Saya masih ingat jelas hari itu, telegram panggilan Diklat Calon Hakim tiba di Kantor Pos dan Giro, lalu diterima oleh staf Pengadilan Negeri Brebes tempat saya bertugas.
Tangan saya bergetar saat membukanya. Setelah lebih dari dua tahun menunggu, akhirnya panggilan itu datang juga.
Rasa haru, bangga, dan syukur bercampur jadi satu. Dari 250 calon hakim tahap pertama, hanya 178 orang yang menerima telegram panggilan Diklat. Sisanya baru menyusul menjadi hakim angkatan berikutnya atau beralih menjadi tenaga teknis seperti panitera dan panitera pengganti.
Ditempa di Markas Marinir
Setelah masa orientasi seminggu di Pusdiklat Kehakiman Gandul–Cinere, kami dibawa menggunakan truk tentara menuju Markas Komando Marinir Cilandak untuk mengikuti pendidikan dasar militer selama lebih dari dua minggu.
Sejak selepas salat subuh hingga malam hari, kegiatan fisik tak pernah berhenti, baris-berbaris, latihan menembak, renang laut malam, latihan penggunaan pisau dan kapak, hingga terjun tali dari menara dan helikopter. Kami bahkan sempat dikenalkan dengan peralatan tempur Marinir, seperti kapal selam dan pasukan katak.
Tak jarang kami dibangunkan tengah malam oleh suara tembakan di dekat telinga dan teriakan tanda “zona merah”, yang berarti harus segera berkumpul di lapangan untuk menghitung jumlah personel. Padahal tubuh sudah benar-benar kelelahan.

Yang paling berat adalah jalan kaki dari Sawangan (Bogor) ke Ancol selama 24 jam penuh. Banyak sepatu rusak, kaki melepuh, bahkan ada yang tertidur sambil berjalan.
Saat itu kami sempat bertanya-tanya, “Untuk apa hakim dilatih seperti prajurit?”
Jawabannya baru kami pahami kemudian: latihan itu membentuk ketangguhan fisik, mental baja, disiplin tinggi, dan jiwa korsa, bekal penting dalam menghadapi beratnya tanggung jawab seorang hakim.
Kembali ke Gandul: Belajar dan Berorganisasi
Usai dari Marinir, kami kembali ke Gandul. Suasana Pusdiklat Kehakiman terasa lebih tenang, namun semangat kebersamaan dan disiplin yang ditempa di Marinir masih kuat terasa.
Kegiatan pertama adalah pemilihan pengurus kelas dan Senat.
Beberapa teman mendorong saya maju sebagai Ketua Senat karena mereka tahu saya pernah menjadi Ketua Senat Mahasiswa FH Unisba dan Ketua Senat saat Prajabatan di Semarang.
Namun saya memilih tidak mencalonkan diri, karena ingin fokus belajar dan mudah mendapat izin pulang ke keluarga di Karawang.
Namun, rupanya teman-teman tetap mempercayakan saya menjadi pengurus Senat.
Menjelang akhir pendidikan, saya bahkan diminta mengelola seluruh kegiatan Senat dan dipercaya menjadi Ketua Panitia Penutupan Pendidikan.
Dari situ saya belajar bahwa kepemimpinan sejati tidak selalu dicari, kadang datang sebagai bentuk kepercayaan. Dan ketika kepercayaan itu datang, kita wajib menjaganya dengan penuh tanggung jawab.
Kelas-Kelas Kehakiman: Ilmu dan Keteladanan
Setiap hari, dari pukul 08.00 pagi hingga 17.00 sore, kami mengikuti perkuliahan yang padat. Materinya meliputi hukum acara pidana, hukum acara perdata, KUHP, BW, serta berbagai peraturan perundang-undangan lainnya.
Selain teori, kami juga menjalani latihan praktik peradilan dan simulasi persidangan.
Pembukaan perkuliahan dilakukan oleh Prof. Muladi, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Kehakiman Republik Indonesia, masa di mana pembinaan hakim masih berada di bawah dua atap, yakni Departemen Kehakiman dan Mahkamah Agung.
Para pengajar kami adalah tokoh-tokoh besar yang kelak banyak di antaranya memimpin lembaga peradilan:
- Bapak Harifin A. Tumpa, saat itu Direktur Perdata, kemudian menjadi Hakim Agung dan Ketua Mahkamah Agung;
- Bapak Joko Sarwoko, saat itu Direktur Pidana, kemudian Hakim Agung dan Ketua Kamar Pidana;
- Bapak Yulius, dahulu hakim peradilan umum, kini Ketua Kamar Tata Usaha Negara (TUN);
- Bapak Agung Sumanatha, kemudian menjabat Ketua Kamar Perdata;
- dan dari Departemen Kehakiman, Ibu Lies Sugondo, yang saat rekrutmen kami menjabat sebagai Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum.
Dari mereka kami belajar bukan hanya tentang hukum, tetapi juga tentang etika, integritas, dan kebijaksanaan, nilai-nilai yang menjadi ruh profesi hakim.
Peradilan Semu: Latihan Menjadi Hakim Sejati
Salah satu momen paling menarik adalah peradilan semu, latihan sidang bersama para calon jaksa dari Pusdiklat Kejaksaan.
Setiap peserta mendapat peran: ada majelis hakim, jaksa, penasihat hukum, terdakwa, hingga saksi-saksi.
Saya beruntung mendapat kesempatan menjadi Ketua Majelis Hakim.
Peran itu membuat saya mempelajari kembali setiap pasal hukum acara pidana, alur pemeriksaan saksi, hingga tata cara pembacaan putusan. Kami juga berlatih menghadirkan saksi secara verbal lisan, persis seperti di persidangan nyata.
Yang menarik, Ketua Senat Diklat Kejaksaan saat itu adalah Bapak Narendra, yang kini menjabat sebagai Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun).
Kami sering berdiskusi dan bertukar pandangan tentang proses peradilan dari sisi hakim dan jaksa. Dari situ saya memahami bahwa meskipun peran kami berbeda, tujuan kami tetap sama: menegakkan keadilan dan kebenaran.
Dari pengalaman itu saya belajar, menjadi hakim tidak hanya soal membaca undang-undang, tetapi mengelola proses pencarian kebenaran dengan sabar, teliti, dan berkeadilan.
Menjadi Hakim: Dari Fisik, Ilmu, hingga Nurani
Diklat Calon Hakim Angkatan X bukan sekadar pendidikan, tetapi proses pembentukan jati diri.
Kami ditempa secara fisik di Marinir, secara intelektual di ruang kuliah, dan secara moral di ruang sidang semu.
Latihan militer mengajarkan ketangguhan dan disiplin,
pembelajaran hukum membentuk pengetahuan dan logika berpikir, sementara pengalaman organisasi dan praktik peradilan menumbuhkan tanggung jawab, kebijaksanaan, dan jejaring koordinasi.
Kini, setelah lebih dari dua dekade berlalu, saya semakin menyadari bahwa semua pengalaman itu bukan sekadar kenangan, melainkan fondasi kehidupan seorang hakim.
Fondasi untuk menegakkan keadilan dengan nurani, bukan sekadar dengan pasal.





