Pengadilan Harus Bebas dari Kekerasan Seksual

Setiap hakim dan aparatur yang datang ke tempat kerja harus dengan rasa aman dan pulang dengan rasa bangga.
Webinar bertema Towards A Harrasment-Free Judiciary.. Foto ; Dokumentasi Penulis
Webinar bertema Towards A Harrasment-Free Judiciary.. Foto ; Dokumentasi Penulis

MARINews, Jakarta - Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Badan Perhimpunan Hakim Perempuan Indonesia (BPHPI) menyelenggarakan seminar dengan topik “Towards A Harrasment-Free Judiciary”, Jumat (17/10).

Seminar ini merupakan bagian dari program Young Southeast Asian Leaders Initiative (YSEALI) yang bertujuan untuk memperkuat kapasitas profesional muda di Asia Tenggara. 

YSEALI merupakan program kepemimpinan yang didukung oleh Pemerintah Amerika Serikat yang salah satu turunan programnya adalah Professional Fellows Program (PFP), yaitu hakim dan aparatur peradilan Indonesia mempunyai kesempatan belajar di lembaga peradilan Amerika Serikat dan menerima kunjungan balasan dari mitra profesional di peradilan Amerika Serikat. 

Mahkamah Agung menyambut kerja sama ini sebagai langkah penting dalam memperkuat integritas dan profesionalisme hakim muda serta mengharapkan kemitraan ini dapat berlanjut dan berkembang di masa mendatang.

Di acara ini Ketua Umum Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) Dr. Yasardin, S.H., M.Hum sekaligus Ketua Kamar Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia membuka acara dengan menegaskan tanggung jawab moral dan kelembagaan Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagai pemegang kekuasaan kehakiman tertinggi, untuk memastikan nilai-nilai keadilan tidak berhenti di ruang sidang namun juga terwujud dalam lingkungan kerja di seluruh badan peradilan. 

Di dalam sambutan pembukaannya, Ketua Umum IKAHI juga menyatakan perempuan dan laki-laki juga bisa menjadi korban kekerasan seksual.

”Perempuan memang lebih rentan menjadi korban karena faktor struktur sosial, hierarki kekuasaan, dan relasi gender yang belum setara. Namun, laki-laki pun dapat menjadi korban, baik dari perilaku pelecehan langsung, maupun dari budaya kerja yang tidak sehat, penuh intimidasi, dan menekan kebebasan berekspresi. Oleh sebab itu, saya juga menghimbau kepada seluruh pengurus IKAHI termasuk pengurus yang laki-laki untuk mengikuti kegiatan ini,” ujarnya.

Dari seminar ini, Ketua Umum IKAHI juga berharap tidak berhenti pada tataran diskusi, namun menjadi dasar bagi lahirnya kebijakan internal Mahkamah Agung yang komprehensif dan berkeadilan gender.

Setiap hakim dan aparatur yang datang ke tempat kerja harus dengan rasa aman dan pulang dengan rasa bangga.

Selanjutnya, Nani Indrawati sebagai Ketua Umum BPHPI juga memberikan closing remarks yang pada intinya harus peduli dengan kelompok yang paling rentan di satuan kerja terutama perempuan, pegawai yang paling muda, dan mereka yang berstatus kontrak atau non struktural. 

Dalam hal ini, pimpinan pengadilan mempunyai peran penting bukan hanya sebagai pengelola, namun sebagai pelindung dan penjamin rasa aman bagi seluruh aparatur di bawahnya.

Nani Indrawati juga mengutip data dari survei ILO dan Never Okay Project pada periode 2020-2022 yang menunjukkan lebih dari 70 persen pekerja Indonesia pernah mengalami kekerasan atau pelecehan seksual di dunia kerja dan lebih dari separuh pelaku adalah atasan atau rekan kerja senior. 

Kedepannya, BPHPI siap berkolaborasi dengan IKAHI dan Mahkamah Agung untuk menindaklanjuti hasil-hasil diskusi ini, antara lain dengan:

  1. Mendorong penyusunan kebijakan internal pencegahan dan penanganan pelecehan di lingkungan peradilan.
  2. Meningkatkan kesadaran dan kapasitas hakim serta aparatur peradilan melalui pelatihan dan dialog berkelanjutan tentang gender, etika, dan relasi kuasa.
  3. Membangun mekanisme pelaporan yang aman dan berpihak pada korban, yang menumbuhkan kepercayaan dan menjamin perlindungan bagi setiap pelapor.

Di dalam penutup closing remarks, Nani Indrawati menegaskan lagi agar lingkungan kerja di pengadilan bebas dari pelecehan.

”Mari kita jadikan momen ini sebagai langkah awal menuju peradilan yang bebas dari pelecehan, di mana setiap hakim dan aparatur dapat bekerja dengan rasa aman, berintegritas, dan bermartabat, karena keadilan tidak akan pernah tegak tanpa rasa aman dan penghormatan terhadap martabat manusia,” pungkasnuya.