereka dipatahkan. Mereka tidak dalam posisi untuk menegosiasikan kontrak, meminta slip gaji, atau mengumpulkan bukti untuk melawan para pelaku.

Sistem hukum yang memaksakan standar pembuktian yang dirancang untuk sengketa komersial kepada para korban ini adalah sistem yang beroperasi dalam ruang hampa sosial. Sistem tersebut gagal mengakui bahwa ketiadaan bukti adalah sebuah fitur, bukan cacat, dari kejahatan itu sendiri. Oleh karena itu, hukum harus berfungsi sebagai penyeimbang sosio yuridis, menafsirkan aturannya sendiri dengan cara yang melindungi pihak yang secara struktural dirugikan.

Melengkapi ini adalah pemahaman psiko yuridis tentang trauma. Pengalaman diperdagangkan sangat traumatis, memengaruhi memori, kognisi, dan kemampuan untuk mengartikulasikan pengalaman secara kronologis. Meskipun korban mungkin kesulitan dengan tanggal atau angka yang tepat, ingatan mereka tentang peristiwa-peristiwa inti-"inti" dari trauma, seperti gaji yang dijanjikan, keadaan jeratan utang yang terus-menerus, dan perasaan pengkhianatan yang mendalam-seringkali tertanam sangat kuat dan akurat.

Sistem hukum harus memahami bahwa sifat memori traumatik berbeda dari ingatan standar. Ketika pengadilan menemukan kesaksian korban cukup kredibel untuk menghukum, secara implisit pengadilan mengakui keandalan narasi inti mereka meskipun ada kemungkinan fragmentasi. Temuan kredibilitas ini secara logis harus diperluas ke keterangan mereka tentang eksploitasi ekonomi, yang merupakan bagian tak terpisahkan dari pengalaman traumatik mereka.

E. Keadilan Ekonomi dan Peran Judicial Activism

Dari perspektif ekonomi kriminal, TPPO adalah usaha yang sangat menguntungkan yang dibangun di atas prinsip pengayaan diri secara tidak sah (unjust enrichment). Para pelaku memperkaya diri mereka sendiri secara langsung dari tenaga kerja korban yang tidak atau kurang dibayar. Prinsip inti keadilan adalah nemo locupletari debet cum aliena jactura (tidak seorang pun boleh diperkaya oleh kerugian orang lain).

Restitusi dalam konteks ini, bukan hanya bentuk kompensasi; ini adalah mekanisme untuk perampasan keuntungan haram, memastikan bahwa kejahatan tidak membayar. Ketika pengadilan gagal memerintahkan restitusi, secara efektif pengadilan membiarkan manfaat finansial dari kejahatan tetap berada pada pelaku atau di dalam jaringan perdagangan, sehingga gagal membongkar insentif ekonomi yang mendorong perbudakan modern ini.

Di sinilah aktivisme yudisial menjadi bukan hanya sebuah pilihan, tetapi sebuah kebutuhan. Dihadapkan pada kurangnya dokumen formal, hakim yang progresif dapat dan harus menggunakan alat yang tersedia baginya. Penilaian yang diberikan oleh badan ahli seperti LPSK adalah salah satu alat tersebut, yang dapat dipandang sebagai pendapat ahli untuk membantu mengkuantifikasi kerugian ekonomi.

Namun, aktivisme hakim tidak boleh berhenti di situ. Untuk mengimplementasikan konsep humanity currency, hakim harus secara aktif mengkuantifikasi kerugian immateriil dengan metode yang objektif. Metode tersebut adalah dengan menetapkan unit dasar berupa upah minimum harian di daerah asal korban, yang kemudian dikalikan dengan jumlah hari eksploitasi dan sebuah "Faktor Pemberat Penderitaan" (severity multiplier).

Faktor pemberat ini tidaklah arbitrer, melainkan didasarkan pada fakta-fakta spesifik yang terungkap di persidangan, seperti adanya kekerasan fisik, perampasan kemerdekaan, hingga pelanggaran hak-hak fundamental lainnya. Pendekatan aktif ini mengubah hakim dari penjaga gerbang prosedural menjadi arsitek keadilan yang holistik, baik ekonomi maupun kemanusiaan.

F. Rekonseptualisasi Jalan Menuju Keadilan

Pemenuhan hak restitusi bagi korban perdagangan manusia di Indonesia bergantung pada pergeseran paradigma yang krusial di dalam lembaga peradilan. Jalan menuju keadilan tidak dapat dihalangi oleh jurang pembuktian yang merupakan produk langsung dari kejahatan itu sendiri.

Diperlukan sebuah peradilan yang progresif-yang berani melihat melampaui formalisme prosedural dan merangkul pemahaman keadilan yang multi-dimensional. Hal ini menuntut rekonseptualisasi "alat bukti", di mana kesimpulan fakta dari persidangan pidana itu sendiri menjadi bukti yang paling kuat. Tujuan filosofis hukum untuk memulihkan dan mengoreksi harus memandu penafsiran aturan prosedural, sementara sensitivitas sosiologis dan psikologis harus menginformasikan penilaian terhadap korban.

Dengan mengintegrasikan dimensi-dimensi ini dan menerapkan alat bantu seperti humanity currency untuk memberi nilai pada penderitaan, pengadilan dapat mengartikulasi PERMA Nomor 1 Tahun 2022 menjadi instrumen keadilan yang tajam dan kuat. Hakim dapat menjembatani jurang pembuktian bukan dengan menurunkan standar, tetapi dengan meningkatkan pemahamannya, memastikan bahwa janji restitusi bukanlah hak ilusi tetapi realitas yang nyata bagi mereka yang telah mengalami salah satu kejahatan paling tak terkatakan di dunia.

Penulis: Bony Daniel dan Galih Dewi Inanti Akhmad (Hakim-Hakim Pengadilan Negeri Serang).

Penulis: Bony Daniel
Editor: Tim MariNews